Kesunyian Seorang “Gelandangan”
Jum’at siang kemarin Cak Nun diundang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengisi acara bedah buku “Gelandangan di Kampung Sendiri”. Acara dihelat di auditorium KPK di Gedung Merah Putih, yang terletak di kawasan Jl. Rasuna Said dengan hadirin para pegawai KPK. Ruangan auditorium ini sebelumnya digunakan untuk sholat Jum’at dan kemudian diatur ulang oleh panitia secara sederhana dalam format lesehan.
Sarasehan pustaka ini adalah bagian dari rangkaian kegiatan yang diadakan oleh Perpustakaan KPK. Buku “Gelandangan di Kampung Sendiri” yang ditulis Cak Nun ini dipilih sebagai tema sarasehan karena merupakan salah satu buku yang dilombakan penulisan resensinya oleh Pegawai KPK.
Sejak awal, Cak Nun mencatat dan menggarisbawahi para pegawai KPK ini yang mayoritas adalah anak-anak muda usia 30-40 tahun. Anak-anak muda seusia ini pula yang sering ditemui Cak Nun dalam banyak Maiyahan di berbagai tempat. Anak-anak muda yang lazim saat ini disebut sebagai Generasi Milenial. Jumlah populasi mereka adalah mayoritas dari seluruh penduduk Bumi saat ini. Generasi yang 10-20 tahun lagi akan memegang posisi penting di berbagai struktur lini kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Para pegawai di KPK inilah juga bagian dari Generasi Millenial itu.
“Saya datang ke sini bukan karena KPK. Tetapi karena saya ingin bertemu dengan anak-anak muda yang saat ini menjadi pegawai KPK, yang kelak menjadi bagian dari yang memimpin Indonesia. Dan saya optimis dengan Anda bahwa KPK akan menemukan jati dirinya bersama Anda”, tegas Cak Nun menyakinkan dan menaruh harapan kepada pegawai KPK generasi milenial ini.
Sebelum membahas buku “Gelandangan di Kampung Sendiri” lebih jauh, Cak Nun menjelaskan peristiwa Talbis atau yang saat ini kita kenal dengan fenomena Pencitraan. Peristiwa Talbis yang pertama kali dilakukan adalah pada saat Iblis menipu Nabi Adam dengan atribut Malaikat yang kemudian berhasil mengelabui Nabi Adam untuk melanggar aturan Allah di surga, yaitu mendekati pohon terlarang yang kemudian berakibat diusirnya Adam dari Surga. Meskipun kemudian dari peristiwa tersebut kita belajar bahwa memang sebenarnya Nabi Adam diciptakan tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menjadi Khalifah di Bumi.
Cak Nun berkelakar kepada pegawai KPK ini bahwa buku “Gelandangan di kampung Sendiri” itu sebenarnya adalah buku yang menceritakan kehidupannya sendiri. Sejak kecil sudah melakukan tirakat, dan pada saat menulis buku ini di medio akhir 80-an, Cak Nun merasa situasi Indonesia dan dunia sudah sangat busuk. Ternyata, hari ini justru yang dirasakan oleh Cak Nun adalah kondisi yang lebih busuk dari saat itu.
Digambarkan, jika di masa Nabi Nuh misalnya, siapa saja yang ikut dalam perahu besar agar selamat dari banjir besar itu jelas semuanya. Begitu juga di zaman Nabi Muhammad SAW, siapa yang menjadi Abu Jahal dan Abu Lahab itu jelas. Tidak ada pencitraan, tidak ada kamuflase, dan tidak ada Talbis. Sangat jelas mana yang munafik, mana yang dzalim, mana yang fasik. Sedangkan hari ini, kita sangat kesulitan membedakan mana orang yang benar-benar baik dan mana orang yang jahat. Para koruptor yang setiap hari dihadapi oleh KPK sangat mampu melakukan Talbis begitu sempurna sehingga mampu mengelabui rakyat. Mampu dan berani memakai atribut Malaikat untuk merampok uang rakyat.
