Kode-Kode Kehidupan di Padhangmbulan

“Saya menyesal,” begitu yang diucapkan salah seorang jamaah ketika menghadiri Padhangmbulan kali ini. Bukan menyesal karena telah datang, tapi ia menyesal kenapa baru sekarang bisa ikut belajar di Padhangmbulan. Terlepas ia pun masih meyakini, bahwa segala apa, kapan, dan di mana terjadinya, pastilah sudah berada dalam perencanaan dan kehendak Sang Sutradara.
Seperti biasa, jamaah berduyun-duyun merapat ke Menturo tiap malam Padhangmbulan, malam ketika rembulan bersinar paling terang di antara malam-malam lainnya. Ditambah kali ini bertepatan dengan malam minggu, ditambah lagi Padhangmbulan kali ini bertepatan dengan momen tertentu, lengkap sudah. Ribuan nyawa anak manusia itu kian merayap di pelosok desa kecil itu. Jamaah membludak, tumpah-ruah, amber sampai di jalan-jalan.
Tunggu dulu. Momen tertentu? Ya, malam itu Padhangmbulan bertemakan Fuadussab’ah. Ini sebagai salah satu upaya untuk mensyukuri tujuh puluh tahunnya salah satu Marja’ Maiyah. Cak Fuad yang dilahirkan pada tanggal tujuh Juli (tanggal 7 bulan 7) 1947 ini, syukur alhamdulillah sampai detik ini masih diberikan kesehatan dan kekuatan untuk menemani jamaah ngaji, baik yang ‘di sana’ maupun yang ‘di sini’. Hal ini menjadi bagian dari anugerah yang sangat luar biasa bagi kita semua. Karenanya, malam itu JM dari seluruh pelosok Nusantara pun berbondong-bondong turut hadir sebagai salah satu perwujudan rasa syukurnya. Mereka mempersembahkan kado terbaik untuk Cak Fuad, sebagai ungkapan syukur terima kasih kepada beliau. Karena telah berkenan membersamai para jamaah belajar iqra’, membaca kode-kode kehidupan yang telah dibentangkan-Nya di keluasan kehidupan yang fana ini.
Semesta Kode dan Kode Semesta
Karena Cak Fuad merupakan sosok guru besar bahasa Arab, malam itu sengaja semua disetting serba berbahasa Arab. Mulai dari pemandu acara, sambutan, lagu-lagu yang dipersembahkan Kiai Kanjeng, semua berbahasa Arab. Sebagai orang yang tidak tinggal di daerah yang berbahasa Arab dan jarang bersinggungan dengan bahasa Arab, sudah barang tentu sebagian besar jamaah masih asing dengan apa yang disampaikan dalam bahasa tersebut. Menariknya, ini tidak menjadi masalah bagi jamaah. Mereka bisa langsung beradaptasi dan tetap menikmati kode-kode asing tersebut dengan sumringah. Sekali lagi, kode asing ini sama sekali tidak menyurutkan kemesraan di antara jamaah.
Meskipun tidak sepenuhnya mengerti apa maksud tiap kata yang diucapkan dalam bahasa alif, ba’, ta’ tersebut, jamaah tetap mampu merespons apa yang telah disampaikan. Mereka tetap mampu menangkap apa inti maksud dari yang dipesankan. Potret malam itu seolah ingin bercerita, bahwa asal ada cinta dan hati yang lapang dada, serumit apapun kode yang disuguhkan, masih akan tetap ada celah untuk terbukanya pemahaman.
Berbicara tentang kode-mengkode, Tuhan pun sering memberikan sebagian ilmu-Nya melalui kode-kode. Tuhan sangat jarang sekali, atau mungkin memang belum pernah berfirman langsung mendikte begitu saja. Kebaikan adalah, yang dimaksud hidup adalah, ataupun pernyataan-pernyataan yang sejenisnya. “Dalam memberikan ilmu, Allah tidak pernah kognitif.” Menurut Mbah Nun, Allah lebih sering menggunakan kode-kode ataupun sandi-sandi dalam menyampaikan sebagian ilmu-Nya.
Artinya, selama masih ada kehidupan, selama itu pula kita akan tetap dihadapkan dengan kode-kode kehidupan. Tuhan telah membentangkan kode-kode-Nya di keluasan semesta. Kode-kode dalam Al-Qur’an tekstual maupun yang kontekstual. Kode-kode inilah yang harus kita perjuangkan untuk dipahami, sebagai peta dan kompas penunjuk arah agar selamat menuju kepulangan yang sejati. Mengingat pentingnya belajar memahami kode-kode ini, Tuhan pun menganjurkan untuk iqra’ dalam firman-Nya yang pertama kali.
Di Majelis Ilmu Maiyah, jamaah diajak untuk belajar iqra’, mencoba mentadabburi apa-apa yang bisa ditadabburi, belajar dan mempelajari apapun saja sebagai tambahan bekal ‘perjalanan’ kita ini. Seperti halnya saat Padhangmbulan malam itu, Dr. Musthofa mengajak jamaah untuk kembali belajar pada Ilir-Ilir. Ada beberapa kata kunci yang disampaikan beliau. Di antaranya ada cah angon dan blimbing yang bergerigi lima.
