Logika Mencenderungi Kesucian
Betapa sangat logis beliau Ibnu Katsir merumuskan bahwa cara menafsirkan Al-Qur`an yang benar adalah, pertama, menafsirkan Al-Qur`an dengan Al-Qur`an. Jika ada ayat yang mujmal atau global, maka bisa ditemukan tafsirannya pada ayat yang lain. Jika itu tidak didapati, alur logisnya: maka Al-Qur`an ditafsirkan dengan sunnah atau hadits. Dan jika itupun tak didapatkan, maka tahap logika berikutnya adalah: ditafsirkan dengan perkataan Sahabat Nabi. Karena beliau-beliau hidup bersama Nabi, sehingga lebih tahu maksud ayat, terutama para Sahabat Sepuh seperti Khulafaur Rasyidin, termasuk Ibnu Mas’ud dan Ibu ‘Umar.
“…Orang yang kurang akal daripada kami selalu mengatakan yang melampaui batas terhadap Allah”. [1] (Al-Jinn: 4). Demikianlah betapa penggunaan logika manghasilkan keluasan pertimbangan, kematangan pendalaman, dan keindahan ungkapan. Logikalah yang menuntun perumusan atas persyaratan-persyaratan tafsir. Logika adalah “mesin” utama yang memungkinkan sekian persyaratan tafsir itu ditemukan. Ia pula perangkat primer, di samping faktor-faktor rohaniah misalnya rasa syukur kepada Allah, ta’dhim kepada Baginda Rasulullah, dan cinta kepada Al-Qur`an, yang mengolah kemungkinan-kemungkinan kreatif sehingga penafsiran menghasilkan pemuaian pemahaman dan perluasan ilmu bagi Ummat Islam.
Jika logika diberlakukan, maka ia sendiri yang justru mengantarkan penafsir menuju persyaratan-persyaratan tafsir. Logika itu sendiri yang menuntut pertanggungjawaban setiap hasil tafsir di hadapan Allah, Rasulullah dan Ummat Islam, serta kepada kebenaran ilmu itu sendiri. Logika itu pula yang justru menghalangi tindakan menafsirkan “dengan logika semata”.
Sebab jika logika membiarkannya, logika mengingkari diri logika sendiri. Logika menjadi bukan logika. Logika itu jujur dan sangat mencenderungi kesucian. Sebab kalau tidak demikian, ia bukan logika.