Kurniawati, Qari`ah yang “Melebar”
Mohon izin, teman-teman yang budiman. Saya akan sedikit bercerita tentang vokalis perempuan KiaiKanjeng bernama Kurniawati alias Mbak Nia yang kini telah dianugerahi tiga orang anak. Tetapi sebelum itu, saya mau menyebut dulu seorang perempuan lain bernama Anne K. Rasmussen. Masih ingat sama Beliau? Beliau adalah sahabat dan kolega KiaiKanjeng. Seorang profesor musik dan etnomusikologi serta Bricker Professor of Middle Eastern Studies dari Amerika Serikat, tepatnya dari Universitas William and Marry.
Sejak dua puluh tahun silam Beliau habiskan banyak waktu untuk meneliti Seni Baca Al-Qur`an dan Musik Islam di Indonesia. Fenomena Islam sehari-hari yang menarik perhatiannya sebagai dosen yang berkecimpung dalam bidang musik dan antropologi. Setiap kali datang ke Indonesia, Bu Ann—panggilan akrabnya— selalu mencari Cak Nun dan KiaiKanjeng. Selalu berusaha hadir dalam acara-acara KiaiKanjeng dan ikut menyumbangkan kepiawaiannya bermain Gambus alat musik Timur Tengah. Belakangan bahkan beliau juga dekat sama Jamaah Maiyah. Jika ada kegiatannya yang bersifat terbuka selama di Indonesia, beliau share infonya kepada Jamaah Maiyah siapa tahu ada yang bisa menghadirinya.
Sebagai peneliti akademis, Bu Ann telah menulis banyak kajian di bidang etnomusikologi, khususnya berkaitan dengan musik Islam. “The Qur`an in Indonesian Daily Life: The Public Project of Musical Oratory” adalah salah satu tulisannya yang dimuat dalam Jurnal Ethnomusicology pada 2001. Sebuah ikhtisar yang dipetik dari delapan bulan risetnya tentang MTQ dan kehidupan Qari` dan Qari`ah di Indonesia dan berbagai segi sosial politik dan musikal yang terkait.
Lewat penelitian ini, Bu Ann menemukan beberapa hal yang memesona perhatiannya. Misalnya, kebanyakan proses belajar lagu Arab yang dijalani para qari` dan qari`ah Indonesia itu tidak menggunakan notasi/partitur. Sementara penggunaan partitur lazim ditempuh para penyanyi atau musisi akademis Barat untuk menggambarkan atau memberi contoh tentang seperti apa sih musik itu. Para qari` atau qari`ah cukup diminta mendengarkan gurunya melantunkan pola dasarnya, lalu ditirukan, diulang-ulang, dilatih terus dalam pembiasaan sehari-hari, dan selebihnya Al-Qur`an dijadikan bagian dari kehidupannya. Menurut Bu Ann, yang tentunya sangat paham musik, hasil metode belajar seperti itu pun sangat tinggi secara standar musikal. Inilah yang membuat Bu Ann penasaran ingin mencermati bagaimana orang Non-Arab mampu canggih berseni suara Arab.
Selain itu, Bu Ann melihat bahwa dalam konteks Seni Baca Al-Qur`an dan MTQ, perempuan (qari`ah) mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Ada qari` (laki-laki), dan ada qari`ah (perempuan). Semuanya memiliki tempat yang sejajar. Tak ada diskriminasi. Kenyataan ini mungkin tidak berarti apa-apa bagi kita yang tinggal di Indonesia dan sudah dari dulu tahu begitu adanya.
Namun tidak demikian halnya bagi Bu Ann yang dulunya mencurahkan perhatian cukup lama dengan meneliti musik Arab di Timur Tengah. Bu Ann tidak menemukan qariah atau perempuan yang melantunkan Seni Baca Al-Qur`an di sana dalam acara-acara publik. Nyatalah, ada perbedaan konstruksi sosial budaya antara Indonesia dan Timur Tengah. Nah, catat dulu, Nia adalah salah satu perempuan Indonesia yang menikmati kesempatan yang Bu Ann maksudkan itu.
Selanjutnya, seorang qari` atau qari`ah apabila telah mencapai posisi tertentu, yang oleh Bu Ann disebut sebagai ‘profesional’, akan mengalami peningkatan kepercayaan dan amanat dari masyarakat. Profesional di situ tidak dalam arti transaksi ekonomi, melainkan telah mendapatkan pengakuan akan kualitas estetika qiro`ahnya. Yang paling jelas ukurannya adalah ketika seseorang sudah menjuari MTQ dalam berbagai levelnya. Terutama pada tingkat nasional.