“Kita harus jadi cah angon. Paling tidak, angon untuk diri kita sendiri.” Begitu kurang lebih yang beliau sampaikan kala itu. Hal ini juga senada dengan apa yang telah disampaikan Mbah Nun. “Kita yang harus menciptakan era, langkah, dan irama kita sendiri.” Berbicara tentang bocah angon, beruntung kita pun masih disuguhkan contoh nyata, kita masih dipertemukan dengan sosok-sosok yang melakoninya. Cak Fuad, Mbah Nun, Syeikh Kamba, dan guru-guru kita di Maiyah inilah di antaranya. Tak hanya untuk diri sendiri saja, tapi beliau-beliau ini juga telah mengangoni kita, puluhan ribu anak manusia. Kepada beliau-beliau kita belajar untuk menjadi bocah angon. Syukur-syukur daya angon kita sedikit-sedikit bisa ikut melebar ke lingkungan sekitar kita, dan bukan hanya untuk diri kita sendiri saja.
Malam itu, jamaah juga diajak belajar ‘membaca’ kode yang tersematkan dalam sosok DNA. Dokter Eddot dan Mas Sabrang pun mencoba mengurai DNA sesuai dengan keilmuan mereka. Sampai akhirnya, ditemukanlah suatu titik pertemuan antara nasab dan nasib kita di sana.
Melanjutkan Estafet Investasi
Hingga akhirnya, DNA diyakini menjadi suatu manifestasi informasi dari nenek moyang kita. Apa yang kita lakukan, bagaimana karakter kita, apa yang ada pada diri kita, sedikit banyak ada peran mbah-mbah kita dulu di dalamnya. Meskipun tidak seutuhnya, setidaknya masih ada muatan-muatan nilai dari leluhur kita yang diwariskan kepada kita, anak cucunya.
“Saya menjadi dokter, bisa jadi mbah-mbah saya dulu juga seperti ini.” Begitu kurang lebih dr. Eddot mencoba menggambarkan. Meskipun tidak sama persis, karena dulu juga memang belum ada dokter, tapi mungkin sifat-sifatnya masih sama. Penyayang dan suka menolong, misalnya.
Hal yang serupa juga tampak pada keluarga Mbah Nun. Beliau beserta keempat belas saudaranya dibesarkan dan dididik oleh sosok orangtua yang sangat sederhana dan penyayang terhadap wong cilik. Beliau-beliau hidup dan tumbuh dalam atmosfer keluarga yang tidak pernah mematok kesuksesan karir duniawi. Dan nyatanya, beliau-beliau ini juga terwarisi sifat penyayang dan suka mengayomi wong cilik. Beliau-beliau juga tidak terlalu mementingkan kesuksesan duniawi. Sampai-sampai, Cak Fuad pun merasa malu saat beliau diamanahi menjadi seorang dekan. Sedang di luar sana, kebanyakan justru berburu kedudukan dan kekuasaan yang serupa.
Begitulah, tanpa kita sadari, nasab terkadang menyeret kita pada lingkaran yang sama dengan para leluhur kita. Sejauh apapun kita lari darinya, tetap saja, ujung-ujungnya kadang kita juga masih dibawa ke sana juga. Seperti yang dialami Mas Sabrang. Beliau pernah menghindar dan lari dari lingkaran Mbah Nun. Nyatanya, sekarang Mas Sabrang pun kembali ke sini juga. Mas Sabrang turut melingkar membersamai para anak manusia mengupayakan cahaya dan cinta-Nya.
Karenanya, menurut Mas Sabrang, jika ingin lebih cepat sukses, lebih baik melanjutkan apa yang telah dilakukan oleh para pendahulu kita. Dalam mencari rizki, misalnya. Ini akan lebih cepat berhasil jika kita meneruskan usaha orangtua kita. Mungkin inilah mengapa kita dianjurkan untuk mengenal leluhur kita, belajar kepada mereka. Agar kita bisa memosisikan diri kita di mana. Agar kita bisa melanjutkan estafet perjuangan mereka.
Akan tetapi, yang perlu kita ingat, bahwa nilai-nilai yang diwariskan oleh mbah-mbah kita bukan hanya kebaikan saja. Akan tetapi bisa nilai keburukan juga. Karenanya, dalam Al Quran (surat at-Taghabun 14) diperingatkan bahwa jangan heran kalau ada salah satu anak yang memusuhimu. “Wa in Ta’fuu wa tashfahuu wa taghfiruu fa innallaha ghofurun rohiim.” Demikian ayat itu memberi panduan sikap kepada salah satu anak atau keturunan yang memusuhi itu. Cak Fuad mencoba menguraikan maksud dari ayat ini. Bahwa jika hal tersebut sampai terjadi, kita dianjurkan untuk memaafkan, berlapang dada, dan melupakan. Karena bisa jadi, perbuatan si anak tersebut juga merupakan buah dari pebuatan kita. Kita turut andil dalam keburukannya.
Dari sini, kode-kode tersebut seolah ingin kembali mengingatkan. Bahwa kebaikan yang kita dapatkan hari ini, bisa jadi bukan semata-mata karena kita. Bisa jadi ini merupakan buah dari yang ditanam mbah-mbah kita. Bahwa apa yang kita tanam hari ini, bisa jadi tidak langsung kita yang memanennya. Bisa jadi anak cucu kita nanti yang akan memanennya. Yang jelas, ada yang menanam pasti akan ada pula yang memanennya. Bukankah sudah jelas dalam firman-Nya, siapa yang melakukan kebaikan sekecil apapun akan ada balasannya. Pun sebaliknya. Keburukan sekecil apapun juga akan tetap ada balasannya. Kalau sudah begini, apa gerangan yang akan kita tanam? (Hilwin Nisa’)