Nasib Gelandangan: Tidak Ada Dalam Daftar
“Saya adalah gelandangan. Saya berdakwah di mana-mana, tetapi saya tidak termasuk dalam daftar Ulama dan Kiai. Saya berkali-kali mengisi seminar di Kampus Perguruan Tinggi, tetapi tidak ada daftar nama saya di kalangan praktisi pendidikan dan akademis. Saya berkali-kali diminta “menyembuhkan” penyakit yang diderita orang, tetapi saya tidak termasuk dalam daftar ahli kesehatan. Saya ini gelandangan”, kelakar Cak Nun disambut tawa para pegawai KPK yang hadir.
Cak Nun ingin menjelaskan bahwa sejatinya kehidupan manusia yang di dunia ini hanya sementara, hanya bersifat “outbond”. Dunia ini tempat kita mengumpulkan bekal terbaik untuk memasuki kehidupan selanjutnya, yaitu di akhirat, di mana manusia akan kekal dan abadi di dalamnya. Kholidiina fiiha abadaan.
Cak Nun menjelaskan bahwa pada setiap kali ada orang yang meminta diusap kepalanya, dipeluk tubuhnya, ditiup botol airnya dalam rangka memohon kesembuhan kepada Allah, Cak Nun selalu memposisikan diri bahwa Beiau adalah hanya perantara, dan Yang Maha Menyembuhkan adalah Allah semata. Lebih tegas lagi, Cak Nun menjabarkan kalimat Laa haula walaa quwwata, walaa shulthoona illa billahi-l-‘aliyyi-l-‘adhziim. Bahwa wilayah shulthoon adalah wilayah kreativitas manusia, di mana manusia sebagai Khalifah Allah memiliki hak untuk berkreativtas asalkan tetap pada pondasi tawakkal kepada Allah Swt.
Selain ihwal gelandangan dan talbis, para peserta sarasehan diajak pula memahami konsep Cangkul, Pedang dan Keris yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan bernegara. Cangkul adalah simbol orang bekerja. Pedang adalah simbol pemerintah, yaitu mereka yang diberi kesempatan untuk berkuasa memegang otoritas mengelola sebuah Negara. Sementara Keris adalah ruh, pusaka, atau jiwa sebuah Negara.
Ibaratnya dahulu Indonesia memiliki MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Sementara saat ini, Indonesia sudah tidak memiliki keris, di Indonesia hari ini tidak terlihat dengan jelas perbedaan antara Negara dan Pemerintah. Tidak terlihat perbedaan antara Lembaga Negara dan Lembaga Pemerintah. KPK seharusnya adalah Lembaga Negara yang seharusnya tidak dilantik oleh Presiden yang berposisi sebagai Lembaga Pemerintah. Karena Presiden adalah orang nomor 1 yang diawasi oleh KPK. Tetapi faktanya hari ini sangat rancu, sehingga sangat sulit bagi KPK untuk menghindari intervensi Pemerintah. KPK benar-benar tidak mampu menjadi Lembaga Negara yang independen.
Pegawai KPK yang hadir di auditorium KPK ini tak ubahnya mengikuti short course Maiyahan yang langsung dipandu oleh Cak Nun. Beberapa poin penting yang sering disampaikan di Maiyahan disampaikan pula di sini dalam kemasan singkat, padat nan lugas. Meskipun dilaksanakan pada siang hari, para pegawai KPK ini sangat antusias menyimak paparan Cak Nun. Penjelasan-penjelasan mengenai, misalnya, Bangsa Ngawulo, yaitu bangsa yang orientasinya adalah Ngawulo kepada Raja, yang saat ini dialami oleh Bangsa Indonesia dilontarkan dengan sangat apik nan tegas, dan tetap penuh muatan sehingga sangat mudah dipahami oleh para pegawai KPK.