Setelah meraih gelar juara, biasanya mereka akan mendapatkan undangan berbagai keperluan seperti menjadi juri MTQ, melantunkan Al-Qur`an dalam acara-acara resmi PHBI yang diadakan pemerintah maupun masyarakat, mendidik qari`-qari`ah yang lebih muda, dan menghadiri perhelatan-perhelatan yang berkaitan dengan Al-Qur`an. Bahkan khususnya qari` (pria) pada bulan Ramadlan akan full jadwalnya karena diminta mengimami shalat tarawih sebulan penuh. Semua kesibukan itu oleh Bu Ann diistilahkan sebagai ‘spesialis ritual’.
Pada kasus qari`ah (perempuan), situasinya lebih unik. Kerapkali semua kesibukan itu dilakoni dalam posisinya sebagai seorang perempuan dan ibu. Harus sembari mengasuh anak-anak dan mengelola rumah tangga. Hal yang tak selalu mudah tetapi menggambarkan suatu ketangguhan tertentu. Hajjah Maria Ulfa adalah contoh par excellence dalam soal ini. Tak hanya seorang Qari`ah profesional, dan seorang Ibu, Maria Ulfa bahkan juga menjabat sebagai Direktur Institut Ilmu Qur`an (IIQ) Jakarta.
Bagaimana dengan Mbakyu Nia yang asli Desa Sasap Sooko Mojokerto ini? Yang menghabiskan masa kecil dan remajanya dengan menggeluti seni baca Al-Qur`an dan tergabung dalam Jam’iyatul Qurro wal Huffadz (Jamqur) di Mojokerto. Bahkan selepas SMA menempuh kuliah di STAI+STIQ Sidoarjo. Pernah meraih Juara harapan II MTQ Nasional di Jambi pada 1997 pada salah satu kategori. Pernah juga setelah itu Nia dikontrak sebulan untuk tayangan Ramadlan oleh SCTV. Bersama kelompok qasidahnya, pernah menempati juara keenam (sepuluh besar) pada lomba qasidah dalam rangka Pekan Raya Jakarta.
Jika diperhatikan lebih cermat dan lebih lanjut dengan menggunakan perspektif Bu Ann, perjalanan Nia sebagai pelaku Seni baca Qur`an tidak linier seperti qariah pada umumnya. Apa yang menyebabkannya? Jawabnya adalah karena Nia kemudian “dipungut” oleh Cak Nun dan diajak bergabung bersama KiaiKanjeng. Beberapa waktu setelah meraih salah satu juara MTQ, Nia memang mendapatkan posisi dan kepercayaan seperti digambarkan Bu Ann. Tetapi, sejak dipercaya sebagai vokalis di KiaiKanjeng, perjalanan membawanya sebagai mozaik perempuan qari`ah yang unik dan menarik. Dia tidak menapak karier yang vertikal, melainkan melebar dalam berbagai kekayaan pengalaman bersama KiaiKanjeng.
Pertemuannya kali pertama dengan Cak Nun terjadi pada akhir 1997 ketika dia sedang mendapatkan undangan membaca Al-Qur`an dalam salah satu acara PPP di Hotel Utami Surabaya. Saat itu Cak Nun hadir dalam acara itu. Almarhum Zainul Arifin (semoga Allah merahmati) yang juga lebih awal bersama KiaiKanjeng yang mengenalkannya kepada Cak Nun saat itu. Zainul sedang diajak Cak Nun di acara itu. “Niki Cak areke sing moco Qur`an wau.” Zainul mempertemukan Nia kepada Cak Nun. Lalu, Cak Nun bilang ke Nia, “Minggu ngarep awakmu nang Jogja yo.” Ya, Cak Nun mengajaknya bergabung dengan KiaiKanjeng dan bersiap-siaplah Nia ikut keliling ke berbagai tempat.
Ringkas cerita, seminggu kemudian Nia berangkat ke Yogyakarta, tepatnya ke rumah Cak Nun di Kasihan. Tiba di Kasihan, ternyata di situ sudah ada Pak Kiai Zawawi Imron. Baik Nia maupun Pak Zawawi sama-sama kaget. Tidak menyangka bertemu di situ. Nia sudah mengenal Pak Zawawi juga karena saat dia persiapan MTQ ke Jambi, Pak Zawawi adalah anggota pembina tim MTQ LPTQ Jatim.
“Kamu kok di sini?,” tanya Pak Zawawi. Kemudian dia cerita kalau akan diajak keliling Cak Nun bersama KiaiKanjeng. Menyadari hal itu, Pak Zawawi langsung punya ide ngajarin Nia satu Shalawat Madura. Teman-teman tentu juga sudah mendengar shalawat yang mana ini dari cerita Cak Nun di berbagai kesempatan. Shalawat yang dilengkapi dengan lirik “kesedihan” yang disenandungkan seorang ibu yang habis kehilangan anaknya. Shalawat ini berlagu Madura.
