Kewajiban Menjadi Sempurna di Tengah Kebingungan Zaman


Sempurna, sempurnalah. Jangan takut untuk jadi manusia yang sempurna. Tak perlu kèder untuk menjadi bangsa yang sempurna. Bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna, adalah manakala kita mengukur dengan ukuran-ukuran yang berbeda. Pada skala tertentu begitu juga perlu memang. Tapi sebagai diri, sebagai sejatinya bangsa, jadilah banga Nusantara yang sempurna. Jadilah muslim yang sempurna.
“Sempurna itu, adalah ketika anda pas presisi menjadi diri anda sendiri” begitu penjelasan Mbah Nun di hadapan Masyarakat Dusun Candirejo pada acara Ngaji Bareng hari Senin 20 November 2017
Kemilau Kamilah di Tengah Bulir Hujan, Ngaji Bareng
Mbah Nun mengajak memulakan acara dengan melantunkan Shalawat Kamilah atau Nariyah bersama-sama. Lirik shalawat yang konon adalah sesepuhnya gubahan shalawat ini melantun syahdu dari bibir para khalayak yang memadati tanah lapang tempat acara Sinau Bareng berlangsung.
Acara dimulakan sementara hujan belum lagi reda. Tetesan air masih membasahi rumput dan dedaunan, tampak berkilauan ditampar lembut oleh cahaya sementara lantunan Kamilah mengalun. Lembut dan menggetarkan.
Allahumma sholli sholaatan kaamilatan Wa sallim salaaman taamman ‘ala sayyidinaa Muhammadin-illadzi tanhallu bihil ‘uqadu…
Tajuk acara Ngaji Bareng, tidak pernah merupakan sekedar nama tanpa alasan. Ngaji bareng itu beneran. Ya beneran ngaji dan beneran bareng-bareng. “Anda datang kesini itu kan ngaji, artinya nggolek aji. Orang hidup harus punya aji”, jelas Mbah Nun singkat. Dan bareng itu ya bareng, bersama-sama. Posisi kita sesama pencari dan itu asyik daripada berposisi sebagai yang sudah selesai mencari.

Manusia modern banyak yang lupa untuk tetap selalu memiliki pegangan, aji dalam hidupnya. Sehingga mudah terombang-ambing, bingung, dicekam perasaan tidak aman sehingga untuk menjadi merasa benar harus dengan menampakkan kesalahan golongan lain.
Melintas Tiga Zaman
Mbah Nun pun mengajak tiga golongan berdasarkan usia untuk membersamai prosesi Ngaji Bareng; Golongan sesepuh-sesepuh desa berusia 60 tahun ke atas, kemudian golongan pemuda empat puluh tahun ke bawah dan tentu saja anak-anak.
Setiap golongan usia ini, oleh Mbah Nun digali betul. Dicari presisi posisinya, disimulasikan dan dibuat gembira hatinya. Ngaji Bareng memang bukan sekadar mendengarkan nasihat satu arah. Ya beneran bareng, terlibat bersama dalam pencarian sehingga penemuan-penemuan dari Ngaji Bareng menjadi unik dan khas pada setiap diri. Yang demikian itu, bukankah lebih indah dijalani?
Kepada kaum pemuda Mbah Nun mengajak pada dialog yang lebih bersifat rasional terutama soal kepemimpinan. Masuk akal, sebab mereka inilah yang sedang produktif dan sedang menghadapi arena kehidupan saat ini. Ini adalah masa mereka. Mereka diajak untuk menegakkan cara berpikir, di mana perbedaan ummat, masyarakat dan rakyat. Di mana kedaulatan dan bagaimana kriteria pemimpin.
Apakah Indonesia punya pemimpin? Apakah NU punya pemimpin? Apakah Muhammadiyah punya pemimpin? HTI? Parpol dan banyak lagi bergolongan-golongan yang ada di negri ini, adakah yang memiliki pemimpin?
“Ummat itu dari kata ummu, artinya ibu. Ummat maksudnya, orang yang berkumpul karena seibu, sepersusuan. Maka pemimpinnya juga berasal dari satu akar kata yakni imam, sifatnya ngemong, ngayomi, keibuan”, urai Mbah Nun.
Begitu pun masyarakat yang berasal dari kata syarikat, satu akar kata dengan musyrik. Juga rakyat yang berasal dari kata ro’yun. Setiap klasifikasi ini, memiliki juga kriteria pemimpinnya sendiri sesuai dengan konsekuensi logis kebahasaan maupun sebagai pembagian peran kepemimpinannya. Maka negeri sebesar ini memang diperlukan ada pemimpin yang sanggup memahami empan papan masing-masing peran tersebut dan kalau bisa, merangkum semua itu. Sungguh disayangkan memang sampai sekian tahun menyatakan kemerdekaannya, negeri ini belum serius dengan soal kepemimpinan selain hanya ihwal pemilihan presiden lima tahun sekali yang hasilnya yah, begitu-begitu saja.

