CakNun.com

Luhut Mohon Izin “Mertombo” Indonesia

Redaksi
Waktu baca ± 2 menit

Seperti telah dijadwalkan, siang tadi Menko Kemaritiman RI Luhut Binsar Pandjaitan beserta rombongan tiba di Rumah Maiyah Kadipiro Yogyakarta. Selain silaturahmi, perbincangan Cak Nun dan Pak Luhut sembari menikmati santap siang berlangsung informal dan santai. Meski demikian, Cak Nun merespons dan berbicara apa adanya, tanpa tedeng aling-aling, serta objektif tentang situasi Indonesia saat ini.

Sebagian yang disampaikan Cak Nun, baru kali pertama didengar Pak Luhut. Beberapa kali Pak Luhut terkejut dan terperanjat pada logika mendasar dan simpel yang dicontohkan Cak Nun. Salah satunya, jika orang terus-menerus diinjak, suatu saat pasti secara alami akan keluar identitas aslinya. Kalau dia orang Islam, dia akan berteriak Allahu Akbar. Atau kalau dia orang Jawa Timur, dia akan misuh. Sesungguhnya masalah tidak terletak pada takbir dan misuh, tetapi pada ketidakadilan yang melahirkan penindasan yang terlalu lama. Sekarang orang mengira masalahnya pada takbir atau misuh alias identitas dan saling bertengkar karenanya, padahal bukan di situ masalahnya.

Beberapa kali pula Pak Luhut tersenyum lebar oleh contoh-contoh yang ditunjukkan Cak Nun dan merasa yang seperti ini yang perlu didengar elit pemerintah. View-view sederhana tapi tajam ini sepertinya memang diperlukan, dan Pak Luhut sendiri mengakui pemerintah pusing dibuat oleh situasi-situasi politik saat ini yang asal-usulnya sebagian bermula dari ketidaktepatan dalam memandang masalah dan membaca koordinat, mulai dari perang identitas, tumpang tindihnya orang dalam menggunakan “keris”, “pedang”, dan “cangkul”, dan lain-lain soal.

Cak Nun sendiri menegaskan, yang dibutuhkan saat ini adalah pemimpin yang mengerti “keris” atau pusaka untuk mengayomi semua anak bangsa. Dalam bahasa lain, Cak Nun menyampaikan kepada Pak Luhut, bahwa seorang Presiden haruslah lengkap, ya rohaniawan, teknokrat, pemimpin pemerintahan, ya panglima,dan harus berperan sebagai “orang tua”, sebab bangsa ini sedang tidak memiliki “orang tua”. Karena tidak ada “orang tua”, semestinya Presiden menempati posisi itu sehingga ekspresinya kepada rakyat lebih mengayomi, tidak defensif, tidak bertanding, dan tidak menganggap orang lain sebagai musuh.

Setelah berbincang di lantai 2 Rumah Maiyah, Pak Luhut meminta beberapa saat untuk berbicara empat mata. Dan kelihatannya, dalam pertemuan empat mata itu, Cak Nun memberikan formula-formula tertentu dan mewanti-wanti beberapa hal mengenai situasi politik Indonesia saat ini termasuk tentang kasus Ahok, masalah CIna-Pribumi, dan Islam-Kristen. Terasa sekali, dari atmosfer silaturahmi dan perbincangan Pak Luhut dengan Cak Nun bahwa Pak Luhut tengah mohon izin untuk meminta Cak Nun berkenan nambani atau membantu memberikan obat bagi berbagai persoalan di Indonesia saat ini.

Tampaknya akan ada eskalasi ke depan urgensi “nambani” atau “mertombo” ini, ke skala yang lebih luas dan level yang lebih tinggi. Tetapi kita belum bisa memperoleh bahan atau data tentang itu.

Apakah Cak Nun benar-benar meletakkan diri tidak sebagai pihak yang bertentangan, berpolarisasi atau bermusuhan; atau mungkin beliau sedang menjalankan suatu lakon yang beliau sendiri yang tahu.

Ketika coba dipancing, Cak Nun tersenyum, “Semua anak saya. Semua bagian dari khilafah penugasan pribadi saya. Saya tidak boleh menang atas siapapun, karena yang di-arrange justru adalah kemenangan seluruh bangsa dan rakyat Indonesia”, katanya. (Helmi Mustofa)

Lainnya

Hilwin Nisa
Hilwin Nisa

Tidak

Tidak