CakNun.com

Kesalehan Musikal

Didik W. Kurniawan
Waktu baca ± 4 menit
Patub Letto dan Joko SP, sound check sebelum acara Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng di Tambak Oso, Sidoarjo.
Foto: Adin (Dok. Progress)

Masih menurut teman-teman musisi, dalam sebuah kelompok musik, satu kata yang sering menjadi PR bersama adalah ‘solid’. Atau dalam bahasa olahraga, menjaga kekompakan tim. Solid atau tidaknya kelompok musik yang paling gampang dilihat dari sering tidaknya kelompok tersebut mengalami bongkar pasang personel. Harus senantiasa berjalan bersama meski berbeda pengalaman musikalnya. Itu yang sulit. Menurut mereka, solid itu sulit.

Karena sering dijumpai pula satu musisi aktif di lebih dari dua bahkan tiga kelompok musik. Hari ini pentas dengan grup A, besok latihan untuk pentas dengan grup B, dan mempersiapkan materi baru dengan grup C. Seorang vokalis menyimpan hasrat besar untuk membuat solo album. Seorang pemain gitar, memiliki impian tinggi untuk membuat album berisi komposisi khusus gitar. Pun begitu dengan pemain alat musik yang lain. Bass, biola, drum, flute, cello, dan yang lain, terkadang menyimpan rasa untuk berproses sendiri, dan sedikit keluar dari kebiasaan jami’ah kelompok musiknya. Itulah salah satu alasan mengapa satu musisi bisa berada dalam dua atau lebih kelompok yang berbeda. Ada hasrat musikal yang terus menerus muncul dan menuntut untuk dituntaskan.

Dalam beberapa pentas, kelompok musik KiaiKanjeng tidak dalam formasi yang biasanya. Muncul gitaris Letto di sana. Atau si vokalis harus merangkap bermain bass. Kalau merunut infomasi dari teman-teman musisi, hal ini wajar terjadi dan memang harus diantisipasi. Apalagi untuk kelompok musik yang memiliki jadwal yang padat. Kemungkinan-kemungkinan semacam ini memang terkadang tak terhindarkan. Salah satu antisipasi atau kewaspadaan yang harus dimiliki adalah mencari kemungkinan-kemungkinan potensi para personelnya dalam hal penguasaan teknis alat musik. Syukur vokalisnya tidak hanya mampu bernyanyi dengan baik, tapi juga mampu minimal memainkan gitar, syukur bass, syukur kibor, syukur rebana, meski tidak semua alat musik. Syukur pemain bonangnya mampu ‘ndangdutan’ dengan ketipung tak kalah dengan pemain ketipung grup dangdut ternama. Kalau pun secara teknis tidak menguasai, secara teori sedikit paham tentang ilmu musik.

Untuk kelompok musik KiaiKanjeng yang sering memainkan jenis musik apa saja, atau kaum akademis menyebutnya ‘world music’, kepiawaian berkompromi dengan lebih dari satu alat musik memang perlu dimiliki. World Music adalah usaha yang dilakukan para industrialis yang kebingungan untuk melabeli komposisi musik tertentu yang berbeda atau di luar mainstream yang ada. Apalagi KiaiKanjeng ini memiliki susunan nada yang khas. Sedikit banyak ilmu tentang musik harus dipakai.

Kalau yang belum tahu, susunan nada yang ada di gamelan (saron dan bonang) KiaiKanjeng berbeda dengan gamelan yang ada. Bukan slendro bukan pula pelog. Konsep nada yang diramu oleh Pak Nevi Budianto, yaitu sel-la-si-do-re-mi-fa-sol, dengan nada dasar Do=G tangga nada mayor, atau Em untuk tangga nada minornya.

Saya bantu sedikit untuk memahami. Saya pakai gitar. Karena alat musik ini mudah ditemui. Kalau pakai saron atau bonang, belum termungkinkan. Do=G itu kalau anda pegang gitar, cari fret (kotak) ketiga pada senar nomer 6, senar paling atas sendiri. Sudah ketemu? Di situ kalau setelan normal, G=Do. Sudah ketemu ya. Untuk mencari nada sel, bukan sel penjara lho ya, bukan pula sel telur, nada sel adalah nada sol yang dinaikkan setengah. Kalau dalam gitar, digeser maju satu fret. Untuk menemukan mana sel, temukan dulu nada sol. Kalau Do=G, dengan rumus dasar solmisasi 1 – 1 – ½ – 1 – 1 – 1 – ½ (interval atau jarak nada untuk doremifasolasido), berarti sol nya adalah D. Sel nya berarti D dinaikkan setengah ke kolom D# (kotak antara D dan E). Sampai sini paham ya? Silahkan dicoba dipetik dan dimainkan konsep susunan nada gamelan KiaiKanjeng sel-la-si-do-re-mi-fa-sol, nanti akan terasa beda nuansa yang ditimbulkan. Nek aku ngarani, Arab isa, Barat kena, Jawa mangga, apa maneh kok gur Cina. Maka tidak mengherankan jika khazanah musik yang dibawakan KiaiKanjeng mampu melanglang buana ke wilayah-wilayah musikal budaya yang lain.

