Kembali ke Huma Berhati
Kota Bandung memberikan ragam kesan tersendiri bagi masyakat luar Bandung. Kota Bandung diidentikkan dengan Gedung Sate-nya, anak mudanya, kreativitasnya, factory outlet-nya, atau bahkan kemacetannya. Selain ragam kesan tersebut, Bandung juga biasa diidentikkan dengan cuacanya yang dingin. Ya, karena rata-rata orang luar Bandung akan mengingat kawasan-kawasan seperti Lembang, Ciwidey, Bukit Moko yang berada pada ketinggian di atas 1.000 mdpl.
Selain tempat-tempat tersebut, kawasan Ujung Berung yang terkenal dengan kemacetan dan padatnya permukiman pun dapat memiliki udara yang menyejukkan. Namun untuk merasakan kesejukannya perlu melakukan perjalanan menanjak terlebih dahulu mendekati kaki Gunung Manglayang. Salah satu desa di kawasan tersebut adalah Desa Cipanjalu yang berada di perbatasan antara Kotamadya dan Kabupaten Bandung.
Pada kesempatan penyelenggaraan Majelis Ilmu Maiyah bulan Januari, penggiat Jamparing Asih menggelar maiyahan di Desa Cipanjalu. Pemilihan tempat dilakukan bukan semata dikarenakan penggiat ingin merasakan suasana pedesaan. Namun, terdapat beberapa hal dari daerah tersebut yang menjadi perhatian penggiat antara lain adalah aspek sosial kemasyarakatan dan pertanian.
Penggiat Jamparing Asih secara khusus berterima kasih kepada adik dari Simbah, Cak Dil yang pada pertengahan bulan Januari ke Bandung dan berdiskusi bersama penggiat untuk memetakan permasalahan-permasalan sosial dan pertanian yang dialami oleh masyarakat Indonesia saat ini. Dalam salah satu pertemuan penulisan di Kadipiro pada bulan April 2015, Simbah pun mengatakan agar Jamaah Maiyah mau menggali keilmuan pertanian dari Cak Dil.
Tentang Bercocok Tanam, Aplikasi Teknologi, dan Kegiatan Perdagangan
Pengangkatan tema pertanian bagi teman-teman Jamparing Asih bukanlah hal yang pertama dilakukan. Maiyahan Jamparing Asih terkait pertanian dilakukan pertama kali pada bulan Januari 2016 yang dihadiri oleh Pak Mubiar Purwasasmita dan Syekh Kamba. Pak Mubiar mendiskusikan mengenai teknologi (shina’ah) pertanian, khususnya budidaya padi dengan metode SRI (Sytem Rice Intensification) Organik serta bioreaktor tanaman dan konsep bercocok tanam secara ramah lingkungan dengan mempelajari kearifan nenek moyang di Nusantara. Salah satu falsafah sunda yang berkenaan dengan lingkungan adalah “Leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak”. Falsafah tersebut memiliki arti “hutan rusak, air habis, manusia sengsara”. Jumlah manusia yang semakin meningkat akan berkorelasi kepada kebutuhan pangan manusianya. Pangan harus dikelola secara arif dengan mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan seperti dengan pertanian ramah lingkungan dan pengelolaan hewan ternak dengan tidak membuang kotoran hewan hasil ternak begitu saja ke dalam aliran sungai.
Syekh Kamba menyampaikan perhatian Rasulullah yang begitu besar terhadap pertanian. Dalam buku Dirasat fi al-sirah al-Nabawiyah karya Husein Mu’ni yang beliau terjemahkan dikatakan bahwa pada fase Madaniyah, Rasulullah sangat memperhatikan urusan al-ghirasaat, yakni kebijakan pertanian. Beliau selalu mendorong sahabatnya untuk bercocok tanam (ziro’ah) dan menghargai ketekunan serta keterampilan para sahabatnya dalam mengolah lahan pertanian. Jenis tanaman yang beliau prioritaskan adalah gandum, kurma dan buah-buahan yang tentunya sesuai dengan kondisi lingkungan di Madinah.
Diskusi pertanian dengan Syekh Kamba tidak selesai di pertemuan tersebut. Awal Februari 2017, beberapa penggiat Jamparing Asih rawuh ke kediaman Syekh Kamba di Cibiru. Dari silaturahmi tersebut kami berdiskusi mengenai Jamparing Asih, tasawwuf, perihal wakaf pohon, ketahanan pangan, lingkungan, kegiatan bercocok tanam, dan kegiatan ekonomi berkaitan dengan perdagangan (tijaroh). Syekh Kamba pun menceritakan keguyuban petani di tempat kelahirannya, Pinrang, Sulawesi Selatan yang mengadakan shalawatan dan pembacaan barzanji bersama ketika musim tanam dan panen tiba.
