CakNun.com
Daur-II066

Kewajaran Yang Berlebihan

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 1 menit

Brakodin pernah dibisiki oleh Markesot: “Kalau kamu berdiri di suatu titik yang jauh di seberang hubban jamma, kemungkinan besar kamu akan merasakan seperti yang aku rasakan, melihat segala sesuatu sebagaimana yang aku lihat, serta tidak menemukan kebanyakan hal-hal yang semua orang lain melihatnya, bahkan mengejarnya, memperebutkannya, dengan segala kebencian dan permusuhan”

“Tapi selama ini aku sebenarnya selalu berusaha menghindarkan kalian semua agar tidak bergeser ke titik itu. Berdiri dan bertempat tinggal di alamat bagian semesta yang itu sangatlah sepi. Sangat sendiri. Sangat nglangut. Kalau kalian ada di wilayah itu, aku kawatir kalian akan mengutukku dan menyesali pernah berkenalan denganku, karena mungkin tidak selalu bisa bersabar dalam kesunyian”.

Padahal itu warga Patangpuluhan sendiri, yang sangat terlatih untuk sepi dan selalu hidup di pinggiran sejarah. Maka tidak bisa dibayangkan para penghuni dan pelaku mainstream peradaban abad 20-21 yang sangat menikmati dan membanggakan pencapaian-pencapaian teknologi dan kebudayaan yang mereka yakini sebagai kemajuan.

“Ambil satu sarjana yang tertinggi derajat keilmuannya”, kata Markesot, “mohon kepadanya untuk meneliti, merangkum, menyusun, menggambar senyata dan sedetail mungkin relevansi ayat “….dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”. [1] (Al-An’am: 141) ini di berbagai bidang kegiatan hidup manusia, dalam skala kecil maupun besar, mikro ataupun makro. Kalau mereka tidak berpijak di alamat kesunyian itu, mereka hanya akan menemukan kewajaran-kewajaran menurut koordinat pandang mereka. Takkan ditemukan kewajaran yang sebenarnya berlebihan”.

Lainnya