Kunci Pintu Surga
Sayup-sayup dari panggung terdengar suara khas Mas Imam Fatawi,
Kuncine lawang suwarga, ora ana lafaz liya,
Laaillaha illallah… Laaillaha illallah...
…………………………………………………………
Jelek-jelek begini, saya juga kadang disalah sangkai sebagai orang yang pintar bermain alat musik. Apa saja asal saya pegang mesti timbul bunyi darinya. Perkara bunyinya mengganggu indera pendengaran manusia atau tidak itu hitungannya di belakang. Ditengarai pintar bermain alat musik adalah efek samping saya kuliah di jurusan musik. Kuliah di jurusan musik kok tidak bisa sekadar membunyikan alat musik, nanti kan aneh. Membawa citra buruk bagi almamater. Lumrahnya, kuliah musik ya bisa musik. Kuliah ekonomi, ya bisa mengatur rumah tangga. Kuliah fisika, ya mesti kuat fisiknya. Kuliah teknik, mesti banyak belajar teknik-teknik. Kuliah komunikasi ya mesti bisa menciptakan alat komunikasi. Kuliah keguruan, ya mesti bisa meng-guru-i. Kuliah kedokteran, kalau bisa yang jujur, jangan memakai kedok. Kuliah bahasa, diam pun dianggap kumpulan dari seribu bahasa. Begitu bukan?
Alih-alih saya ahli di dalam musik, saya justru menjadi kurang berkompeten di dunia permusikan. Jarang terlibat pentas. Kurang memiliki panggung. Dan miskin eksistensi permusikan. Karena saya ini tipikal manusia yang tidak suka berebut. Kalau ada yang sudah main gitar dan bagus, saya tidak akan main gitar. Kalau sudah ada yang main drum dan memukau, saya lebih baik jadi crew saja. Kalau ada yang bersuara emas, otomatis saya akan mengunci mulut serapat-rapatnya. Menjadi ban serep saja bahasa cadasnya.
Di bumi ini, hanya ada satu grup nasyid yang mau menampung kemampuan saya. Itu pun saya memaknainya dengan kerangka konsep berpikir yang masih sama. Kalau ada yang lebih bagus, jangan gunakan kemampuan saya. Nah, ini saya bagi tips bagi teman-teman yang senang belajar musik dan butuh untuk mengekspresikannya. Ada satu alat musik yang jarang atau sepi peminat. Namanya bass. Saya berbicara seperti ini berdasarkan riset. Lho jangan salah, intelektual saya pernah pada posisi bagus-bagusnya. Kalau tidak percaya, teman-teman boleh berkunjung ke tempat-tempat les atau kursus musik. Nanti didata. Berani taruhan cukur jenggot, kalau peminatnya yang paling banyak, khususnya anak-anak adalah, satu alat musik drum, dua gitar, tiga piano, baru biola, untuk kemudian bass.
Saya pernah bertanya, kok bisa drum? Karena secara naluriah, sejak manusia kecil kekuatan dan kemampuan motorik kitalah yang lebih mendominasi. Itu kenapa alat-alat musik zaman dulu lebih banyak dari jenis perkusi. Perkusi lho. Bukan persekusi. Meski sama-sama memukul tapi yang dipukul beda lho. Baru kemudian alat musik yang dimainkan dengan dipetik karena berdawai. Terus kenapa bisa bass sepi peminat? Alasannya sederhana teman-teman. Yaitu, senarnya terlalu besar ukurannya. Di tangan sakit. Jarang sekali ada anak yang berminat untuk belajar alat musik bass. Mesti melalui belajar gitar dulu. Secara teknik tidak jauh berbeda. Hanya membutuhkan pembiasaan karena senarnya berdiameter lebih besar.
Semasa SMA dan getol belajar alat musik, dari sekian jenis alat musik melodis, bass adalah yang paling saya benci. Lalu sampai pada peristiwa di mana ada grup nasyid yang masih kosong posisi pemain bass-nya. Saya mengisi kekosongan tersebut. Awalnya benci. Ingin protes kepada Tuhan. Ngganjel. Ndongkol. Nggrundel. Why? Why? Why? Kenapa Engkau justru dekatkan aku kepada sesuatu yang aku sangat membencinya? Anehnya sambil protes, sambil saya lakoni juga bermain alat musik bass. Mulai dari situlah lama-lama saya terbiasa dengan bass ini. Jari kiri yang kadang sampai ngapal sudah tak terasa sakitnya. Karena saking sering dan lamanya sakit, sampai lupa rasanya disakiti. Kayak Indonesia.
Selama mau belajar, insyaallah bisa memainkannya. Meskipun tetap pada koridor keterbatasan. Supaya tidak mbablas kemana-mana, jadi kemampuan saya bermain bass stabil. Bahasa religiusnya itiqomah alias ya begitu-begitu saja. Yang penting tahu letak setiap kuncinya. Paham posisi masing-masing kunci. Di mana A B C D E F G nya. Kalau bass empat senar gimana, kalau lima senar gimana, kalau enam senar gimana. Tahu bagaimana cara memperlakukan mereka. Baru setelah itu belajar dinamika, keras-lembutnya dan pelan-cepatnya. Kalau posisi kunci sudah dikuasai, mau diajak bermain model apapun jadi. Sok jadi rocker. Sok ndangdut. Sok nge-jazz. Sok kontemporer. Pokoknya pintar-pintar kita saja supaya yang melihat kita tidak sampai tahu bahwa kemampuan kita ya begitu-begitu saja. Yang penting tetap memakai rumus, apa yang benar.