“Menurut saya, pemimpin itu pamomong Cak”. Seorang pemuda mengutarakan pendapatnya, yang lain sesekali menimpali. Namanya Ngaji Bareng, memang bareng-bareng.
Keberanian mereka menyampaikan pendapat, kebingungan atau kalau ada keberatan memang adalah bekal mental yang baik bagi mereka untuk kelak menjadi pemimpin. Tapi tak terdengar nada keberatan memang.
“Yang sekarang ini, menurutmu pemimpin apa bukan?”
“Saya ndak milih yang itu e, Cak”
Dialog berjalan dengan gembira dan bertabur hikmah. Seorang bapak berusia di atas 70 tahun bersemangat memperkenalkan diri. Suroto nama bapak itu. “Dari Surotol mustaqim”, katanya percaya diri.
Terhadap yang sepuh-sepuh Mbah Nun mengajak mendalami apa saja yang menjadi harta terpendam pada masa lalu. Beruntung, Pak Suroto adalah warga Desa Candirejo asli, lahir dan besar di situ. Sehingga menggalinya juga tidak sulit.
Mbah Nun mengajak jamaah untuk time traveling ke masa lampau melalui penggalian terhadap pengalaman hidup Pak Suroto. Pak Suroto pun bercerita panjang, lebar sama dengan luas, merespons pancingan-pancingan dari Mbah Nun soal bagaimana perbedaan zaman dulu dengan sekarang, apa yang dulu ada dan tidak ditemukan sekarang, kemudian kehidupan beragama maupun kebudayaan.
Masa memang tidak bisa berjalan mundur. Waktu, salah satu hal yang menjadi objek sumpah Allah swt sendiri. Maka tidak mungkin tidak ada yang berharga d isitu. Dari kekayaan masa lalu, ada harta terpendam.
Pak Suroto lurus tanpa tedeng aling-aling orangnya, memang shirotol mustaqim cara bicaranya walau tampak jelas jejak etika peradaban tinggi dari kromonya. Beliau bercerita mengenai masa-masa di mana yang dihargai oleh masyarakat bukanlah saja kepintaran, tapi soal etika dan akhlaq.

