CakNun.com

Lelaku Jalan Sunyi

Indra Agusta
Waktu baca ± 2 menit

Sugih tanpo bondho digdaya tanpa Aji
Trimah mawi pasrah, sepi pamrih tebih ajrih
Langgeng tanpo susah, tanpo seneng antheng mantheng
Sugeng jeneng...

Demikianlah bait-bait dari Sosrokartono terlantun megah oleh mbah Jiwo. Dengan perenungan mendalam mengajari kita bahwa kesejatian hidup yang sunyi itu memang ada, dan sangat bermakna bila kita mampu menemukan saripatinya. Bait-bait awal yang mengajari kekayaan itu bisa mewujud bahkan tanpa memiliki kekayaan material. Harta benda tidak menjadi prioritas utama dalam lelaku hidup.

Teman-teman JM yang pasti sangat tahu bahwa ada perumpamaan “urip iku ming mampir ngombe“, hidup itu hanya sekadar mampir minum. Senada dengan itu Mbah Nun juga sering menyampaikan: “Lebih besar mana dunia dibanding manusia? Yang makro dunia ataukah manusia? Yang paling diciptakan di puncak kemuliaan, manusia ataukah dunia?”

Mbah Nun mengajak anak-cucu untuk tidak begitu memuja dunia. Yang dalam Mocopat Syafaat pernah ditegaskan dengan judul “Wala Tansa Nashibaka Minad-dunya”. Supaya tidak lupa-lupa amat dengan nasib kita di dunia seperti juga tertuang dalam Daur 63Dunia Bukan Tempat Membangun.

Hal ini terus-menerus diwariskan simbah kepada anak-cucu, bahkan saking sayangnya simbah dalam setiap tetesannya, untuk segera menjauhi Maiyah jika nafsu keserakahan dan kekuasaaan, keduniawian masih menguasai kita (Menjauhlah dari Maiyah – Mataair Maiyah, Lima dari Sepuluh).

Saya teringat almarhum ibu saya ketika saya sudah main tidak karuan di luar batas, beliau sudah tidak menegur saya. Tapi marah sekaligus cintanya berujud mbombong disuruh bermain seharian sekalian, sepuasnya, dan tidak usah pulang ke rumah. Dan saya tahu ini sudah kelewat batas.

“Nikmatilah dunia, serakahilah keduniawian, bergabunglah pada kekuasaan, raihlah jabatan, program, proyek, kemajuan dan sukses.” Di Tetes kelima pada bait inilah yang saya tadabburi sebagai mbombong. Menjauhlah dari Maiyah, ini ditambahkan sebagai penegasan satir, untuk mereka yang tidak mengetahui dialektika Jawa. Tegas memang, tapi saya sendiri yakin Mbah Nun enggak akan pernah tega melihat anak-anaknya terseret keadaan yang justru memperkeruh keadaan.

Dengan cara ini pula Mbah Nun mengingatkan anak-cucu agar lebih hati-hati menyikapi berbagai persoalan yang muncul, isu, peristiwa, yang terkadang memecah belah satu dengan yang lain, juga untuk terus-menerus menyebarkan benih-benih kebaikan yang mempersaudarakan.

Fenomena berikutnya adalah Jalan Sunyi. Dalam berbagai rentetan peristiwa di mana Mbah Nun terlibat, namun beliau sama sekali tidak ingin menyombongkan diri. Ini laku Sepi Pamrih, Tebih Ajrih. Kalau benar jangan takut, tapi jangan pamrih, tulus ikhlas dalam melakukan apapun.

Jalan sunyi itu nyata. Saya mengalami dalam berbagai hal yang memang akan sangat berbeda dengan dunia yang buas saat ini di mana apa-apa harus dipamerkan, di-medsos-kan, diviralkan, pamrih ini di mana-mana. Mungkin keadaan ini juga dirasakan teman-teman lainnya. Meskipun diliputi keadaan seperti itu, di sisi lain kita justru mantab menjadi diri sendiri. Tidak pengin menjadi seperti siapa, tapi nyaman menjadi diri sendiri yang Otentik. Mantab untuk tidak pamrih. Mau dianggap orang lain atau tidak. Kalau mau menolong sesama ya tinggal tolong saja, ndak perlu di-upload di medsos.

Perlahan-lahan dalam menjalani hidup sehari-hari kita bisa lebih teteg dan tenang. Susah ya biasa, seneng ya biasa. Seperti tidak ada yang wah saja. Ini nglakoni lelaku terus memaksimalkan apa yang sudah dititipkan Gusti, bakat apa untuk kerja, untuk berpikir, untuk menyukai bidang tertentu, syukur-syukur bisa dirasakan manfaatnya oleh orang lain sampai tiba waktu kita kapundhut jati, mengembalikan semuanya bahkan diri kita pada Sang Pemilik.

Seperti bait lagu grup band Efek Rumah Kaca: Dan kematian kesempurnaan; Dan kematian awal kekekalan; Dan kematian awal kehidupan tanpa kematian.

Demikian manusia hanya singgah sebentar di dunia, membaktikan diri untuk berkarya, lalu kembali, dan meninggalkan warisan nama baik untuk anak-cucu kita kelak sugeng jeneng. Selamat menempuh jalan sunyi semoga kita semua menjadi bagian dari Gabah Den Interi.

Nuwun.

Lainnya

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i bukan menghakimi, pluralisme bukan pluralitasnya. Meng-Hakim-i maksudnya di sini adalah menempatkan kesadaran Al-Hakim kepada objek yang sedang kita bedah bersama.

Muhammad Zuriat Fadil
M.Z. Fadil