Khalifah Islam dan Khilafah Silmi
Dunia Batasan dan Surga Kemerdekaan
Katakanlah HTI dibubarkan oleh otoritas Negara, itu tidak berarti manusianya menjadi “stateless”, aktivisnya menjadi “persona non grata.” Kalau dikaitkan dengan makar, sebaiknya jangan makar kepada rujukan konsep makar dari Tuhan (“wa makaru wa makarallah”). Setiap orang atau kelompok berhak memperjuangkan keyakinannya. Ada yang meletakkannya pada peta kalah menang, dan HTI sedang menanggung resikonya. Ada juga yang melihat keluasan hidup di mana kalah menang hanyalah sebuah strata. Dalam konteks ini mungkin justru mereka sedang menjalani ujian kenaikan derajat.
Bumi dan Dunia adalah sistem batasan, sehingga penduduknya berjuang mencari celah-celah ruang kemerdekaan. Para Prajurit Pembebasan, Hizbut-Tahrir, justru mendapat limpahan rezeki untuk semakin nikmat bekerja keras menemukan pembebasan. Organisasi hanyalah alat: pisau dapur untuk mengiris bawang, hanyalah payung untuk berlindung dari hujan, hanyalah kendaraan untuk mencapai suatu tujuan. Pisau, payung, dan kendaraan, biasa rusak atau aus, lantas dibengkelkan atau ambil yang baru di Toko Ilmu.
Karena tugas kemakhlukan manusia adalah menghimpun ilmu dan menyusun strategi, agar ia lolos kembali ke kampung halaman aslinya, yakni Kebun Surga, di mana kemerdekaan mengalir, meruang, melebar, meluas, dan manusia memegang kendali aliran itu dalam dua rentang waktu: kekekalan dan keabadian. “Tajri min tahtihal anharu kholidina fiha abada”, begitu Allah mengindikasikan pintu pengetahuan tentang Surga.
Negara adalah hasil karya kecerdasan ilmu manusia untuk menata pagar di antara penduduk Bumi. Karena di kehidupan Dunia yang ini, sistem nilainya tidak dibikin oleh Tuhan untuk memungkinkan kebebasan seseorang berposisi steril atau tidak mengganggu kebebasan orang lainnya. Tuhan hanya menyelenggarakan training sejenak di Bumi agar manusia belajar berbagi kemerdekaan. Semacam “puasa”, agar kelak sebagai penduduk Surga, mereka menikmati betapa dahsyatnya kemerdekaan yang tidak saling membatasi satu sama lain – sesudah selama di Bumi mereka menyiksa diri oleh perebutan, persaingan, pertengkaran, pembubaran, bahkan menganiaya dirinya sendiri dengan pengusiran, pembunuhan dan pemusnahan.
Tetapi Negara dengan Pemerintahannya tidak berkuasa atas semua hal pada manusia. Negara bisa menyebarkan kemungkinan baik atau buruk bagi sandang, pangan, dan papan manusia. Tetapi Negara tidak berkuasa atas hati dan pikiran warganya, kecuali mereka yang tidak menikmati otonomi rohani dan independensi pikirannya, sehingga rela menjadi buih yang diseret dan diombang-ambingkan ke manapun Negara dan Pemerintahnya mau.
Keniscayaan Khilafah
Saya tidak perlu setuju atau tidak atas ‘ideologi’ Khilafah, karena itu adalah niscaya. Saya tidak punya kemungkinan lain kecuali menjadi (dijadikan) Khalifah di Bumi oleh Pencipta Bumi, alam semesta dan saya. Menjadi Khalifah adalah posisi khusus manusia: tugasnya “patuh dengan kesadaran akal”. Semua benda patuh kepada Tuhan, tetapi tidak dengan kesadaran akal. Sungai, gunung, hutan, angin, dedaunan dan embun, juga detak jantung manusia, aliran darahnya, kesegaran dan keausan jasadnya, jadwal lahir dan matinya, semua patuh kepada kehendak Tuhan, tetapi yang dengan kesadaran akal hanya entitas sistem makhluk manusia yang dipasang di kepalanya semacam supra-chips yang bernama akal, serta cakrawala yang bernama kalbu.
