CakNun.com

Kios Bedeng

Anwar Hudaya
Waktu baca ± 3 menit

Tiba tiba temanku memegang lenganku sambil memijit-mijit. “Wah, sudah tidak methekol,” katanya. Lalu memijit-mijit betis kakiku. “Sudah tidak keras seperti dulu. Lembek banget. Kamu sekarang sudah enak. Punya rumah. Punya mobil apik.” Pingin rasanya aku menempeleng mukanya atau bilang “ndasmu bosok“. Tapi maklum. Itu pertanyaan anak kecil.

Serba salah memang. Saya kerja puluhan tahun jadi PNS dimulai dari bikin amplop. Nyortir surat, setia terhadap proses ujian, waktu sampai pada puncak karier kalau tak punya rumah dibilang goblog. Tapi kalau punya mobil dibilang ngapusi. Mbebeki.

Demikian juga ketika suatu hari ada yang bilang bahwa Emha itu sekarang hidupnya enak. Punya rumah bagus dan istri cantik. Tidak seperti dulu tangannya methekol tiap hari bergelantungan naik bus kota seperti lempar lembing. Orang seperti ini jelas cermin orang yang kalah melawan tantangan kehidupan. Tidak paham putaran kosmos. Ada pagi siang sore malam.

Orang tua kita mengandung sembilan bulan melahirkan bayi imut-imut yang hanya bisa menangis. Coba bayangkan jika ibu kita melahirkan manusia sebesar kita yang sudah mengerti ini kaki, paha, ini udel. Apa jadinya? Lalu ibu kita segede apa.

Proses kehidupan diatur sedemikian oleh Tuhan agar kita bisa memahami makna yang terkandung di dalamnya. Petani membalik dan mengolah tanah hingga punggungnya hitam berkilat dihantam panas matahari adalah ongkos untuk bisa memanen di hari esoknya. Ada orang bijak bilang jika kita tak berdaya tanpa ada suatu proses kerja mendadak kaya raya itu adalah jalan setan.

Demikian pula Emha. Tinggal di pondok kecil atau persisnya seperti kios bedeng kecil yang dihuni dengan adik-adiknya. Pondokan itu nyaris tak berpagar. Tak berdinding dan tak berpintu. Setiap hari tak terkecuali teman adiknya, seniman, handai taulan, dari berbagai lapisan. Entah ngobrol, begadang, main gaple, diskusi selalu meramaikan pondok itu  nyaris tak ada malam. Derai tawa riuh layaknya seperti semangat suasana pagi. Kegelisahan tetaplah ada dan selalu menggelepar tapi diubahnya menjadi derai tawa.

Kapan mereka belajar. Kapan mereka bekerja. Padahal lapar itu bagai hantu yang menakutkan. Emha terus mengembara yang entah di mana rimbanya. Diskusi segitiga Darmanto Jt, Linus Suryadi Agustinus di tempatnya Pak Kayam (Prof Umar Kayam) sampai perang brubuh menggebrak-gebrak meja akan kerengan, baca puisi di kampus. Pengajian di kampung-kampung dengan honor selembar sajadah. Sementara dia dan adik-adiknya butuh cahaya matahari yang menyuntikan energi hidup.

Emha terus mengembara. Tak ada malam. Adanya pagi atau siang. Ia melakukan kudeta radikal terhadap dirinya sendiri. Orang-orang tidur ia begadang. Orang-orang tertawa dia gelisah. Orang-orang kenyang dia tidak paham apa itu kenyang. Kegelisahan terus bergelantungan mengobrak-abrik langit dadanya sampai gemeretak retak. Ia tidak tersungkur. Tidak pula menangis. Tetap tegak berdiri mengacungkan tinju.  Ia bahkan tak pernah minta badai kehidupan dirinya menjadi reda.

Emha terus mengembara. Melayani apa yang menjadi kehendak Tuhannya. Tak punya bekal apa-apa kecuali semangatnya yang tak surut menyala. Berdialog dengan alam, lingkungan, dan kehidupan sehari hari. Dengan tukang becak, panasnya aspal jalan, tukang sayur Bringharjo, pedagang emperan Malioboro, tukang koran, dan entah siapa lagi.

Kios bedeng kecil yang tak berpagar. Tak berdinding. Tak berpintu. Sahabat handai taulan menyatu. Emha berangkat mengembara dari situ. Derai tawa penuh warna. Derita seperti api menyala. Haruskah kita tega bertanya, kapan Emha bahahagia. Isyarat Tuhan pun tak diharap menyapa. Ongkos hidupnya ia lalui setiap lorong kehidupan. Ia pertaruhkan hidupnya tidak untuk dirinya. Bahkan tidak untuk apa-apa kecuali Tuhan yang apa-apa.

Maafkan aku Cak jika keliru dan berlebihan. Berpuluh tahun sesrawungan. Ada kohesi yang sengaja kutarik mempengaruhi hidupku. Apa yang kutulis adalah kasunyatan yang aku lihat, dengar, dan rasakan di masa-masa pageblug. Begitu banyak rasanya inginku untuk menulis duka deritamu.

Ungaran, 30 Mei 2017

Lainnya

Mengakrabi Tuhan: Sajak-Sajak Religius Emha

Mengakrabi Tuhan: Sajak-Sajak Religius Emha

H.B. JASSIN pengamat dan kritikus sastra terkemuka Indonesia dalam komentarnya menanggapi perkembangan sastra budaya Islam, menyatakan optimis melihat kecenderungan-kecenderungan baru dalam kepuisian dewasa ini.

Saleh Abdullah
Saleh Abdullah
N. Riantiarno
N. Riantiarno

EMHA

EMHA
Umar Kayam
Umar Kayam

EMHA

EMHA

Topik