Kembali ke hasrat musikal, lagi-lagi nomer One More Night-nya Maroon 5 versi KiaiKanjeng saya ambil sebagai contoh. Di tengah-tengah lagu, si vokalis mempersilakan beberapa personel untuk menunjukkan aksi bermain solo-nya. Dengan nuansa dan iringan yang berbeda. Sila dicari link videonya di youtube dan cermati komposisi itu. Dan bantu tambahi analisis sederhana saya ini. Ketika memasuki solo gitar, nuansa yang dibangun adalah Rock. Ketika memasuki solo suling, atmosfer yang dibangun adalah dangdut. Solo saron? Sepertinya itu lagu lawas berjudul ‘Suzana’.

Denny Chasmalama, gitaris, sekaligus komposer, pernah mengatakan bahwa kalau ada orang bermain solo di tengah-tengah lagu, yang perlu diperhatikan dan diapresiasi tidak hanya pemain solo itu, melainkan personel lain yang mengiring aktivitas solois tersebut. Karena menurutnya menjadi pelayan mengiringi orang yang mempertontonkan kemampuannya juga tak kalah sulit. Karena hasrat musikal tadi. Solois bebas bermain, tapi tetap ingat batas porsi karena ada personel yang lain.

Cak Nun pernah mengingatkan, bahwa sebagai manusia, khususnya jamaah Maiyah, harus siap berada di posisi yang bahkan sebenarnya tidak diinginkan sama sekali. Saya rasa ini berlaku untuk KiaiKanjeng ketika dalam formasi yang tidak lengkap karena ada personil yang tidak bisa ikut pentas seperti yang terjadi belakangan ini. Para personil harus waspada dan waskita mengamankan dan menyelamatkan komposisi musik KiaiKanjeng sebagai upaya untuk memenuhi hasrat musikal jamaah yang beraneka ragam latar budayanya. Ada yang suka campur sari. Ada yang suka tembang kenangan. Ada yang kangen dengan lagu dolanan semasa kecil yang dimuati dengan canda tawa gembira. Atau yang gelisah dan menginginkan musik rock sebagai pemacu adrenalinnya. Ada yang tidak setuju dengan musik tapi kepalanya manggut-manggut ketika mendengar lagu dangdut.

Hasrat musikal bisa dijawab dengan kesalehan musikal. Bersedia memainkan musik apa saja dengan syarat Allah tujuannya. Bersedia memainkan alat musik apa saja, sebagai aplikasi riil tentang saling mengamankan dan menyelamatkan satu dengan yang lainnya. Bersedia menggembirakan siapa saja asal gembira itu menjadikannya dekat dengan Penciptanya. Bersedia meleburkan dirinya hingga terkadang banyak yang tidak tahu dan bertanya, “Itu musik jenis apa?”. Bersedia menemani manusia-manusia yang rindu akan kekasih-Nya. Dan bersedia untuk tetap menjaga orisinalitasnya.

Kalau ditanya, “Apa musik KiaiKanjeng?”

Jawabnya enak, “Musik KiaiKanjeng ya musiknya KiaiKanjeng.”

Selesai perkara.

Dan saya tidak punya istilah lain selain kesalehan musikal tersebut. Karena bagi saya belajar memahami KiaiKanjeng adalah bagian dari pembelajaran tentang makna saleh itu sendiri. Dan tentu saja salah satu aplikasi dari Tamba Ati adalah wong kang saleh kumpulana. Termasuk orang-orang yang saleh secara musikal. Mengenal, melihat, dan terus menerus belajar memahami adalah bagian dari ‘berkumpul’ dan berhimpun itu. Maka alangkah gembiranya saya ketika mendengar kabar bahwa musik KiaiKanjeng menjadi salah satu jurusan musik di salah satu SMK di Jombang, Jawa Timur. Jurusan Seni Musik Kelas KiaiKanjeng. Semoga saya tidak salah dengar. Karena salah satu amalan ilmu adalah dengan cara menularkan atau mengajarkannya.

Lainnya

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

Sejak jum’at siang (8/5) KiaiKanjeng sudah berada di Jakarta untuk malamnya menghadiri Kenduri Cinta, setelah menjalani rangkaian Maiyahan di Jawa Timur, mulai tanggal 4 Mei 2015 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian 5 Mei 2015 di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, dilanjutkan tanggal 6 Mei-nya di Sidoarjo.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Exit mobile version