Malaikat, Iblis, Setan, benda, tetumbuhan, hewan adalah makhluk kepastian, meskipun sebagian di antara mereka ada yang menjadi wadah kerjasama antara takdir Tuhan dengan inisiatif manusia. Sementara Jin dan Manusia adalah makhluk kemungkinan. Tuhan berbagi dengan mereka berdua “hak mentakdirkan” sampai batas tertentu, dengan pembekalan ilmu yang juga amat sedikit. Manusia bisa melanggar batas yang sedikit itu, Pembangunan boleh mengeruk tambang, kerakusan Development bisa merusak bumi, dengan memberangus sesama manusia yang menentangnya.
Tetapi para pelakunya tidak bisa “pensiun dini”, tidak bisa “membolos” dari kehidupan yang abadi. Dalam kuburan mereka memulai Semester berikutnya, kemudian berlangsung semesteran-semesteran berikutnya, hingga tiba di babak final Surga atau Neraka. Manusia tidak bisa melarikan diri, karena tidak ada tempat, planet, galaksi, ruang dan waktu yang selain milik Tuhan. Manusia tidak bisa mengelak dari tanggung jawabnya sampai dua kehidupan abadi (kholidina fiha abada) yang wajib dijalaninya.
Khusus yang dapat kapling surga akan dibagi di empat lapisan langit Surga, yang semua teduh berwarna dominan hijau tua. Manusia “ngunduh wohing pakarti”, memetik buah dari kelakuan yang ditanamnya. Bumi adalah bagian dari Langit. Dunia adalah bagian awal dari Akhirat. Kehidupan di Bumi hanyalah gelembung kecil di dalam gelembung besar Akhirat, yang juga terletak di Maha Gelembung Tuhan itu sendiri.
Kudeta Surga dan Khilafah Silmi
Para Prajurit Pembebasan itu sungguh-sungguh berlatih menjadi penduduk Surga. Serta menjunjung kemuliaan untuk mencita-citakan agar seluruh bangsa Indonesia pun berlatih bagaimana menghuni Surga. Memang demikianlah sejak didirikan 1953 oleh beliau Syaikh Taqiyudin An-Nabhani hingga dibawa ke Bogor dan Indonesia 1980-an oleh Syaikh Abdurahman Al-Baghdady.
Mereka orang-orang baik sebagai manusia, sangat menyayangi penduduk Bumi dan mencita-citakan semua manusia lintas-Negara agar kelak bercengkerama dengan Allah di Surga. Mereka menyusun tata nilai kebudayaan (Tsaqafah) Islam sebagai sistem besar, semacam grand design untuk seluruh wilayah di Bumi. Andaikan mereka adalah putra Nabi Nuh atau komunitas inti beliau, yang sesudah Bahtera mendarat di Turki, lantas membagi rombongan-rombongan ke berbagai wilayah di seantero Bumi – maka mereka bisa meng-Hizbut-tahrir-kan kehidupan di Bumi dengan berangkat dari Nol.
Tetapi Indonesia terlanjur Bhinneka Tunggal Ika, heterogen, plural, “syu’ub wa qabail”, berbagai-bagai faham kepercayaan, berbagai-bagai jalan ditempuh menuju Tuhan, berbagai latar belakang, etnik, jenis darah, marga, golongan, aliran dan berbagai-bagai lainnya. Kalau HTI hendak “mensurgakan” NKRI, saya tidak bisa menemukan jalan sejarahnya kecuali harus melakukan pengambil-alihan kekuasaan, revolusi total atau kudeta: membubarkan Parlemen dan Pemerintahan, mengganti Presiden dengan Khalifah, meredesain sistem pemerintahannya hingga pola pasarnya, kebudayaannya, dari BI hingga Bank Plecit.
Katakanlah yang beliau-beliau lakukan adalah “minadhdhulumati ilannur”, membawa NKRI dari kegelapan menuju cahaya, tetapi momentum dan adegan-adegan pengambil-alihan kekuasaannya, saya tidak mampu mensimulasi kemungkinan bisa dihindarkannya dari konflik-konflik besar, bahkan dengan sesama Kaum Muslimin sendiri, sampai mungkin juga pertumpahan darah tidak kecil-kecilan seperti tawuran anak-anak Sekolah Unggul.
Maka saya memberanikan diri mencari pemahaman atas perintah Allah “Udkhulu fis-silmi kaffah”. Masuklah ke dalam Silmi secara utuh dan tunai. Anehnya Allah tidak menggunakan kosa-kata Islam, melainkan Silmi. Wallahu a’lam maksud-Nya, tetapi sukar dibayangkan bahwa penggunaan kata Silmi, bukan Islam, tanpa mengandung perbedaan antara kedua kata itu.
