Kerjasama Allah dengan Manusia
Nabi Muhammad saw bercerita tentang suatu kejadian di masa kanak-kanak beliau, “Ketika aku sedang berada di belakang rumah bersama saudaraku angkatku, menggembalakan anak kambing, tiba-tiba aku didatangi dua orang lelaki-mereka mengenakan baju putih, dengan membawa baskom yang terbuat dari emas penuh dengan es. Kedua orang itu menangkapku, lalu membedah perutku. Keduanya mengeluarkan hatiku dan membedahnya, lalu mereka mengeluarkan gumpalan hitam darinya dan membuangnya. Kemudian keduanya membersihkan dan menyucikan hatiku dengan air itu sampai bersih” [1] (HR. Muslim, riwayat Anas bin Malik).
Ini tahap ketika manusia masih belum pro-aktif dengan perangkat intelektual, kesadaran dan kondisi kejiwaannya. Manusia masih “dibersihkan”. Tetapi mulai Iqra`, manusia dituntun oleh Allah untuk “membersihkan”. Momentum firman Iqra` adalah embrio peradaban kesadaran di mana manusia dibukakan pintu oleh Allah untuk bekerjasama dengan-Nya mengelola rahmatan lil’alamin.
Ada tahap-tahap zaman di mana manusia mencobanya, Kaum Muslimin bersungguh-sungguh menerapkannya. Tetapi secara keseluruhan sampai 14 abad sesudah Iqra` diwahyukan, peradaban ummat manusia di dunia tidak melaksanakan kerjasama itu. Kaum Muslimin sendiri sampai hari ini mengalami semacam malpraktek dalam menjalani Islam. Mungkin tidak pada konteks individu, tetapi relatif sangat gagal dalam urusan kebersamaan, komunalitas, keummatan, kebangsaan, dan kenegaraan.
Allah sudah disebut-sebut, ditulis-tulis, diucap-ucapkan, bahkan diteriak-teriakkan. Tetapi yang dimaksud adalah di langit, Allah di dalam tafsir mereka, Allah dalam prasangka mereka, Allah dalam khayalan mereka, Allah alat kepentingan mereka, Allah pengatasnamaan untuk pencapaian pamrih, nafsu dan ambisi mereka. Bukan Allah Robbuka, Allah alladzi kholaq, dan kholaqol insana min ‘alaq.