CakNun.com

Khilafah Alamiah dan Khilafah dalam Batas Kemampuan

Catatan dari Sinau Bareng Polres Malang, Kepanjen 6 Mei 2017 (Bagian 1)
Redaksi
Waktu baca ± 4 menit
Sinau Bareng di halaman Polres Malang. Foto: Adin.

Sinau Bareng di Mapolres Kabupaten Malang, 07 Mei 2017, berlangsung padat dalam suasana hangat, mesra, dan guyub. Jajaran pimpinan daerah Kabupaten Malang yang duduk bersama Mbah Nun di panggung menyaksikan langsung bagaimana kebersamaan itu dapat diciptakan dalam sebuah acara yang sarat muatan, bermacam rasa, serta sejumlah pencapaian sosial-politik.

Pencapaian sosial-politik yang dimaksud di situ adalah kedalaman dan keluasan pembahasan terutama pada persoalan pokok yang menjadi concern dari Bupati dan Kapolres Malang. Dari dua sambutan Beliau, setidaknya terdapat benang merah yang terentang untuk dikaji bersama yaitu perihal gejala radikalisme, intoleransi, dan upaya dikotomisasi mempertentangkan antara NKRI dan Pancasila di satu sisi dan Islam pada sisi lain. (Baca Foto Headline: Ungkapan Kebutuhan Akan Sinau Bareng).

Tujuan utama Sinau Bareng yang diselenggarakan oleh Polres Malang bekerja sama dengan teman-teman Obor Ilahi ini sendiri adalah merajut kebersamaan dan kerukunan di dalam masyarakat. Sudah barang tentu ada situasi lokal maupun nasional yang berlangsung yang turut memeranguhi tema itu, misalnya cukup ramai dan gencarnya wacana khilafah yang secara head to head dipertentangkan NKRI.

Walaupun ketika catatan ini dibuat, pemerintah baru saja mengeluarkan sikap dan keputusan membubarkan HTI, ormas yang paling banyak menyuarakan khilafah dan dianggap berpotensi makar, pandangan-pandangan Mbah Nun yang disampaikan dalam Sinau Bareng itu kiranya sangat penting sebagai ilmu dan pembelajaran bersama.

Sikap dasar yang Mbah Nun ambil adalah tidak masuk di dalam kubu-kubu yang bertentangan, melainkan mencoba menempuh sikap dan pemahaman yang mandiri, di antaranya dengan jalan menjernihkan kembali pemahaman kita tentang misalnya Khilafah.

Khilafah coba dilihat dari kemungkinan makna dasar dan esensialnya, dan terlebih dahulu dibebaskan dari beban politik-ideologis yang telah melekat pada kata tersebut sebagai jargon politik sebagaimana belakangan. Dari situ beberapa pemikiran mendasar diutarakan Mbah Nun.

Ketaatan Kepada Allah Sebagai Inti Khilafah

Berangkat dari pemahaman bahwa terdapat tiga jenis ayat atau firman Allah: yaitu ayat berupa alam semesta, ayat berupa diri manusia, dan ayat berupa teks kitab suci, serta berangkat dari ayat Allah yang menerangkan bahwa manusia dijadikan oleh Tuhan sebagai khalifah, dan dari situ pula dapat diperoleh kata dan arti Khilafah, Mbah Nun mengatakan bahwa khalifah itu orang yang selalu berada di belakang Allah. Jika Allah bergerak ke sana, kita pun mengikuti-Nya. Maka khilafah, yang serumpun dengan kata khalifah, dapat dimengerti dan dipahami sebagai upaya manusia memastikan dirinya taat kepada Allah.

Berdasarkan pembacaan atas alam semesta sebagai salah satu ayat Allah, di mana didapati kenyataaan bahwa alam semesta yang tergelar ini semuanya taat sepenuhnya pada aturan dan takdir-Nya dan tidak ada pilihan lain selain itu, maka salah satu pemahaman yang diperoleh ialah sebenarnya khilafah itu sudah berlangsung, dalam hal ini pada alam semesta. Berbekal pemahaman murni seperti itu, maka segala sesuatu sudah berada pada posisi khilafah (karena terikat hukum dan kepastian dari Allah) termasuk apa-apa yang ada pada diri manusia.

Dalam pengertian murni seperti itu, Mbah Nun setuju dengan khilafah. Yang Mbah Nun tidak setuju adalah ketika kata khilafah sudah berubah pengertiannya menjadi suatu maksud bangunan besar sistem politik atau apapun yang di situ kata khilafah dipaksakan seakan-akan kita belum taat kepada Allah.

Mbah Nun juga mengajak kita menyadari bahwa di dalam diri kita sudah ada khilafah yaitu berjalannya sunnatullah dan kepastian alamiah pada diri manusia. Khilafah bersifat alamiah pada diri manusia. Detak jantung berdegub dan lain-lain pada sistem tubuh manusia dan sepenuhnya itu adalah khilafah. Di luar urusan nature atau kodrat alamiah itu, manusia pada dasarnya juga punya potensi taat dalam perilaku dan kecenderungan-kecenserungan sosialnya, tetapi karena tidak menggunakan hati dan pikirannya, maka Allah menurunkan kitab suci sebagai pagar bagi mereka.