Saat itu juga Pak Zawawi mengajarinya. “Ini bisa kamu pakai keliling sama KiaiKanjeng,” katanya. Nia pun memperhatikan dan mengulanginya beberapa kali di depan Pak Zawawi supaya diketahui pas tidaknya nada dan cengkok Maduranya. Sesungguhnya ini momentum penting di mana seseorang yang bertahun-tahun terbiasa melantunkan secara mujawwad nada-nada lagu Arab dari maqam Bayati, Ras, Nahawand hingga Jiharkah, harus belajar lagu Madura. Ini perluasan musikal dari semata musik Arab menuju jenis-jenis musik lainnya yang sangat kaya.
Harap diketahui, tidak dengan sendirinya mudah bagi Nia yang selama ini lebih banyak qiro`ah harus melagukan berbagai macam lagu. Sempat hampir menolak, tapi dia mencoba dan mencoba. Dia ingat, Cak Nun pernah berpesan kepadanya, “Kon kudu belajar lagu sembarang kalir, sebabe umat Islam iku ombo.” Kamu harus belajar berbagai jenis lagu, sebab umat Islam itu luas. Dan benar saja kata Cak Nun, sejak saat itu keikutsertaan bersama KiaiKanjeng menunjukkan kepada Nia berbagai macam jenis umat Islam atau audiens yang harus dihadapinya, ya orientasinya, latar belakangnya, kesukaannya, pengetahuannya, dan macam-macam lainnya. Keragaman dan keluasaan umat Islam mensyaratkan vokalis macam Nia bisa melantunkan beragam lagu, tak hanya lagu Arab. Sebab, musik di sini bukan buat performance melainkan bagian dari komunikasi sosial.
Perjalanan padat bersama KiaiKanjeng dilakoninya mulai Bawean hingga Jakarta. Dari Yogya hingga Mandar. Pokoknya keliling ke mana-mana. Tidak hanya itu, Nia juga ikut beberapa kali shooting video klip KiaiKanjeng saat itu. Ada yang di atas laut Bawean. Ada pula bersama masyarakat kecil di Kampung Penjaringan Jakarta. Tak hanya itu, perjalanan macam-macam agenda bersama KiaiKanjeng membawanya bertemu dengan orang seperti Tri Utami dan Desy Ratnasari. Penyanyi-penyanyi top Indonesia.
Ketahuilah, Nia minder aslinya ketemu mereka. Tapi dia berusaha belajar terus, seperti pesan Cak Nun kepadanya. Dia harus mengembangkan diri. Mencoba bermacam-macam lagu. Ia lakukan semua itu di sela-sela padatnya jadwal KiaiKanjeng. Bahkan oleh Cak Nun dia pernah diajari mencipta lagu. Dikasih contoh oleh Cak Nun. Dengan harapan Nia bisa membuat lagu untuk dirinya sendiri.
Bagaimana dengan sisi perjuangan Nia sebagai seorang ibu? Waktu awal bergabung bersama KiaiKanjeng, dia masih seorang gadis. Sampai suatu ketika ayahnya kepikiran akan anak gadisnya ini. Pasalnya pernah dalam satu bulan jadwal benar-benar padat sebulan itu. Hanya sempat libur tiga hari. Di antaranya acara di TPI, acara bersama masyarakat di Jakarta, dan kota-kota lain. Saat sampai rumah, ayahnya memintanya supaya segera menikah. Dengan siapa? Nah itu masalahnya. Tapi Allah maha mengatur, tak lama setelah itu ada seorang pemuda yang datang ke rumahnya, dan pada proses selanjutnya pemuda itu yang mempersuntingnya.
Perjuangan dan perjalanan tak berhenti di situ. Sesudah menikah, Nia masih ikut terus bersama KiaiKanjeng. Dalam keadaan hamil gede pun, ia tetap ikut perjalanan KiaiKanjeng. Ketika anak pertama lahir dan usia tiga bulan, Nia harus ikut ke Jakarta pada awal 2001 untuk Konser Kenduri Cinta di Tennis Indoor Senayan Jakarta. Bayi mungil itu pun harus dibawa. Di sela-sela latihan dan gladi resik, sesekali Nia harus mencari tempat buat menyusui si buah hati. Waktu dan perhatian harus dibagi antara latihan, acara, dan mengurus anak.
Bagaimana dengan anak kedua? Ketika bayi anak kedua ini lahir dan baru berusia tiga minggu Nia harus meninggalkannya. Kemana? Ke Mesir. Cak Nun dan KiaiKanjeng terjadwal enam belas hari total rangkain tur di Mesir. Tentu Nia telah menimbang masak-masak keputuaan untuk berangkat ke Mesir. “Pokoknya niat saya mengabdi, ikut melakukan kebaikan, beribadah, tanpa boleh banyak mengeluh, dan harus enjoy,” kata Nia.
