CakNun.com

Ketonggeng

Majalah Tempo, 20 November 1982
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit

Sekarang semakin tidak jelas yang mana, apa, dan siapa ketonggeng. Ini gara-gara ketonggeng itu terlalu banyak disebut-sebut. Mula-mula, seperti binatang lainnya, nama ketonggeng dihafal sejak di sekolah taman kanak-kanak. Dideklamasikan, ditulis di setiap buku, dipasang di dinding kelas, bahkan akhirnya ada mata pelajaran khusus mengenai ketonggeng. Semua itu berlangsung sedemikian rupa sehingga menggeser kedudukan binatang besar seperti kambing, lembu, bahkan unta.

Di luar sekolah, nama ketonggeng bukan main harum dan terkenal. Tidak hanya karena dipasang di spanduk atau papan poster di sepanjang jalan, tetapi juga berkat namanya dikutip terus dalam pidato siapapun. Dari pidato-pidato pekan olahraga, peresmian pabrik tas kulit buaya, sampai khutbah di masjid dan gereja. Tajuk rencana koran pun rajin menulis ketonggeng.

Diumumkan suatu undang-undang perlindungan ketonggeng, yang pendeknya berisikan siapa saja melawan ketonggeng bakal menemui kehancuran sendiri. Para politisi, sosiolog, antropolog, ahli kimia, sarjana anggrek, doktor sikat gigi, sampai alim ulama. Tak ada yang lupa dan ketinggalan menyitir pakde ketonggeng. Beliau bahkan sering menjadi tema pentas-pentas drama, dibuat lukisan, dibuat syair lagu yang manis. Gagah mendayu-dayu.

Ketonggeng menggema di seantero negeri. Meskipun dia asli desa, sekarang ada Ketonggeng Masuk Desa (KMD). Ada sepak bola ketonggeng. Ayam goreng ketonggeng, padi ketonggeng. Alhasil, apa saja manunggal dengan ketonggeng. Puncak dari kesemarakan ini ialah penobatan seorang Tuan Ketonggeng Nasional.

Cuma lantas ada resiko. Menjadi kabur apakah ketonggeng itu binatang atau tumbuh-tumbuhan ataukah sejenis unsur kimia. Sebab segala sesuatu kini mengidentifikasi diri ke ketonggeng, meskipun memang belum ada RUU perkawinan Ketonggeng atau hukum zina ketonggeng. Karena itu disepakati untuk menyelenggarakan seminar ketonggeng yang mempertemukan semua pakar.

Bisa dipastikan seminar ini tidak saja ramai, tetapi juga tinggi mutu sekaligus biayanya, melebihi tinggi Gunung Galunggung. Ada sedikit keributan, sebab ketonggeng itu sendiri tidak diundang ke seminar tersebut. Tapi toh dengan gampang masalah itu dibereskan.

Cuma yang menjadi puncak acara ialah kenyataan bahwa para ahli itu tak seorang pun yang tahu apa sesungguhnya ketonggeng. Seminar macet. Diputuskan untuk terlebih dahulu mengandalkan survei. Didahului prasurvei, pra-prasurvei, dan pra-pra-prasurvei. Baru kemudian survei, resurvei, re-resurvei, re-re-resurvei. Namun karena para ahli itu kesibukannya bukan main luar biasa, maka survei itu dilimpahkan kepada wakilnya, dan oleh wakilnya dilimpahkan lagi kepada wakilnya. Dan lagi!

Namun itu tidak penting, juga tidak menarik berapa biaya yang dihabiskan. Yang mengejutkan ialah kesimpulan survei, bahwa yang namanya ketonggeng ternyata tak lain dan tak bukan justru para pakar itu sendiri.

Ini komedi, tapi juga tragedi. Sebab pada hakikatnya para pakar itu, bukanlah ketonggeng. Hanya karena mereka terlampau concern terhadap ketonggeng, dengan beribu alasan, maka perlahan-lahan mereka menjadi ketonggeng.

Ini persis dengan banyak jenis makhluk lainnya yang juga berubah menjadi ketonggeng. Ada yang keketonggengannya berkembang tanpa diniati dan disadari. Ada yang terpana dikarenakan ini-itu, apa boleh buat jadi ketonggeng saja. Ada lagi yang memang punya kecenderungan, jadi dengan mudah menjadi ketonggeng…

Kategori terakhir adalah mereka yang terang-terangan menumbuhkan bakat keketonggengan. Yakni dengan sengaja menjadi ketonggeng, mengakomodasi, dan bahkan menciptakan jaringan sistem model ketonggeng. Menciptakan program ala ketonggeng, menyebarkan obat ketonggeng, serta melakukan eksplorasi sistematis tipe ketonggeng.

Pasukan ketonggeng pun menjadi begitu kuat, yang formal maupun nonformal. Seluruh negeri dikendalikan oleh elite-elite ketonggeng. Sumber dana tersedia dan diperebutkan. Kreativitas sandiwara ketonggeng sedemikian indah dan nyaring, terutama karena dipentaskan dengan retorika yang cerdas serta lewat media komunikasi yang bermacam bentuknya: suatu sound system yang menguasai seluruh segi akustik gedung.

Yang menyedihkan, atau malah mungkin menggembirakan, yaitu kepergian ketonggeng asli yang tanpa pamit. Kabarnya mereka menghilang ke hutan tempat asal-usul mereka.

Lenyapnya ketonggeng ini malah kurang mendapat perhatian orang. Sebab mereka kini diam-diam sibuk bertanya dalam hati: Lho saya ini ketonggeng apa bukan, ya?

Sekarang makin tidak jelas yang mana, apa, dan siapa ketonggeng.[]

Telah dibukukan dalam Slilit Sang Kiai oleh Pustaka Utama Grafiti (1988) dan diterbitkan ulang oleh Mizan (2013).

Lainnya

Lalu Lintas Manthiq Keindahan Hidup Manusia

Lalu Lintas Manthiq Keindahan Hidup Manusia

Pesan agar saya menulis dengan judul atau tema “Membebaskan dan Membawa Sastra Kemana Saja”, membuat saya merasa agak malu karena teringat pada tulisan saya di waktu saya masih muda dulu yang kemudian menjadi judul buku “Sastra Yang Membebaskan”.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Goatboy

Goatboy