Jajaran pimpinan daerah Kab. Malang
Jajaran pimpinan daerah Kab. Malang (Foto: Adin).

Di sini Mbah Nun meminta agar istilah khilafah sebaiknya juga jangan dijadikan istilah politik belaka. Kalau khilafah dijadikan istilah untuk maksud sistem politik, ya sebenarnya tak apa, tetapi penerapannya harus dari nol. Tetapi itu tidak mungkin dilaksanakann karena di Indonesia misalnya sudah ada tatanan dan sistem yang berlaku. Proses untuk menerapkannya karenanya berisiko bentrok dan gelut dengan banyak pihak karena logikanya akan banyak hal atau tatanan harus dibubarkan.

Khilafah dalam Batas Kemampuanmu

Apakah kita setuju dengan khilafah? Menurut Mbah Nun, perlu disadari dan dibangun pemahaman bahwa khilafah pun dapat diartikan dua, yaitu khilafah dalam arti sistem makro atau besar, dan ada khilafah semampunya. Yang dimaksud “khilafah semampunya” adalah apapun atau siapapun dirimu asalkan sungguh-sungguh dalam hidup dan output-nya adalah perilaku baik dengan sesama manusia, ya itu sudah cukup.

Apabila kita sudah bisa berpikir bahwa khilafah sudah berlangsung seperti pengertian di atas, yakni dalam arti otentik alamiah dan khilafah dalam batas kemampuan, maka kenapa harus bertengkar. Bahwa bentuknya NKRI apakah pasti bertentangan dengan khilafah. Bahwa NKRI mendapatkan inspirasi dari agama atau al-Quran seperti tercermin pada Sila Pertama Pancasila, sebab manusia tak mungkin tahu bahwa Tuhan itu Maha Esa kalau tidak karena Tuhan sendiri menginformasikannya lewat Kitab Suci-Nya alias melalui agama, tidakkah itu juga dapat dimengerti esensinya.

Di sinilah, Mbah Nun benar-benar berpesan kepada kita semua, yaitu kalau bisa jangan sampai ada di antara kita yang mengkafirkan orang lain. Kata kafir itu wungkul atau padat sehingga tak ada pilihan lain. Sebaiknya kita mencari kebenaran bareng-bareng. Bagi Mbah Nun, untuk lulus jadi orang Islam tidak harus menunggu berdirinya negara Islam atau NKRI yang ideal, yang penting perilaku orang tersebut baik. “Tolong lebih cenderung kepada substansi dan kenyataan perilaku ketimbang pada formalitas…mulai sekarang kita jangan gampang terjebak pada identitas-identitas,” kata Mbah Nun.

Sedikit berbelok ke soal radikalisme, Mbah Nun menyampaikan bahwa ada tiga jenis radikalisme: radikalisme intelektual, radikalisme politik, dan radikalisme anarkhis. Ketiganya membutuhkan treatment atau sikap yang berbeda terhadap masing-masing.

Rakyat Tak Boleh Jadi Lapangan Pertengkaran

Merespons uraian Pak Kiai Umar, Mbah Nun menyarankan kalau bisa ajaklah NU, Muhammadiyyah, kelompok-kelompok lain, bersama kepolisian atau pemerintah untuk merembug semua persoalan yang rentan menimbulkan perpecahan. Rakyat berposisi menunggu hasilnya. Lebaran beda hari tak apalah untuk sementara, tetapi kalau soal perpecahan, harus sungguh-sungguh dirembug. Mungkin dalam rapat terbatas atau tertutup selama tiga hari umpamanya. Harus ada halaqah untuk itu. Rakyat tidak boleh menjadi lapangan pertengkaran.

Kemudian penting dicatat bahwa dalam soal isu khilafah ini, yang menjadi perhatian Mbah Nun adalah simulasi implementasi khilafah yang mengimlikasikan tak terelakkannya perbenturan dan konflik di dalam masyarakat. Mbah Nun setuju khilafah dalam pengertian di awal, dan yang Mbah Nun tidak setuju adalah konsep khilafah dipaksakan untuk mengubah keadaan yang sudah ada yang ongkosnya adalah perbenturan dan konflik.

Sampai pada titik ini, kita mendapatkan pemahaman bahwa pada natur alam semesta dan sebagian dari sunnatullah yang telah melekat pada diri manusia khilafah yang berinti ketaatan kepada Allah sudah ada dan berlangsung. Sedangkan pada konteks sosial, cukuplah khilafah dalam batas kemampuan di mana yang terpenting seseorang perilakunya baik, tidak menyakiti, tidak mengafirkan orang lain, dan punya empati dan khusnudhdhonn kepada orang lain. (Helmi Mustofa)

Lainnya

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

Sejak jum’at siang (8/5) KiaiKanjeng sudah berada di Jakarta untuk malamnya menghadiri Kenduri Cinta, setelah menjalani rangkaian Maiyahan di Jawa Timur, mulai tanggal 4 Mei 2015 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian 5 Mei 2015 di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, dilanjutkan tanggal 6 Mei-nya di Sidoarjo.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Hilwin Nisa
Hilwin Nisa

Tidak

Tidak