Cerita Pak Suroto ini akan bercampur dengan imajinasi penulis di sini. Tentang masa di mana hiburan paling mutakhir adalah pentas ketoprak. Penulis membayangkan lampu teplok, sinarnya bergoyang, manusia masih akrab meresapi pendaran cahaya dan bayangan. Pak Suroto membawa kenangan di mana anak-anak bermain di langgar, hajatan selalu diramaikan dengan pentas wayangan semalam suntuk. Penulis membayangkan obrolan, interaksi yang lumrah. Desa, kali, gobak sodor, padang bulan anak-anak bernyanyi riang. Duh, betapa banyak kita kehilangan? Tapi masa memang tidak untuk dikeluhkan apalagi dikutuk.
Dari penggalian Mbah Nun kepada Pak Suroto itulah kemudian, anak-anak dilibatkan. Pak Suroto dan bocah-bocah usia setingkat SD itu kemudian diajak mencicipi sejenak rasanya bermain pada era kejayaan Pak Suroto. Dua generasi dipertemukan, riang tertawa gembira di atas panggung dalam permainan cublak cublak suweng.
“Kowe dadiii…”
“Kok pekokk men tho kowe dadi terus…”
Celoteh-celoteh terdengar, nakal saling ejek tapi tidak saling menghina martabat sesama. Ada masa di mana segalanya begitu apa adanya.
Pak Suroto tampak sangat menikmati rasanya kembali ke keriangan masa bocahnya yang sudah puluhan tahun berlalu. Di mana teman sebaya pada lelaki seusia itu? Sedang para bocah diajak mengenali harta karun peradaban sesepuh mereka. Hujan, lelaki tua dan bocah-bocah. Tawa dan mata berkaca-kaca. Denting gamelan KiaiKanjeng menemani jalannya kontinuasi peradaban.
Bocah-bocah kemudian pada gilirannya diajak untuk lebih mengenali dirinya. Dari hal paling sederhana: menyebutkan nama diri sendiri serta nama dan pekerjaan orang tua. Beberapa tampak malu-malu menyebut ibu mereka bekerja sebagai ibu rumah tangga.
“Ibu rumah tangga itu apik, itu pekerjaan juga. Inget ya le, jadi ibu rumah tangga itu pekerjaan berat dan sangat-sangat mulia”, Mbah Nun membangkitkan kepercayaan diri mereka.
Anak-anak diajak untuk tidak saja mulai mengenal dirinya namun tetap bangga menjadi diri sendiri. Ini penting, karena mereka hidup dan sedang tumbuh pada satu sistem pemerintahan yang tidak pernah bangga jadi diri sendiri sehingga tolok ukur kemajuannya selalu mengacu pada bangsa lain.

Kelak anak-anak ini akan tumbuh membangun peradaban bangsanya yang otentik. Punya kesediaan untuk belajar dari sesepuh, namun punya harapan sejangkauan cakrawala kemungkinan.
Zaman Berubah, Sempurnakan Diri
Angin perubahan sedang berhembus, zaman sedang mencari bentuk baru. Bentuk-bentuk lama yang tidak sesuai lagi dengan zaman baru harus rela untuk layu. Manusia, mesti paham ilmu menunggang angin minimal peka terhadap pranoto mongso zamannya.
Malam ketika kegembiraan Ngaji Bareng di Dusun Candirejo berlangsung, dari social media terdengar kabar nenek Layla Sari meninggal. Malam ketika reportase ini dituliskan, penulis menyelesaikannya sambil menyaksikan siaran langsung perayaan mundurnya Presiden Mogabe di Zimbabwe setelah berkuasa selama 37 tahun. Kejaidan-kejadian ini bisa saja ada artinya bagi sebagian orang, bisa juga hanya lalu begitu saja bagi sementara lainnya.
Pada malam Ngaji Bareng itu juga, tiga pertanyaan muncul pada sesi tanya jawab. Ketiga pertanyaan ini bernada kebingungan. Satu bertanya mengenai pencarian jati diri, seorang mahasiswa bingung dengan aktivitasnya di pergerakan dengan prestasi akademisnya, seorang pemain sepak bola masih belia yang merasa menjadi korban dari ketidakadilan sistem yang diterimanya.
Mbah Nun dengan sabar membimbing proses berpikir para pemuda yang sedang bingung dengan kondisinya masing-masing itu. Toh sesungguhnya, kebingungan mereka adalah kebingungan kita juga. Rasanya semua orang sedang bingung, sistem negara tidak mampu memberi jaminan, negaranya tidak pernah dan tidak ada indikasi akan sempurna menjadi dirinya sendiri, bangsa krisis kepemimpinan, hanya ada elit tak ada imam. Seorang pimpinan DPR bahkan sebegitu bingungnya, bukan saja karena hukuman yang di depan mata, tapi juga karena ancaman terhadap keselamatan diri dan keluarganya sehingga harus menabrak tiang listrik. Kasihan tiang listrik.

Maka konsep shadaqah dengan shiddiq dan ikhlas pada diri sendiri, gembira dan menerima kondisi diri. Presisi dan sempurnalah sesuai kehendak Sang Khalik yang mengkreasikan diri kita apa adanya. Adalah tawaran solusi menghadapi kebimbangan dan kebingungan zaman. Zaman mungkin tidak pernah edan, manusialah yang sering hilang nalar.
Biar ada beribu-ribu tiang listrik ditabrak karena bingung, kita tetap harus setia berjalan menuju sempurnanya diri. (MZ Fadil)