CakNun.com

KiaiKanjeng, Pesona Musik “Gendheng”

Redaksi
Waktu baca ± 4 menit

Berbicara tentang sejarah, ada baiknya kita mulai introspeksi. Masuk golongan manakah kita. Golongan yang melupakan sejarah, langsung saja memakan buahnya, tanpa mencari tahu asal-usulnya dari mana. Ataukah golongan yang melek sejarah, yang tahu proses panjang sampai munculnya buah, hingga siap dikonsumsi.

Sindiran halus lewat guyonan renyah pun dilemparkan Cak Nun malam itu. “Tapi kok ya enggak ada yang tanya?”, tutur Cak Nun, di tengah-tengah memaparkan keunikan-keunikan musik KiaiKanjeng kepada jamaah Padhangmbulan.

KiaiKanjeng, Pesona Musik "Gengheng"

Begitulah Cak Nun, banyak sekali buah yang Beliau berikan. Tetapi, mungkin kebanyakan langsung memakan buah itu, tanpa tahu proses panjang bagaimana buah ini bisa sampai disajikan. Pun termasuk buah yang Beliau berikan berupa musik KiaiKanjeng ini.

Karenanya, pada Padhangmbulan yang digelar 13 Maret 2017 ini, Jannatul Maiyah diajak napak tilas sejarah musik KiaiKanjeng. JM diajak menyelami masa-masa jauh sebelum KiaiKanjeng ada. Mulai dari perjuangan mengenalkan shalawat, agar masyarakat tidak malu bershalawat, dan shalawatan bisa menjadi budaya masyarakat. Perubahan-perubahan kelompok musik yang menjadi cikal bakal lahirnya KiaiKanjeng. Sampai album-album KiaiKanjeng beserta cerita-cerita unik yang menyertai setiap pembuatannya.

Musik yang Bergerak dan Bergetar

KiaiKanjeng terus saja menunjukkan produktivitasnya. Ber-reproduksi, sebagai tanda kalau grup musik ini masih hidup. Keberhasilannya menetaskan album pertama yang dirilis tahun 1995, nyatanya tak membuat grup musik ini berpuas diri. Terus saja menunjukkan kebolehannya, melalui kreativitas-kreativitas yang disuguhkan dalam setiap ciptaan maupun gubahan lagunya.

Menurut Mas Yoyok, album-album KiaiKanjeng sangat berpengaruh terhadap budaya masyarakat. “Sebelum itu, orang malu dengan budaya puji-pujian. Tapi setelah itu, tidak lagi malu”, cerita Mas Yoyok tentang perubahan budaya masyarakat pasca lahirnya album Kado Muhammad, album pertama KiaiKanjeng.

Demikian juga dengan album kedua dan album-album lainnya. Album Menyorong Rembulan yang dirilis tiga tahun setelah album pertama ini pun menorehkan jejak sejarah pada budaya masyarakat. Terlebih pada ummat Islam. Karena album ini termasuk karya yang memengaruhi perkembangan Islam pada 1999. “Budaya tidak malu dengan budaya Islam. Tapi negatifnya, banyak ustadz-ustadz muda, baru mondok 5 tahun sudah berani mengkafir-kafirkan,” ujar Mas Yoyok.

Padhangmbulan 13 Maret 2017

KiaiKanjeng juga sering menemani dan membesarkan hati masyarakat yang tengah terlilit masalah duniawi. Maiyah Jleb, misalnya. Begitu Cak Nun mengistilahkan sebuah acara Maiyahan yang diselenggarakan di 4 daerah Kalimantan Barat. “Maiyahan membela orang Madura yang akan dibunuh di Kalimatan.” Bisa dibayangkan bagaimana rasanya berada di daerah yang sedang penuh konflik seperti itu. Apalagi salah satu personil KiaiKanjeng waktu itu juga ada yang keturunan Madura. Sedang orang Kalimantan bisa mendeteksi siapa saja yang masih ada aliran darah Madura dalam dirinya. Itu pun hanyalah salah satu contoh perjuangan KiaiKanjeng dalam pementasannya yang Rahmatal Lil ‘Alamiin. Merangkul semua pihak dan golongan.

Musik Penampung Dimensi

Kendatipun KiaiKanjeng cukup berjasa di Indonesia. Juga musiknya yang sangat unik. Serta pengalaman pementasannya yang tidak ada bandinganya. Tapi KiaiKanjeng tetap tidak dikenal di Indonesia. Dan itu pun tidak menjadi masalah bagi mereka.

Berbicara masalah keunikan KiaiKanjeng, tentu tidak bisa lepas dari genre musiknya. Jika biasanya dalam satu album, aliran musiknya sama semua, tapi tidak dengan Kiai Kanjeng. Dalam satu album, bisa ada musik dangdut, shalawat, gamelan, dan yang selainnya. Latar belakang personil grup musik yang punya jadwal latihan tiap Selasa dan Jumat malam ini pun juga berbeda-beda.

Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang berangkat dari background yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan musik. Pak Joko SP, misalnya. Pemain gitar KiaiKanjeng ini dulu justru kuliahnya mengambil jurusan Seni Rupa. Seperti itulah KiaiKanjeng. Layaknya sebuah bulatan besar yang menampung berbagai bulatan-bulatan kecil di dalamnya.

Padhangmbulan 13 Maret 2017

“Ikhlas dan jujur.” Begitu Pak Joko SP memberikan kunci agar bisa berbaur dengan segala perbedaan. Selain itu, konsisten dalam berproses jugalah yang masih tetap dipegang para personel KiaiKanjeng tersebut.

Bikin Kecele

“The song, not the singer.” Begitu Cak Nun menggambarkan KiaiKanjeng. Bahwa KiaiKanjeng bukan tentang identitasnya, bukan tentang KiaiKanjengnya. Akan tetapi lebih kepada apa yang ada di dalamnya. “Yang penting apa yang disampaikan, bukan penyampainya.” Bahwa apa pun yang disampaikan oleh KiaiKanjeng, harapannya bisa diterima oleh berbagai kalangan. Dan nyatanya pun memang demikian.

Pementasan KiaiKanjeng tidak hanya untuk ummat Islam saja. Tidak jarang pula KiaiKanjeng pentas di dalam gereja-gereja. Di tempat-tempat pelosok. Bahkan, pementasan KiaiKanjeng juga sudah melanglang buana hingga luar negeri di berbagai benua. Dan tentu tidak semuanya berjalan mulus-mulus saja.

KiaiKanjeng juga pernah pentas di daerah yang suhunya di bawah minus satu derajat celcius. Hingga keyboard-nya pun harus ditutup plastik, karena udaranya mengembun. Tak jarang pula gubahan-gubahan lagunya lahir secara spontan. Langsung mengalir saat pentas, tanpa ada perencanaan sebelumnya. Mereka pun tak jarang bertanya-tanya. Bagaimana bisa mereka melakukan pementasan-pementasan yang logika pun belum sampai untuk menjamahnya. “Bukan benar-benar kita, ada pertolongan Allah.” Begitu Cak Nun menyimpulkan.

“Pengalaman KiaiKanjeng tidak ada yang nglawan dalam hal musik.” Tegas Cak Nun. “Coba sebutkan, adakah pementasan yang dilakukan tanpa ada crew? Dan KiaiKanjeng pernah mengalami itu. Pentas di Italia, Finlandia,  tanpa ada crew. Tidak ada yang membantu. Semua peralatannya diangkut-angkut sendiri, dipasang-pasang sendiri.”

Padhangmbulan 13 Maret 2017

Pernah suatu ketika, Kiai Kanjeng pentas di Luar Negeri. Ada orang Prancis yang ngejar-ngejar KiaiKanjeng seusai pentas. “Crazy…crazy… Saya selalu mengamati musik KiaiKanjeng dan selalu kecele”, teriak orang itu, karena selalu merasa tertipu oleh musik KiaiKanjeng yang tidak dapat diprediksi.

Menurut Mas Sabrang, segala sesuatu itu ada polanya. Tentu tak terkecuali dalam hal musik. Hanya saja, pola itu bermacam-macam. Ada yang sangat sederhana, sedang, dan sangat rumit. Yang kelihatannya tidak berpola, bisa jadi justru sangatlah berpola. Karena kerumitan pola tersebut, dan keterbatasan kitalah yang belum mampu menangkap polanya. Seperti bilangan prima, yang sampai saat ini masih belum terkuak polanya, dan masih menjadi PR matematika sedunia.

Begitu juga dengan musik KiaiKanjeng yang terkesan “acak” karena tidak terprediksi. Lain dari yang lain. Bisa jadi, musik KiaiKanjeng inilah yang sangat berpola. Sampai-sampai kita pun belum bisa menangkap pola dari setiap keindahannya. Napak tilas musik KiaiKanjeng di Padhangmbulan malam itu membawa Jamaah lebih dekat kepada pola KiaiKanjeng, tak terbatas pada musiknya, melainkan background dan keluasan dimensi yang dijamahnya, sehingga pola yang dipahami Jamaah juga berada dalam gambar besar, bukan musik semata. (Hilwin Nisa’)

Lainnya

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

Sejak jum’at siang (8/5) KiaiKanjeng sudah berada di Jakarta untuk malamnya menghadiri Kenduri Cinta, setelah menjalani rangkaian Maiyahan di Jawa Timur, mulai tanggal 4 Mei 2015 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian 5 Mei 2015 di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, dilanjutkan tanggal 6 Mei-nya di Sidoarjo.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Hilwin Nisa
Hilwin Nisa

Tidak

Topik