Nah untuk rumus apa yang benar ini, musik juga memiliki ruang lingkup aturannya sendiri. Sering terjadi seperti ini. Ada dua orang, Fulan dan Sutonoyo, sama-sama belajar bermain gitar dan memainkan sebuah lagu. Sebut saja judul lagunya ‘Surat Cinta Untuk Starla’. Sedikit ikut tren tak apa lah ya. Si Fulan belajar memainkan lagu tersebut dengan mencontoh dari sebuah majalah musik. Di majalah itu lagu Surat Cinta Untuk Starla dimainkan dari kunci A atau Do=A. Sedangkan si Sutonoyo menerka-nerka dan mencari-cari sendiri kunci lagu tersebut. Menurutnya lagu tersebut dimulai dari kunci G atau Do=G.
Keesokan harinya mereka bertemu. Fulan membawa gitar. Kemudian memainkan lagu tersebut. Reflek, Sutonoyo langsung memprotes.
“Kamu salah! Seharusnya dari G. Bukan dari A.”
“Lho! Di majalah dari A kok. Nggak dari G.”
“Yang benar itu dari G. Aku sudah cocokkan dengan lagu aslinya.”
“Nggak! Dari A!”
“Nggak! Dari G”
“A!”
“G!”
“A!”
“G!”
Lalu datanglah laki-laki yang biasanya menjadi imam mushola.
“Semuanya benar. Mau dari G mau dari A mau dari C, bahkan mau dari F# pun sama-sama benar. Tinggal menyesuaikan dengan tinggi rendahnya nada penyanyinya. Kalian bisa memasukinya dengan kunci apa saja. Asal susunan dan struktur rangkaian nada-nada setelahnya sudah kalian kuasai ilmunya. Yang jelas bisa saja suara penyanyi aslinya sangat berbeda dengan suara kita yang mencoba menirunya. Belum lagi kalau gitar kalian tidak standar nyetem-nya. Belajar mengoreksi keterbatasan diri dulu. Biasanya memang yang sering merasa paling benar adalah mereka yang baru belajar.”
Sebagai ‘musisi’, sempat juga saya merasa pada titik di mana saya memutuskan untuk tidak lagi berkubang di lingkungan musik. Karena saya sadar dengan kemampuan yang begitu-begitu saja agaknya tidak ada harapan lagi. Belum lagi kalau tersangkut masalah finansial. Sudah seharian, perjalanan jauh, tapi dapatnya tidak seberapa. Sudah tekor waktu, tekor tenaga, bensin masih harus beli sendiri.
Lalu, suatu saat di Mocopat Syafaat…..
Panggung masih sepi. Alat-alat musik KiaiKanjeng sudah tertata rapi. Namun para personelnya belum hadir. Kemudian Cak Nun dan beberapa nara sumber memendarkan cahaya-cahaya ilmu kepada jamaah. Saya pikir, ini pada kemana para personel KiaiKanjeng. Biasanya mereka hadir menyapa jamaah terlebih dahulu baru kemudian Cak Nun. Saat itu saya ndeprok di kompleks TKIT Alhamdulillah. Kemudian Cak Nun menjelaskan bahwa personel KiaiKanjeng masih dalam perjalanan menuju Tamantirto, Kasihan, Bantul dari Jawa Timur. Kalau tidak Surabaya ya Malang. Alat-alat musik beserta crew sudah sampai di Yogya terlebih dahulu. Lazim kalau alat musik yang dahulu sampai karena biasanya untuk keperluan cek suara sebelum tampil.
Saya pikir, paling para personel KiaiKanjeng begitu sampai di Yogya langsung kembali ke keluarga masing-masing. Karena sudah hampir tengah malam. Kemudian rombongan berbaju putih-putih terlihat memasuki kompleks acara Mocopat Syafaat. Mereka masuk ke rumah singgah sebentar. Mungkin transit. Sampai tahap ini belum terlihat tanda-tanda KiaiKanjeng akan naik ke panggung. Namun, kurang dari setengah jam kemudian (semoga saya tidak salah, karena seingat saya bahkan tidak ada lima belas menit), para personel KiaiKanjeng satu per satu memasuki panggung. Cak Nun langsung merespon,
“Mari jamaah sekalin kita doakan KiaiKanjeng tetap diberi kesehatan karena kesungguhannya…”
Begitu KiaiKanjeng memainkan satu nomor lagu saya melongo. Itu, nek saya mungkin akan lebih memilih pulang dan segera tidur di rumah ngeloni anak bojo. Baru mak jleg turun dari bus lho. Langsung main? Dan momen itu yang kemudian saya ingat sampai sekarang. Apalagi kalau sedang mengalami patah semangat dalam bermusik. KiaiKanjeng saja yang sudah, maaf, tidak muda lagi, masih on terus. Mosok saya yang masih imut begini kalah staminanya. Serius, peristiwa itu saya bawa terus di dalam hidup saya. Selalu saya bawa di pentas dan panggung bermusik saya. Sampai yang cukup menguras tenaga, pentas di wilayah Muara Badak, Kalimantan.
Entah KiaiKanjeng memainkan lagu-lagu kehidupan mereka dimulai dari kunci apa saya tidak tahu. Yang jelas mau dari kunci apa saja, kalau tahu kaidah kebenaran, keindahan, dan kebaikannya, lagu-lagu itu insyaallah bisa dilakoni dan dimainkan.
…………………………………………
Sayup-sayup dari panggung terdengar suara khas Mas Islamiyanto,
Kuncine lawang suwarga, ora ana lafaz liya,
Laaillaha illallah… Laaillaha illallah...