Ketidakrelaan Terhadap Kelapa
Markesot tidak pernah membangga-banggakan kelengkapan nilai dan fungsi kelapa. Kelapa dijadikan kelapa oleh Penciptanya tidak untuk menyombongi Degan, Cengkir, dan Bluluk. Manusia diciptakan lebih sempurna dibanding makhluk lain, sehingga memiliki kelengkapan alat untuk lambat atau cepat menemukan kebenaran yang sungguh-sungguh benar.
Kalau ada kelapa yang mengunggul-unggulkan dirinya di hadapan degan, cengkir, dan bluluk, itu adalah jenis kelapa yang tidak percaya diri. Kelapa yang tidak maksimal menggunakan akalnya dan bermental lemah, sehingga merasa perlu memamer-mamerkan dirinya kepada degan, cengkir, dan bluluk –- yang pada hakekatnya adalah bagian dari kelapa itu sendiri secara waktu dan proses.
Kalau bluluk, cengkir, dan degan punya naluri untuk selalu memusuhi kelapa, itu kecenderungan alamiah biasa. Mereka bertiga tahu tidak genap, terbelakang di tempat yang agak jauh dari kelengkapan dan kesempurnaan. Mereka bertiga sebenarnya diam-diam juga sangat merindukan agar menjadi kelapa. Tetapi hal itu mereka halangi sendiri, karena faktor-faktor yang mengganggu dari dalam dirinya sendiri, misalnya nafsu egosentrisme, kedengkian, kecemburuan, rasa rendah hati. Ditambah faktor-faktor di luar diri mereka: kesalahan konsep tentang harga diri sosial, misalnya.
Bluluk, Cengkir, dan Degan takkan pernah rela kepada kelapa sebelum kelapa melemahkan dan mengkerdilkan dirinya menjadi setaraf bluluk, cengkir, dan degan. [1] (Al-Baqarah: 120). Maka peradaban dunia, sejak abad 13 hingga abad 21, ditimpa arus besar yang berlaku di seluruh Bumi, di mana Kelapa harus dicitrakan sebagai buah terkutuk, rendah, kumuh, bodoh, tidak berguna dan selalu merusak bumi dengan radikalitasnya.