Berbicara mengenai lingkungan, seharusnya manusia Nusantara bersyukur dilahirkan di tanah ibu pertiwi ini. Kondisi iklim yang tropis mengizinkan kita untuk dapat bercocok tanam sepanjang tahun. Adalah tugas wilayah kekhalifahan manusia Nusantara yang dilahirkan di hamparan hijaunya hutan tropis dan tingginya biodiversitas/keanekaragaman hayati untuk dapat mengelolanya dengan arif. Tak semua negeri dititipi Allah rerimbunan hutan hujan tropis seperti di Indonesia. Tapi kekeliruan dalam manajemen membuat kita menyianyikan “pemberian cuma-cuma” Allah tersebut.
Pembabatan hutan dan eksploitasi lingkungan terjadi secara masif di negeri kita ini. Hasil hutan yang seharusnya dimanfaatkan dengan arif oleh bangsa sendiri pun dimanfaatkan dan dieksploitasi oleh oleh pihak yang tidak bertanggung jawab baik dari bangsa Indonesia sendiri maupun dari bangsa asing yang masuk melalui kebijakan dan perjanjian antarnegara, investasi jangka panjang, maupun hutang piutang. Secara saintifik, pembabatan hutan secara besar-besaran dapat memberikan efek kepada perubahan iklim global yang dapat menyebabkan banjir dan kekeringan, hilangnya cadangan karbon, terjadinya erosi/longsor, dan masih banyak lagi efek berantainya. Hal yang perlu diingat adalah eksploitasi lingkungan hidup yang terjadi di Indonesia sangat beragam permasalahannya.
Untuk menjaga lingkungan hidup, setiap manusia selayaknya menemukan motivasinya masing-masing. Dalam salah satu maiyahan Simbah mengatakan bahwa motivasi bagi ummat muslim dalam menjaga lingkungan hidup adalah untuk menjaga kepercayaan Allah yang menetapkan manusia sebagai khalifah di bumi dengan tidak membuat kerusakan seperti dialog dalam Al Quran yang terdapat pada QS. Al Baqarah : 31.
Dalam beberapa maiyahan, Simbah Guru pun mengemukakan pentingnya jannatul maiyah untuk melakukan pendataan sosial, setidak-tidaknya di kota tempat tinggalnya masing-masing. Pendataan sosial diperlukan agar jannatul maiyah memiliki pandangan secara lebih jernih dan menyeluruh dalam menjalani rakaat panjang. Pendataan tersebut mencakup kepemilikan lahan oleh pihak asing, penggusuran oleh pemerintah yang bersifat tidak melindungi rakyat dengan berpihak kepada bangsa asing, komodifikasi-komodifikasi yang dilakukan atas nama agama, dan banyak lainnya. Dalam hal lingkungan pun perlu dilakukan pendataan, seperti misalnya dilakukan pemetaaan dan pendataan daerah-daerah yang gundul serta rawan longsor agar dapat menemukan solusi untuk kemaslahatan bersama dalam menjaga bumi titipan Allah.
Sadar Lingkungan, Sadar Kehidupan
Di daerah Jawa Barat sendiri tidak sedikit yang ditemukan mengalami kegundulan. Daerah-daerah yang mengalami kegundulan tersebut dikhawatirkan dapat memberikan dampak lingkungan yang buruk ke depannya bila tidak dilakukan penanaman kembali secara tepat guna. Pada suatu daerah di perbatasan Kabupaten Bandung, misalnya, terdapat kurangnya perhatian terhadap tata guna lahan sesuai fungsi lingkungannya. Daerah zona tangkapan hujan yang seharusnya dikonservasi dengan ditanami tanaman keras untuk memberikan fungsi penyerapan air tanah serta penopang terjadinya erosi, tampak ditanami tanaman kentang oleh penduduk sekitar.
Pengelolaan lingkungan yang seharusnya dilakukan pada kawasan tangkapan air. Meskipun begitu, tidak mudah dilakukan perubahan karena hal ini menyangkut beragam aspek kehidupan masyarakat. Terlebih lagi apabila masyarakat setempat telah memiliki kontrak berjangka dengan industri makanan, maka kompleksitasnya akan semakin berlapis. Tak hanya persoalan lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat, namun juga permasalahan hukum berada di dalamnya. Tentu menjadi hal yang menyedihkan apabila masyarakat sekitar yang memiliki alasan: “memberi makan anak-istri” menjadi korban dari ketidaktahuan mereka. Namun, apabila permasalahan ini tidak diurai dan ditemukan solusinya, maka dampak yang dihasilkan akan lebih besar.