Hizbut Tahrir tampaknya memaksudkan “Udkhulu fil-Islami Kaffah”: membangun sistem Islam besar nasional dan global. Sangat meyakini kebenaran Islam dan gagah berani menerapkannya. Sementara saya seorang penakut yang merasa ditolong oleh kosakata Silmi dari Allah. Kelak kita mempertanggungjawabkan kehidupan di hadapan Allah secara individual, tanpa bisa ditolong oleh siapapun kecuali oleh empat hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak saleh yang mendoakan kita, kemudian hak prerogatif Muhammad kekasih Allah untuk menawar nasib kita dalam konteks dialektika cinta.
Seorang Muslim tukang ojek, penjual jajan di perempatan jalan, petani di dusun atau sales dan Satpam, tidak bisa saya bayangkan akan ditagih oleh Allah hal-hal mengenai Negara Islam dan Khilafah. Atau Malaikat menanyainya soal ideologi global, kapitalisme mondial, sistem pasar Yahudi internasional, atau satuan-satuan besar industrialisme dan sistem perbankan Dunia. Juga untuk menjadi Muslim yang tidak masuk Neraka apakah ia harus menguasai semua makna Al-Qur`an, harus berkualitas Ulama dan bergabung dalam Khilafah Hizbut Tahrir.
Setiap hamba Allah dilindungi oleh-Nya dengan “la yukallifullahu nafsan illa wus’aha” (Allah tidak membebani manusia melebihi kadar kemampuannya). Seorang kuli pasar mungkin hanya akan ditanya beberapa hal: aqidahnya, hubungannya dengan Nabi dan Al-Qur`an, apakah ia mencuri harta orang, menghina martabat sesama manusia, atau memisahkan nyawa dari jasad manusia.
Itulah Silmi, mudah-mudahan. Seseorang mungkin hanya hafal Al-Fatihah dan beberapa ayat pendek, pengetahuannya sangat awam terhadap tata nilai Islam. Tetapi hidupnya sungguh-sungguh, kebergantungannya kepada Allah mendarah-daging. Tidak pandai dan ‘alim, tapi kejujuran perilakunya ajeg. Tidak canggih shalat dan bacaan Qur`annya, tapi santun, menyayangi manusia dan alam, tidak menyakit siapa-siapa dan tidak merusak apa-apa.
Konsep Silmi membukakan jalan agar seorang tukang jahit di pinggir jalan bisa diterima oleh Allah tanpa menjadi warga negara sebuah Negara Khilafah. Seorang Ibu penjual jamu bisa masuk surga tanpa menunggu berhasilnya perjuangan Khilafah Dunia. Kalau saya salah, mohon dilembuti dengan informasi yang lebih benar. Karena setiap huruf yang saya ketik bersifat relatif dan dinamis, sementara ilmu dan keyakinan Hizbut Tahrir sejauh saya merasakan hampir mendekati mutlak, sehingga gagah perkasa memprogram pengkhilafahan Indonesia.
Syariat Allah di Alam dan Manusia
Jangan dipikir saya setuju dan merasa jenak dengan berbagai hal tentang NKRI. Bahkan hal-hal yang mendasar sejak persiapan kemerdekaan, muatan nilai-nilai Proklamasi 1945, sampai Orla Orba Reformasi hingga Era Klayapan sekarang ini. Tapi saya tidak sedang berada di dapur dikepung oleh bahan-bahan mentah makanan serta alat-alat dapur. Saya berada di warung depannya, dengan makanan minuman yang sudah tersedia. Sudah pasti perbaikannya harus dari dapur, tetapi kalau saya memaksakan diri untuk mengambil alih dapur: kepastian mudlarat-nya terlalu besar dibanding kemungkinan manfaat-nya.
Saya pun adalah seorang Khalifah, maka wilayah kehidupan saya pastilah Khilafah. Tapi saya tidak mau meladeni kekerdilan cara berpikir tanpa kelengkapan pengetahuan dan ilmu, yang mempolarisasikan antara Pancasila dengan Islam, antara Bhinneka Tunggal Ika dengan Kekhalifahan, antara Negara dengan Agama, antara Nasionalis dengan Islamis. Apalagi mendikotomikan antara Agawa-Samawi dengan Agama-Ardli, antara Kesalehan Individu dengan Kesalehan Sosial, bahkan antara Bumi dengan Langit dan antara Dunia dengan Akhirat. Itu semua sanak famili dari terminologi lucu Santri-Agama-Priyayi.