Berkeliling bersama KiaiKanjeng telah memberinya pengalaman dan perluasan musikal sangat banyak. Dia harus belajar menguasai berbagai genre musik: dangdut, Melayu, Jawa, Banyuwangi, Pop, Arabic tentu saja, dan etnik-etnik lainnya. Pernah dia bersama almarhum Zainul Arifin diminta menyanyikan lagu dangdut yang liriknya secara khusus dibuat oleh Cak Nun dan musiknya oleh KiaiKanjeng. Album itu berjudul Dangdut Kesejukan.
Pada 2005, dalam rangkain Tur UK, tepatnya di London, Nia (dan Yuli Astutik) melantunkan Al-Qur`an di depan pejabat dan publik Inggris. Chancellor of the Exchequer (dan kemudian menjadi Perdana Menteri Inggris) Gordon Brown hadir dan memberikan statement penting tentang masa depan peradaban manusia di masa mendatang sesaat setelah menyaksikan persembahan KiaiKanjeng. Saat itu Cak Nun KiaiKanjeng mendapatkan penghargaan Islamic Award for Excellence dari Muslim News. Usai membaca Al-Qur`an itu, Nia diwawancarai oleh BBC London.
Belum lagi terhitung perjalanan di dalam negeri ke berbagai lapisan masyarakat dengan segmen yang bermacam-macam. Acaranya pun kalau disebut pengajian bukan lazimnya pengajian. Di situ Nia harus bisa dan siap melantunkan macam-macam ya shalawatan, qasidahan, maupun lagu-lagu beragama nuansa etnik.
Di sini, ada satu hal yang Nia sangat belajar. Dia harus siap ngemong audiens atau jamaah. Misalnya, kalau ada jamaah perempuan akan berpartisipasi nyanyi di panggung biasanya akan lebih nyaman jika didampingi vokalis KK perempuan. Dalam hal ini Nia harus siap mendampingi. Ini satu dimensi pelayanan yang muncul ketika dia bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng.
Dalam konteks musikal, apa yang dialami Nia yang notabene seorang qari`ah adalah perlebaran dan perluasan yang amat luas. Perluasan yang dimungkinkan karena bersama KiaiKanjeng. Sebuah pengalaman yang tak dimiliki qari`ah lainnya. Itu potret dan profil unik seorang “professional reciter” jika kita pakai perspektif Bu Ann di awal. Ia adalah exemplary yang lain daripada yang lain.
Bagi Nia sendiri, dan ini sangat digarisbawahinya, pengalaman belajar musik dan membawakan jenis-jenis lagu di KiaiKanjeng membuatnya bisa merasakan kalau pas melantunkan Al-Qur`an ada yang agak-agak fals sedikit. Kepekaan musikalnya meningkat.
Tanpa terasa Nia sudah bersama KiaiKanjeng kurang lebih dua puluh tahun. Selama bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng, sekurang-kurangnya tiga hal dia peroleh. Pertama, pengalaman belajar genre musik lebih luas. Bukan hanya nada dan lagu-lagu Arab. Kedua, mendapatkan pengalaman berinteraksi dengan beragam jenis masyarakat atau audiens, dari tingkat desa hingga mancanegara yang beragam pula konteks dan background-nya. Ketiga, mendapatkan persahabatan atau paseduluran dengan Jamaah Maiyah yang tersebar di berbagai tempat.
Ketika tulisan ini saya susun, Nia telah meninggalkan keluarga selama beberapa hari sejak tanggal 17 untuk perjalanan KiaiKanjeng. Mocopat Syafaat, Sinau Bareng di Purwokerto, Sinau Bareng di Candirejo Yogyakarta, Sinau Bareng di Sewon, dan selanjutnya di Tuban dan Banyuwangi dan beberapa jadwal berikutnya telah menanti.
Anak-anaknya yang dulu disusui sambil gladi resik, dan satunya lagi ditinggal ketika masih usia belasan hari, kini sudah menapak remaja dan nyantri di Pondok Pesantren Gontor. Kadangkala di sela-sela perjalanan acara yang berdekatan atau melewati Mantingan dan Ponogoro, Nia bersama suami dan anak ketiga memanfaatkan perjalanan sekaligus buat menjenguk kedua buah hatinya itu.
Bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng, Nia tidak menapak karier sebagai qari`ah dalam pengertian baku, melainkan mengalami (menempuh) perjalanan musikal-sosial yang meluas seluas umat Islam (ummatin was’iah) itu sendiri seperti digambarkan Cak Nun kepada Nia. Itulah Indonesian Daily Life seorang Nia sejak dua puluh tahun silam.
Yogyakarta-Tuban, 25 November 2017