Permasalahan tersebut hanyalah salah satu permasalahan lingkungan dari serentetan kekeliruan manajemen ligkungan yang ada. Permasalahan akan diperparah apabila pihak pengembang perumahan tidak mempertimbangkan faktor ekologis alam setempat dan mulai mengembangkan perumahan-perumamahan penduduk di kawasan tersebut. Kekeliruan dalam mengelola anugerah Tuhan nyatanya dapat menjadikan petaka bagi diri kita sendiri.
Kurangnya kesadaran dan ketidakpedulian manusia dalam mengelola lingkungan hidup dapat memberikan dampak bagi kita sendiri. Jamparing Asih menyadari, bahwa manusia harus memiliki perhatian terhadap alam dan lingkungan tempat hidupnya. Atas dasar itulah Jamparing Asih #JAJan mengambil tema “Kembali ke Huma Berhati” yang merupakan kutipan puisi “Apa Ada Angin di Jakarta” karya Umbu Landu Paringgi sebagai judul Majelis Maiyah Jamparing Asih di bulan Januari. Hal yang berbeda dari majelisan Jamparing Asih sebelumnya adalah pengadaan workshop pertanian ramah lingkungan bagi warga.
Tema “Kembali ke Huma Berhati” mengandung arti agar manusia mengembalikan peristiwa bercocok tanam (ziro’ah) dan pertanian menuju kepada hakikatnya sebagai alam yang memberikan penghidupan kepada manusia sehingga adalah bentuk rasa syukur kepada Allah untuk kita mengolahnya dengan hati. Saat ini ketika kita berjalan ataupun berkendara kita masih dapat menikmati pemandangan hamparan persawahan, huma, ladang-ladang sayuran, dan kebun garapan warga. Tapi apakah kita pernah memerhatikan apa yang sebenarnya terjadi dibalik hamparan pemandangan tersebut? Seperti bagaimana pertanian dan lingkungan tersebut dikelola?
Apakah hasil-hasil pertanian tersebut telah menyejahterakan petani? Sejauh apa masyarakat kita menghargai petani yang mengolah asupan primer di kehidupan untuk kita dapat bertahan hidup? Siapa yang memiliki lahan-lahan garapan tersebut? Masih petanikah? Masih bangsa Indonesiakah? Bagaimana nasib keberlanjutan (sustainability) lahannya?
Apakah dalam pengolahan lingkungan dan hasil tani sebagai komoditas setiap pemangku kepentingannya berlaku menggunakan hati? Silakan dicari tahu dan dilakukan pengumpulan data lapangannya, kelak kita akan terkaget-kaget dan mengelus dada terhadap apa yang sedang, telah, dan akan terjadi. Namun begitu, dalam maiyah Simbah Guru telah memperkenalkan konsep segitiga cinta antara diri kita, Allah, dan Rasulullah yang berada di luar lingkaran siklus permasalahan-permasalahan manusia. Tapi sebagai makhlukNya kita boleh berdiam diri saja dan tidak mencoba memperbaiki apa yang sekrianya dapat dan harus diperbaiki. Mencicil untuk hari esok sedari sekarang dengan melihat kepada masa lalu untuk bersama-sama menjalankan rakaat panjang. Satu-dua langkah kecil pun berharga.
Keberlanjutan yang Terpenggal
Pendalaman tema mengenai pertanian telah dilakukan oleh penggiat Jamparing Asih dengan beberapa praktisi pertanian ramah lingkungan, salah satunya adalah Pak Cecep. Beliau merupakan salah seorang pembina pertanian ramah lingkungan dari DPKLTS yang sudah berkecimpung di dunia pertanian dan bekerja bersama petani selama lebih dari 10 tahun. Penggiat Jamparing Asih mengajak serta Pak Cecep untuk melakukan workshop pertanian ramah lingkungan. Workshop pertanian di Desa Cipanjalu merupakan langkah awal yang dilakukan oleh Jamparing Asih untuk menemani warga setempat karena secara berkala desa tersebut akan terus kami kancani. Insya Allah.