Juga saya merasa agak repot selama ini kalau prinsip Khilafah identik-formal dengan suatu Organisasi atau golongan, sementara semua manusia adalah Khalifah. Saya jadi kikuk karena seakan-akan kalau saya tidak bergabung dengan Hizbut Tahrir berarti saya bukan Khalifah.
Pada hakikinya semua makhluk adalah representasi atau manifestasi atau tajalli Tuhan sendiri, sebab tidak ada apapun, juga tak ada kehampaan atau kekosongan yang bukan bagian dari Tuhan itu sendiri. Begitu Tuhan bilang “Kun”, “Jadi!”, maka berlangsunglah syariat-Nya: metabolisme semesta, organisme alam, sistem nilai kehidupan, hamparan galaksi, susunan tata-tata surya, benih tumbuh, pohon berbuah, gunung menyimpan api, semua kelereng-kelereng alam semesta menari-nari, menyusun koreografi yang luar biasa, beredar pada porosnya, berputar satu sama lain.
Kalau ada Negara di Bumi yang menegakkan hukum dan penataan aturan yang memprimerkan keperluan rakyatnya, itu persesuaian dan kepatuhan kepada Syariat Allah. Semua undang-undang, pelaksanaan birokrasi dan tatanan kenegaraan yang berpihak pada kemashlahatan manusia dan berkesesuaian dengan hukum alam: itulah kepatuhan kepada Syariat Allah.
Tingkat dan pola kepatuhan mereka kepada Syariat Allah seperti pohon, mengalirnya air, berhembusnya angin: patuh kepada Tuhan secara alamiah, naluriah, karena kejujuran terhadap kemanusiaannya, namun tanpa akalnya menemukan dan menyadari bahwa itu adalah ketaatan kepada Syariat-Nya. Sebagian manusia menginisiali Syariat Allah itu dengan nama Syariat Islam, sebagian lain Kasih Tuhan, Dharma, Bebekti, dan banyak lagi.
Semua makhluk adalah utusan Tuhan, “Rasul”-Nya. Dituliskan oleh para Malaikat atas perintah-Nya di Kitab Agung Lauhul-Mahfudh. Sejak awal mula penciptaan berupa pancaran cahaya, yang Allah sangat mencintai dan memujinya, sehingga manamainya “Nur Muhammad”, dan gara-gara makhluk wiwitan inilah maka kemudian Allah merebakkannya menjadi alam semesta dan umat manusia. Maka para Malaikat semua, kemudian semua Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul, meneguhkan keridlaannya: “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah”.
Ada “tiga” Muhammad: pertama Nur Muhammad, yang kumparan dan gelombangnya mentransformasi menjadi jagat raya — dan itulah yang disyahadatkan oleh para Malaikat dan para Nabi Rasul. Kemudian kedua Muhammad bin Abdullah, Muhammad-manusia dengan kontrak 63 tahun di Bumi. Lantas Muhammad Nabiyyullah yang membawa berita, hidayah dan “buku manual” Allah yang berevolusi dari Taurat, Zabur, Injil, hingga Qur`an. Muhammad adalah zat sejatinya, Nabi adalah pangkatnya, Rasul adalah jabatannya di Bumi.
Muhammad bin Abdullah diperingati secara nasional di Indonesia setiap 12 Rabi’ul Awwal. Sedangkan Maulid Nabi diselenggarakan pada bulan Ramadlan, bersamaan dengan turunnya Iqra` yang merupakan momentum awal ke-Nabi-an Muhammad-manusia. Adapun Nur Muhammad diperingati bisa kapan saja karena tatkala “Kun” dihembuskan oleh Tuhan, belum ada satuan hari kesepakatan bulan dan tahun yang dikreasi oleh manusia. Seorang tukang andong bisa mencintai Tuhan, merindukan tiga Muhammad, tekun bersembahyang, lemah lembut kepada tetangga, tidak maling, tidak menyakiti orang, tidak memaksa siapapun untuk berpandangan sama dengannya – dengan atau tanpa Negara Khilafah.