Kiamat Sebagai Take-off Nasib
Point of no return adalah istilah yang dipakai dalam dunia penerbangan pesawat. Kalau pesawat sudah tancap gas sampai tingkat percepatan tinggi di mana panjangnya jalur runway tidak akan mencukupi untuk digunakan apabila kemudian gas dikurangi menuju berhenti.
Mau tak mau pesawat harus terbang naik. Nasib kita yang sebenarnya sedang take-off. Sampai nanti “pesawat kehidupan” setiap manusia itu mendarat di landasan di tengah lapangan amat luas di mana Allah menantikan kita semua, dengan rindu atau murka, dengan cinta atau dengan pembalasan, dengan kasih sayang atau dengan hukuman.
“Sungguh telah rugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Tuhan; sehingga apabila kiamat datang kepada mereka dengan tiba-tiba, mereka berkata: “Alangkah besarnya penyesalan kami, terhadap kelalaian kami tentang kiamat itu!”, sambil mereka memikul dosa-dosa di atas punggungnya. Ingatlah, amat buruklah apa yang mereka pikul itu”. [1] (Al-An’am: 31).
Kita semua yang menyisihkan Allah dari fokus perhatian kita karena tak tersisa energi jiwa ini untuk mengambisi-i surga, akan salah tingkah karena pesawat nasib kita ternyata tidak mendarat di surga: kita harus menjalani tahap prosedural untuk berurusan dengan para aparat Allah, tanpa tahu apakah Allah sendiri akan langsung menemui kita atau tidak.
Kita yang selama bertugas di bumi sibuk membangun dunia dan diri keduniaan kita sendiri di dalamnya, tidak mendarat sendirian. Melainkan, di punggung, kita memanggul kebodohan, kesembronoan, kelalaian, dan ketakacuhan yang melahirkan kejahatan dan dosa-dosa. Ada keranjang kekufuran, kemunafikan, batu-batu keangkuhan sekularisme, egosentrisme, materialisme, kapitalisme, hedonisme: ghuluwwun….