Silaturahmi dan diskusi yang telah terjalin dengan para praktisi pertanian membuat kami harus memandang persoalan ini secara lebih menyeluruh. Seperti yang dikatan Cak Dil pula, bahwa sebelum menaruh perhatian kepada tema pertanian, masyarakat (tak hanya petani) harus terlebih dahulu memahami skema besarnya. Pertimbangan aspek lingkungan hidup dalam pertanian adalah hal yang penting, namum penting juga mempertimbangkan dilematis-dilematis yang dimiliki oleh para petani. Pelestarian lingkungan hidup merupakan hal yang perlu terus ditekankan ulang karena beberapa generasi di atas kita telah memenggal konsep keberlanjutan nenek moyang kita terdahulu. Kegiatan bercocok tanam manusia yang sebelumnya dilakukan dengan mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan kelangsungan ekosistem lingkungan hidup menjadi terlupakan. Tak hanya kegiatan cocok tanam saja sebenarnya, namun kegiatan pembangunan pun seharusnya mempertimbangkan keselarasan alam. Namun, hal tersebut kerap dianggap sebagai sesuatu yang bersifat utopis/idealisme khayalan yang sulit untuk dilaksanakan.
“Kembali Ke Huma Berhati”
Penjelasan mengenai kosmologis masyarakat Sunda dalam memandang alam merupakan pintu masuk kepada masa lalu. Pintu masuk tersebut diperlukan agar kita dapat merefleksikan kearifan-kearifan yang seharusnya kita pahami. Penggalian-penggalian pemahaman tersebut saat ini sedang dicicil oleh penggiat Jamparing Asih, baik untuk kebaikan penggiat, jannatul maiyah, maupun masyarakat umum. Harapan besarnya adalah agar nilai maiyah dapat menyentuh tataran aplikatif pertanian berkelanjutan. Salah satu langkah awal yang diambil adalah dengan mengaplikasikan nilai-nilai tersebut ke warga Desa Cipanjalu, Kabupaten Bandung.
Penyelanggaraan maiyahan #JAJan dan workshop pertanian ramah lingkungan dapat terselenggara atas kerja sama berbagai pihak di Desa Cipanjalu. Jamparing Asih antara lain menyambung hati dengan TK Kalila dan Eduvolunteer binaan Pak Deden. TK Kalila yang dirintis oleh Bu Lastri dan Pak Herman memiliki peranan penting di Desa Cipanjalu. Keberadaan TK Kalila dapat memberikan pengasuhan kepada anak-anak Desa Cipanjalu untuk dapat menjembatani “gap” atau kekosongan sosial yang berada di Desa tersebut. TK Kalila yang diselenggarakan secara gratis bagi anak-anak desa hadir sebagai bentuk kepengasuhan dengan harapan masa depan mereka lebih dapat terarahkan. TK Kalila tidak hanya diperuntukkan bagi warga Desa Cipanjalu saja, namun juga warga desa lainnya. Eduvolunteer dibentuk oleh Pak Deden yang bukan merupakan warga Desa Cipanjalu. Pak Deden memiliki perhatian kepada desa tersebut sudah sejak lebih dari setahun ke belakang. Insya Allah langkah bersama ini akan dilakukan secara jangka panjang sehingga nilai-nilai maiyah dapat teraplikasikan di lingkaran pengaruh Jamparing Asih. Banyak dari aspek sosial kemasyarakatan dan lingkungan Desa Cipanjalu menjadikan desa ini penting untuk mendapatkan perhatian.
Majelisan dimulai oleh Bu Nia, memperkenalkan kepada warga yang datang mengenai Jamparing Asih dan workshop yang akan dilakukan pada pagi itu. Sebagian besar warga yang datang adalah ibu-ibu yang merupakan orang tua murid dari anak-anak TK Kalila dan terdapat pula masyarakat umum yang datang. Khusus untuk ibu-ibu orang tua murid, kegiatan workshop Jamparing Asih telah disampaikan seminggu sebelumnya oleh Bu Ningrum, kepala sekolah TK Kalila. Bersama suaminya, Pak Eko, Bu Ningrum menjadi penyambung lidah dan corong informasi antara warga Cipanjalu dan penggiat Jamparing Asih, khususnya Astrilla dan Ayip selama setahun terakhir berkegiatan di Cipanjalu. Pemilihan ibu-ibu untuk melakukan kegiatan cocok tanam ramah lingkungan dilakukan dengan beberapa pertimbangan yang telah dipikirkan bersama sebelumnya.
