Madzhab Tanpa Pengikut
”Serulah kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” [1] (An-Nahl: 125).
“Kita sudah mendengar ayat ini beribu-ribu kali”, kata Markesot pada suatu malam kepada teman-temannya yang kebetulan berkumpul, “tetapi kita sendiri belum pernah merenunginya sebagai Subjek. Kita selalu hanya menjadi Objek atau pelengkap penderita yang ditimpa oleh ayat itu di setiap forum”
“Maksud Cak Sot kita harus bagaimana?”, Sundusin bertanya.
“Kita memenuhi kepala kita dengan tafsir atau pandangan para pemberi pengajian tentang ayat itu, tanpa kita sendiri pernah mensubjeki ayat itu menurut refleksi pengetahuan dan pengalaman kita sendiri”
“Maksud Sampeyan kita bikin Majlis Tafsir?”, Tarmihim mengejar.
“Mungkin bisa menjadi semacam itu”, jawab Markesot, “tetapi hasil tafsir kita tidak boleh kita anggap sebagai kebenaran final, dan tidak boleh dipaksakan kepada siapapun. Semua yang dari kita bukan kebenaran Al-Qur`an, melainkan sebatas kebenaran subjektif kita sendiri atas firman. Kalau kita resmikan tafsir kita menjadi kebenaran objektif, apalagi kemudian distatiskan, dibakukan, diaplikasikan menjadi kelompok, aliran, atau apalagi Organisasi – maka hasilnya yang paling besar adalah memperluas perbedaan dan memperbanyak perpecahan di antara masyarakat”
Brakodin tertawa. “Juga tak akan ada orang yang percaya kepada Madzhab Markesotiyah. Saya jamin tidak akan ada pengikutnya…”
“Lha kalian?”, Markesot menggoda.
“Lho saya, atau Tarmihim, Sapron dulu, bahkan Saimon, atau Sundusin, serta siapapun, bukan pengikut Markesot. Sama sekali bukan…”.