Korting Cinta
Telah diyakinkan oleh Allah sendiri: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. [1] (Al-Baqarah: 186).
Tetapi kalau seberapa dekat Ia kepada hamba-Nya berbanding lurus dengan tingkat kepatuhan kepada perintah-Nya, dengan kadar keimanan kepada-Nya, serta ketepatan dan konsistensi untuk selalu berada di dalam kebenaran – bagaimana mungkin aku mampu menilai bahwa diriku mencukupi untuk persyaratan itu.
Kemudian Allah menganugerahkan keringanan dan melunakkan persyaratannya dari level tinggi-rendahnya iman, benar-bathilnya akhlak kehidupan, serta ukuran patuh-ingkar – digeser menjadi tema kemurahan hati, rasa tidak tega dan semacam kedermawanan sikap: “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin”. [2] (At-Taubah: 128).
“Korting cinta” ini membuatku tak bisa menahan diri untuk sowan kepada Kanjeng Nabi, di manapun, bagaimanapun, dengan ongkos seberapapun, sesudah dan sesulit apapun. Allah bermurah hati kepada siapapun yang “gondhelan klambi”nya Rasulullah Muhammad kekasih-Nya. Allah seakan-akan menawarkan keringanan hukum kepada siapa saja yang hidup dengan “berpegangan” bagian belakang gamisnya Rasulullah Muhammad Saw. “Wahai Nabi, ajari aku Iqra`”.