Lapis Substansial-Sosial Ngaji Bareng

“Kenapa kita mengundang Cak Nun? Karena kita prihatin atas menurunnya solodaritas di dalam masyarakat. Kita juga prihatin dengan marak radikalisme agama….” Saya mendengar pernyataan itu terucap dari bibir Pak Lurah Lumbungrejo saat menyampaikan sambutan di depan masyarakat yang hadir.

Pernyataan Pak Lurah itu bukan hanya menjelaskan latar belakang acara malam ini, tetapi sesungguhnya mengingatkan bahwa demikianlah yang terjadi dengan setiap kali kehadiran Cak Nun dan KiaiKanjeng di masyarakat. Selalu ada konteks keperluan sosial yang akan dirembug, direspons, atau dimintakan solusi atau wawasan dari Cak Nun. Ini sejujurnya adalah lapis substansial yang perlu dicermati bagi siapapun yang ingin mengetahui kiprah dan perjalanan Cak Nun dan KiaiKanjeng. Bukan sekadar lapis seni, penampilan, atau hiburan dalam arti umumnya.
Saya merasa itu satu hal yang menjelaskan mengapa suasana yang berlangsung sangat beda. Seperti saat ini. Cak Nun naik ke panggung dan ditemani oleh para pemuka masyarakat. Ada Camat, Lurah, Danramil, dan Kapolsek, Kiai, dan tokoh lainnya. Sementara yang berada di depan mereka, yakni para jamaah, juga duduk dengan rapi tanpa satu sorot mata pun yang memperlihatkan bahwa mereka sedang menunggu “hiburan” atau menanti “penampilan”. Mereka menunggu dan menyiapkan diri untuk mendapatkan sesuatu yang lebih substansial, secara sosial-spiritual.
Tampak dari belakang saya melihat bahwa Bapak-bapak yang di atas panggung dan para jamaah yang ada di depan mereka adalah dua pihak yang siap mencari kebaikan bersama, membangun dunia kecil yang lain sama sekali, siap berpartisipasi menyumbang yang baik dan baik untuk masyarakatnya. Mereka adalah manusia-manusia yang telah memutuskan untuk mbangun kahanan yang lebih baik. Dan Cak Nun dengan wajah dan artikulasi kepemimpinannya mendasarinya terlebih dahulu dengan masyarakat meneguhkan cinta dan kesadaran akan Allah Swt yang Maha Memberikan Solusi dalam konsep Cinta Segitiga. Cak Nun memimpin jamaah membaca Surat Al-Fatihah, Ayat Kursi, dan Surat Al-Insyirah dengan vibrasi suaranya yang magis dan penjelasan-penjelasannya yang nyantol di hati. Saya menyaksikan para jamaah dan Bapak-bapak di panggung semuanya ikut serta membaca dengan khidmat. (hm)