Maiyahan Jamparing Asih dimulai pukul 09.30 dengan pembacaan Al Quran dan shalawatan yang dipimpin oleh Kang Aam dan Kang Cecep. Untuk mengawali, Kang Cecep membacakan QS. Al Hasyr ayat 21-25. Maiyahan dilanjutkan dengan melantunkan hasbunallah bersama-sama untuk memohon izin kehadirat Allah SWT dalam menjalankan maiyahan. Kang Aam menyampaikan bahwa dalam kehidupan yang terpenting adalah Allah dan Rasulullah. Majelisan kemudian diambil alih oleh Pak Cecep. Meski membicarakan hal yang sangat baru bagi warga, namun utamanya karena keramahan Pak Cecep pada warga, majelisan pagi itu dapat berlangsung sangat cair. Yang dilakukan di #JAJan merupakan inisasi awal dengan banyak pemadatan-pemadatan dalam proses pembelajarannya. Di awal workshop, warga diajak untuk menganalisa sendiri kebutuhan pembelian sayur-mayur untuk makanan pokok keluarga mereka sehari-hari. Dari analisa tersebut warga dibentuk pola pikirnya untuk mau melakukan cocok tanam sendiri di pekarangan (bagi yang tidak memiliki lahan garapan). Bagi warga yang memiliki sawah, ladang, kebun, maupun lahan garapan orang lain, mereka diajak untuk mengenal sistem cocok tanam yang ramah lingkungan. Sistem tanam pekarangan dapat dilakulan dengan menggunakan polybag yang lebih mudah untuk dikontrol. Dari pembentukan keinginan, kemudian dipaparkan mengenai cara melakukan pertanian dan cocok tanam ramah lingkungan.
Diskusi Jamparing Asih berlanjut kepada beban perekonomian yang dimiliki oleh petani. Terlebih lagi apabila petani (sebagai “manajer cocok tanam”) harus menghidupi para pekerja tani yang bekerja di lahannya. Apabila masih ketergantungan oleh pupuk, maka uang habis untuk membeli pupuk. Pak Cecep pun membagikan pengalamannya ketika bertani dengan menggunakan pupuk kimia. Produktivitas tanaman menjadi mengalami ketergantungan dengan asupan pupuk kimia dan harus meningkatkan dosis penggunaannya. Tak hanya permasalahan pupuk, namun juga untuk menembus berbagai pemangku kepentingan (stakeholder) petani sangat terbebebani. Maka apabila kita mau membicarakan ketahanan pangan, petani adalah pelaku utama yang harus dimuliakan hidupnya. Kalau mau membicarakan kemandirian pangan, maka petani adalah faktor utama pula yang harus terperhatikan.
Budidaya tanaman dengan kearifan nenek moyang dikabarkan memiliki berbagai hambatan dalam implementasinya pada manusia-manusia yang telah mengalami modernisasi zaman. Pak Cecep menyarankan agar kita mau mempelajari dan menjadikan orang tua kita zaman dahulu sebagai guru. “Kita ini terlalu banyak orang pintar. Universitas sudah berapa.. Peneliti sudah berapa ribu.. Ilmunya sudah buset luar biasa! Saking luar biasanya yang sederhana-sederhana ini kita tinggalkan. Mengadopsi ilmu dari luar didatangkan di sini. Apakah itu nyambung dengan kekayaan lingkungan kita? Itu yang harus kita pertanyakan. Kenapa tidak kita jadikan orang tua terdahulu kita sebagai Guru? Karena masyarakat kini terlalu percaya dengan ‘teknologi wah’, teknologi luar untuk diadopsi ke negeri kita. Masyarakat, utamanya teman-teman akademisi sudah melupakan teknologi nenek moyang kita. Itu yang sudah dilupakan. Kita tinggal menunggu kehancuran saja kalau terus mengadopsi teknologi dari luar untuk datang kesini..”, ungkap Pak Cecep panjang lebar. Pak Cecep pun bercerita bahwa beberapa temuan terkait pertanian yang berakar dari kearifan nenek moyang pun telah beberapa kali akan dibeli hak patennya oleh Negara Eropa, namun tidak diizinkan karena merupakan kekayaan intelektual bangsa kita. Pak Cecep pun bercerita mengenai pentingnya menjaga ekosistem. Salah satu caranya adalah dengan menjaga agar predator (pemangsa) serangga tetap hidup dan mereka dapat menyeimbangkan rantai makanan sehingga serangga tetap menjadi serangga, tidak berperilaku sebagai hama karena keberadaan serangga tetap dibutuhkan. Salah satu cara untuk menjaga ekosistem lingkungan hidup adalah dengan menyediakan semak-semak di sekitar lahan yang ditanami sebagai tempat bermain serangga sehingga tidak menggangu lahan garapan. Diskusi terus berlanjut hingga pukul 13.30. Selepas diskusi, riungan semakin santai dengan botram atau makan bersama yang disediakan oleh Bu Lastri di rumahnya. Sembari menikmati udara pedesaan, teman-teman Jamparing Asih kembali bernyanyi bersama dengan iringan ukulele.