Pada sesi kedua, muncul beberapa pertanyaan dari perwakilan pegawai KPK. Di antaranya adalah pertanyaan mengapa manusia begitu rakusnya. Orang mencuri itu masih wajar, tetapi jika sudah pada tahap korupsi hingga miliaran bahkan puluhan miliar, itu merupakan fenomena yang sangat tidak masuk akal. Ibaratnya, sebesar-besarnya perut manusia, apakah akan mampu menampung uang yang ia korupsi itu? Kenapa manusia itu tidak mudah puas? Ada juga yang bertanya apakah sejarah peristiwa yang terjadi pada zaman dahulu dalam konteks perubahan peradaban akan dapat terulang lagi saat ini? Apakah Indonesia bahkan dunia membutuhkan Banjir Nuh seperti dialami kaum Nabi Nuh dan serangkaian bencana yang ditimpakan Allah kepada manusia di zaman terdahulu agar peradaban dunia membaik?
Jangan Sakiti Kekasih-Nya
Cak Nun melandasi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan ayat “Qul inkuntum tuhibbuunallaha fattabi’uunii yuhbibkumulkah wayaghfirlakum dzunuubakum, wallahu ghofuurun rohiimun”. Bahwa pangkal segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini adalah cinta. Andaikata seluruh ummat manusia berlaku ingkar kepada Allah, maka Allah tidak merasa sedikit pun merugi. Begitu juga sebaliknya, andaikata seluruh ummat manusia ini taat dan patuh kepada Allah, maka Allah sedikit pun tidak merasa laba.
Apa yang terjadi dengan ummat Nabi Nuh adalah akibat dari disakitinya kekasih Allah. Sehingga Allah merasa sakit hati karena kekasih-Nya disakiti. Pada masa Rasulullah Saw, suatu hari Abu Bakar bersama Rasulullah Saw terpojok dan bersembunyi di Gua Tsur, pada saat itu turunlah ayat “Laa takhof walaa tahzan innallaha ma’ana.” Abu Bakar mengalami ketakutan luar biasa terhadap kondisi Rasulullah Saw. Abu Bakar khawatir jika sampai Rasulullah Saw, sang kekasih Allah tersakiti, karena seluruh penduduk Mekkah dan Madinah saat itu akan merasakan akibatnya seperti banjir besar yang dialami ummat Nabi Nuh.
Tertarik Pada Dunia, Tapi Tidak Kalah Olehnya
Merespons pertanyaan mengapa manusia tidak pernah puas, Cak Nun mengisahkan apa yang dijalaninya. Layaknya manusia biasa, tetaplah tertarik kepada dunia tetapi sampai saat ini berusaha mengambil jarak kepada dunia alias tidak kalah oleh dunia. Apa rumusnya? Cak Nun menerangkan bahwa tirakat berpuasa yang dilakukan selama hidup Beliaulah salah satu kuncinya. Karena hidup itu harus seimbang, harus mengerti kapan menahan dan kapan melampiaskan. Dan Puasa adalah salah satu metodenya.
Tidak banyak waktu tersedia, hingga akhirnya tidak terasa jam menunjukkan pukul 5 sore. Para pegawai KPK yang hadir ini sangat beruntung dapat bertemu dengan Cak Nun penulis buku “Gelandangan di kampung Sendiri” yang tengah dijadikan sebagai pintu masuk ke sejumlah muatan dan pemahaman.
Ada salah satu pegawai KPK yang mengaku tidak pernah membaca buku-buku Cak Nun, tetapi hampir setiap sore setelah pulang dari kantor menonton video-video Maiyahan di Youtube. Setelah acara ditutup, para pegawai KPK yang sempat membeli buku-buku Cak Nun, meminta tanda tangan Cak Nun, dan tidak ketinggalan juga meminta berfoto bersama Cak Nun.
Meskipun berwujud bedah buku, ada yang minta tanda tangan dan foto bersama, pertemuan Sarasehan Pustaka siang itu jauh dari suasana jumpa penulis layaknya dalam kehadiran penulis buku dalam diskusi bukunya, karena mereka lebih berkonsentrasi kepada meraih muatan-muatan substansial dari belajar dan berguru kepada Cak Nun, sosok yang telah banyak “menggelandang” menyelami dan diminta merespons berbagai problematika masyarakat, yang kisah-kisahnya sebagian tersajikan dalam buku “Gelandangan Di Kampung Sendiri” ini. (Fahmi Agustian)