Maiyah dan Dimensi Ihsan
Tuhan memberi contoh praktis pada seni bela diri dan berbagai cabang olahraga bahwa ketajaman intuisi dapat terbentuk melalui pengetahuan yang benar dan pelatihan intensif serta adanya instruktur yang ahli.
Tuhan juga memberi contoh praktis bahwa seseorang menjadi unggul sebagai suhu dalam bidang beladiri atau sebagai juara dalam bidang olahraga karena ketajaman intuisi.
Ketajaman intuisi dalam konteks ini dapat dilihat dari kemampuan sang suhu atau sang juara memprediksi respons lawan setidaknya tiga langkah ke depan dan mengantisipasinya.
Setiap suhu maupun para juara olahraga memiliki pengetahuan dan pengalaman dengan standar yang sama. Yang membedakan adalah ketajaman intuisi pada saat sedang bertanding. Karena itu seseorang tidak bisa menjamin dirinya menjuarai seluruh turnamen karena tergantung kepada ketajaman intuisinya saat bertanding.
Boleh jadi pada turnamen A dia sedang dalam kondisi yang sangat tajam melebihi ketajaman intuisi lawannya maka dia juara, tapi di turnamen lain dalam kondisi yang kurang maka dikalahkan oleh lawan yang pernah dia kalahkan. Demikianlah saling berganti menjadi juara.
Boleh jadi, yang dimaksudkan sebagai dimensi Ihsan dalam agama adalah ketajaman intuisi keagamaan yang terbentuk dari frekuensi ritual-ritual yang dilakukan dalam jangka waktu yang cukup lama, disertai adanya instruktur (dalam hal ini mursyid, ulama pewaris nabi) sebagai tempat berkonsultasi tentang berbagai pengalaman keagamaan terutama yang bersifat psikis dan spiritual.
Didefinisikan oleh Kanjeng Nabi, ihsan ialah “Bahwa Engkau menyembah (dimaknai bahwa Engkau hidup) seolah melihat Tuhan, jika Engkau tidak melihat-Nya (tapi), Dia justru melihatmu”. Ini bisa bermakna seperti syair dalam Jalan Sunyi: “Puisi yang kusembunyikan dari kata-kata”; yakni “Aku memahami puisi lewat kata-kata tapi tanpa kata-kata pun aku tetap berpuisi.”
Dimensi ihsan dimaksudkan sebagai gagasan strategis dalam beragama, bahwa yang perlu ditampakkan bukan dimensi keislaman (yakni rukun yang lima) dan keimanan (yakni rukun yang enam) melainkan nilai-nilai akhlak, karakter, dan kepribadian yang terbentuk oleh kedua dimensi Islam dan Iman itu.
Sebab, ibarat strategi perjuangan, jika yang ditampakkan adalah Islam dan Iman maka musuh-musuhmu gampang membaca langkah-langkahmu. Ini dipertegas dengan sabda Nabi: “Allah tidak memandang kepada bentuk dan ragamu tapi memandang ke hatimu.” HR. Muslim.
Mengapa dimensi Islam dan dimensi Ihsan tidak harus ditampakkan? Karena Tuhan Maha Mengetahui bahwa ajaran-ajaran agama hanya dapat dikomunikasikan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
Akan lebih gampang mengajak orang-orang untuk melakukan kebaikan dengan ketauladanan ketimbang wacana dan propaganda superioritas agama. Biarlah segala ibadahmu dan imanmu menjadi rahasiamu bersama Allah dan yang tampak adalah semata-mata akhlak yang terbentuk pada dirimu sebagai hasil didikan dan pengajaran Allah. Inilah intisari agama dalam pandangan Maiyah yang diwariskan Cak Nun langsung dari Kanjeng Nabi.
Ketajaman rasa dan intuisi keagamaan menjadikan sikap keberagamaan diekspresikan dengan cara yang indah lantaran berangkat dari ruang yang memberi perspektif untuk melihat segala sesuatu secara langsung dan sebagaimana apa adanya tanpa melalui rekayasa pikiran serta hasrat-hasrat ego. Ini sudah pasti merupakan akibat dari harmonisasi potensi-potensi intelektual, psikis, dan spiritual melalui tauhid.
Barangkali, ini yang hendak ditegaskan oleh Tuhan dalam QS Al-Hijr: 99, “dan sembahlah Tuhanmu hingga datang bagimu al yaqien“, yakni hingga kamu mencapai taraf intuisi di mana kehidupan terlihat sebagai orkestra yang Tuhan sendiri sebagai dirigennya. Cak Nun misalnya selalu menegaskan bahwa kita hanya diperjalankan oleh Allah.
Pengenalan seseorang akan dirinya dan peran yang harus dimainkannya dalam orkestra kehidupan, apalagi dirigenya adalah Tuhan sendiri menjauhkan seseorang dari sikap formalistik sehingga perilaku yang ditampakkan tidak hanya benar tapi juga indah. Sikap formalistik ialah perbuatan yang dibuat-buat dan tidak tulus.
Dalam kitab suci Tuhan menegaskan bahwa agama harus tulus hanya kepada Tuhan. Tidak boleh ada tujuan lain dalam beragama selain Tuhan. Misalnya agama untuk tujuan politik, kekuasaan, dan untuk memperoleh harta kekayaan. Karena itu dimensi Ihsan sering diasosiasikan dengan keikhlasan dan ketulusan melakukan segala hal hanya semata-mata demi Tuhan.
Pada tahap ini, dengan ketajaman rasa dan intuisi keagamaan seseorang akan dianugerahi kemampuan mendeteksi ‘kehendak’ Tuhan sehingga berhak memberi pemaknaan terhadap wahyu dari Tuhan atau ayat-ayat dalam kitab suci. Ini berarti berbicara tentang syari’ah bukan pada dimensi Islam, bukan pula pada dimensi Iman melainkan pada dimensi Ihsan.
Jika benar bahwa jenis hukum dalam kitab suci ada 5 yakni: wajib, sunnah (mandub), mubah, haram, dan makruh sebagaimana pandangan para ahli Ushul Fiqh maka hanya mereka yang memiliki ketajaman rasa dan intuisi keagamaan yang mampu menangkap kehendak Tuhan dalam ayat-ayat tertentu mengenai hukum-hukum-Nya.
Mengapa syari’ah hanya boleh dibicarakan dalam dimensi Ihsan? Karena hukum-hukum agama tidak boleh dilepaskan dari nilai-nilai akhlak dan moralitas yang digariskan dalam ajaran agama. Sebab, seperti kata Cak Nun, boleh jadi sesuatu yang tampak dari perspektif hukum secara formal hanya sekadar anjuran tapi dari perspektif etika justru menjadi wajib. Demikian pula sesuatu yang mungkin secara formal hukumnya boleh dilakukan tapi secara etis justru merupakan larangan. Moral harus tegak dulu dan hukum akan berjalan dengan sendirinya.
Selamat Milad Mawlana Muhammad Ainun Nadjib #64 bârokallâhu fî ‘umrihî, âmîn…