Langen Mandrawanaran, Doa Peradaban dari Kadipiro
Sabtu 2 Desember 2017, Rumah Maiyah, Kadipiro. Beberapa pemuda dengan busana Jawa, lebih tepatnya Mataram, lebih tepatnya lagi busana Yogyakarta, seperti yang biasa dikenakan oleh para abdi dalem Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Para pemuda-pemudi, putra-putri pewaris Nusantara yang bukan penerus watak kolonialis NKRI ini nampak khusyuk dan syahdu.
Di sekeliling mereka perangkat gamelan, tidak sekomplit saat sedang pertunjukan wayang memang, tapi cukup menggema-gemakan suara sunyi para leluhur. Seorang pula bertugas menjaga dupa. Asap mengepul, doa dan harapan. Harum. Aroma masa lalu.
Di hadapan para pemuda itu, Pak Manu berada di antara sesepuh seusianya. Menyimak dengan tenang, ketika satu per satu pemuda-pemudi mulai mengalunkan tetembangan. Yang ditembangkan bergantian itu adalah adegan demi adegan dalam kisah pewayangan. Icalipun Sinta, lakon yang dibawakan.
Lakon ini berkisah ketika Dewi Sinta yang merupakan inkarnasi dari Dewi Sri, lambang kesuburan dan kesucian hilang diculik Dasamuka.
Saya menyaksikan peristiwa peradaban ini ditemani beberapa batang rokok, seruputan kopi dan camilan kacang dan ubi rebus. Polo kependem, konon bermakna bahwa masih ada sesuatu yang ditanam oleh para leluhur, untuk kebutuhan generasi mendatang.
Lakon Icalipun Sinta, membawa pada nuansa di mana kepanikan terjadi ketika Dasamuka berkonspirasi menculik Sinta, rekayasa yang telah diatur dengan berbagai perencanaan, pesona modernitas, ilusi pembangunan. Garuda mencoba menghalangi, namun sekali tebas saja Garuda tewas. Adegan yang terakhir ini, saya kurang tau dimainkan atau tidak, ah sayang memang saya datang terlambat.
Sinta yang merupakan simbol kesucian, hilang. Mengingatkan kita pada sebuah negeri bernama Indonesia yang sedang melangkah dengan pasti menuju kiblat-kiblat peradaban seberang. Nusantara menjadi sesuatu yang aneh, asing. Nusantara melulu ditampilkan secara simbolik seremonial, namun tidak dijadikan landasan konsep dalam kehidupan baik kehidupan bernegara, sosial maupun politik.
Nusantara hanya diperkosa saja, dijadikan barang jualan nan eksotis. Nusantara terus dihilangkan oleh bocah durhaka bernama NKRI. Kapan-kapan si bocah durhaka mungkin memang harus berhadapan dengan Baginda Khidlir as.
***
Ini adalah tradisi Langen Mandrawanaran, tradisi khas Yogya. Melihat dari efektivitas maupun efisiensi peralatan, saya pribadi menyimpulkan dia pada masanya merupakan inisiatif kebudayaan dari para leluhur untuk memudahkan tradisi yang lebih rumit. Karakter khas Nusantara memang, semua harus ada pakemnya tapi juga kalau terpaksa dan terlanjur, tetap ada jalannya.
Sayangnya tradisi ini sudah jarang terdengar, jarang dipraktikkan lagi bahkan di kota Yogya sendiri. Para pemuda-pemudi yang melaksanakannya malam itu di Kadipiro, adalah sekumpulan pemuda yang menamai diri kelompok “Sinau Jowo” di bawah bimbingan Pak Manu.
Saya sempat ngobrol bersama Mas Niam, salah seorang anggota grup Sinau Jowo ini. “Ini adalah usaha sa iso-isone”, katanya. Obrolan kami mengalir saja. Setelah berlatih nembang beberapa bulan, ini adalah praktik pertama mereka.
Kembali menurut Mas Niam, aslinya Langen Mandrawanaran yang memang selalu membawakan penggalan dari kisah Rama Sinta ini, dimainkan dengan sikap setengah duduk dan dengan gerakan-gerakan seperti wayang orang. Wah, membayangkannya saja saya kok sudah ngos-ngosan. Tapi malam ini hanya diambil tetembangannya saja.
Sempat juga saya tanyakan alasan kenapa Kadipiro yang dipilih untuk melaksanakan kegiatan ini. “Tentu soal ini Rm Manu yang lebih tahu. Tapi tadi waktu sambutan, Rm Manu sempat bilang bahwa dilakukan di Kadipiro karena selain ini praktik pentas, ini juga dimaksudkan sebagai doa”.
Saya tidak bertanya lebih lanjut, kenapa kalau memang doa lantas Rumah Maiyah di Kadipiro menjadi lokasi yang dipilih? Pak Manu sedang berpamitan pada para anggota dan orang-orang di Kadipiro. Wajahnya tampak bahagia. Mungkin kenyataan bahwa ada sekelompok pemuda yang pada malam minggu bukannya ke cafe atau mall, tapi malah sibuk menembangkan Langen Mandrawanaran dengan khusyuk cukup membuncahkan harapan.
Wangi dupa masih memenuhi rongga hidung, bercampur aroma kopi dan rokok di dalam dada. Asapnya, membumbung ke langit. Seperti doa. Harum, penuh harapan. (MZ Fadil)