Kembali Fitri dengan Berpuasa
Menyepi itu penting, supaya kamu benar-benar bisa mendengar apa yang menjadi isi keramaian. (Mbah Nun)
Manusia. Kekuasaan dan ke-MahaKreatif-an Tuhan seolah tampak nyata pada sosok manusia. Apa namanya kalau bukan kreatif, jika Tuhan menciptakan manusia dengan ribuan juta rupa yang tak semuanya sama. Meskipun begitu, Tuhan pun tak serta-merta semena-mena dalam menggunakan kekuasaan-Nya. Karena nyatanya, Dia masih berbelas asih meminjamkan bagian dari kekuasaan-Nya pada manusia sebagai bekal untuk ‘bermain’ di zona permainan-Nya.
Dalam perjalanannya, manusia dianugerahi sesuatu yang memang ia tak mampu memilih sendiri. Hitam, putih, lahir di Jawa, Sunda, dan lain sebagainya. Itu semua tak mampu kita request sebelum kelahiran kita. Itu murni pemberian dari Sang Kuasa. Akan tetapi, kita pun juga diberi sedikit kekuasaan untuk memroses apa yang telah diberikan pada kita. Kita masih diberi kesempatan untuk memilih setiap pilihan yang disuguhkan dalam arena permainan-Nya di dunia.
Polaritas Personalitas-Identitas
Ibaratkan manusia adalah sebuah sistem, setidaknya ada tiga hal yang dilalui manusia. Penginputan, memroses inputan, dan menyuguhkan hasil output–nya. Berbicara tentang pilihan tadi, kita pun selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan dalam setiap waktunya. Mau makan apa tidak, mau jujur apa tidak, mau mencuri apa tidak, mau membolos sekolah apa tidak, dan masih banyak lagi pilihan-pilihan tindakan sesuai dengan kesempatan yang ada. Dan semua pilihan-pilihan tersebut, semua bisikan-bisikan itu, setidaknya telah masuk dalam pikiran kita. Mereka menjadi inputan yang kemudian kita proses menjadi suatu pilihan tindakan nyata.
Ketika kita memilih tindakan yang sesuai dengan hati nurani, yang akan muncul adalah personalitas kita, diri kita yang sesungguhnya. Akan tetapi, jika kita sudah bermain pikiran dalam menentukan pilihan, di sanalah peran dari sosok bernama naluri. Masih beruntung jika pada akhirnya naluri masih sejalan dengan nurani. Yang jadi permasalahan adalah ketika naluri berseberangan dengan nurani. Dan bisa dibayangkan jika itu terus-menerus berjalan. Bukan tidak mungkin, identitas kita, karakter yang muncul karena pengaruh lingkungan, ruang, dan waktu, akan jauh lebih berkuasa. Hingga diam-diam, ia akan menenggelamkan personalitas kita, mengubur karakter kita yang sesungguhnya.
Tentu akan jauh lebih baik jika personalitas dan identitas mampu guyub rukun hidup berdampingan. Akan tetapi, yang jadi permasalahan sekarang, sudahkah personalitas kita sejalan dengan identitas kita? Sudahkah personalitas kita berjalan dalam keseimbangan dengan identitas kita?
Jika berbicara tentang nurani, berkaca pada firman Tuhan bahwa setiap manusia terlahir dalam keadaan suci, tentunya nurani selalu mengarah pada kebaikan, mengarah pada kejujuran. Dan ini yang seharusnya menjadi kesadaran kita. Identitas kita sebagai seorang hakim, misalnya. Jika kita masih berpegang teguh pada nurani, tentu kita akan menjadi hakim yang adil. Kita akan memutuskan perkara sesuai dengan yang semestinya.
Kembali pada masalah identitas dan personallitas, hari ini masyarakat Indonesia termasuk golongan yang lebih kuat identitasnya. Kita cenderung berperilaku sesuai dengan identitas kita. Contoh sederhananya, katakanlah personalitas kita sedih karena jomblo. Akan tetapi, karena identitas kita menuntut untuk bercengkrama dengan banyak orang, kita pun berusaha untuk memendam kesedihan kita. Atau dalam perjalanannya, kita dikumpulkan dengan orang yang suka hura-hura. Kita dikumpulkan dengan orang yang memuja harta benda, misalnya. Padahal, pada dasarnya kita termasuk orang yang sederhana. Tak jarang kita pun larut dalam dunia mereka. Memakai topeng untuk menutupi diri kita yang sebenarnya, lalu mengikuti arus sekitar kita.
Atau, contoh lainnya mungkin bisa kita lihat. Dewasa ini kita sangat sering dicekoki tontonan yang sangat jauh dari budaya kita, budaya Nusantara. Televisi, media online, media sosial, semua yang dipertontonkan seolah mengajak kita menjauh dari karakter Nusantara. Apa yang disuguhkan media-media tersebut seolah mengajak masyarakat untuk berlaku hedonis, konsumtif, menyukai segala yang instan, dan lain sebagainya. Alih-alih kita mencoba membentenginya, malah sebagian dari kita tidak sedikit yang hanyut dalam derasnya arus media tersebut. Seolah begitu mudahnya kita diombang-ambingkan oleh mereka, dibawa ke arah mana mereka suka.
Apakah pilihan tindakan tersebut tidak baik? Belum tentu. Lagi-lagi, semua akan jauh lebih baik jika kita mampu menyeimbangkannya. Sadar akan personalitas dan identitas kita, sadar mana topeng dan mana wajah asli kita, untuk kemudian diberlakukan sesuai dengan situasi dan kondisinya. Akan tetapi, yang jadi permasalahan hari ini, rasanya semakin ke sini semakin banyak topeng yang kita pakai. Dan bisa jadi, kita pun sudah mulai lupa dengan ‘wajah’ kita yang sesungguhnya.
Berpuasa, Membongkar Topeng Identitas Kita
Kalau sudah seperti ini, apa yang bisa kita lakukan? Di tengah derasnya topeng yang disuguhkan, di antara kebingungan demi kebingungan yang menghadang, setidaknya mencoba kembali pada kemurnian dirasa menjadi pilihan yang lebih tepat. Kembali pada wajah kita yang sesungguhnya, setidaknya sedikit bisa membantu mengurai kebuntuan. Untuk kemudian mengatur jalan yang tidak berlandaskan kebohongan dan kemunafikan.
Mungkin ada baiknya kita mencoba berpuasa, sebagai salah satu jalan untuk kembali menemukan wajah asli kita. Berpuasa dari segala kesenangan, agar kita pun bisa lebih belajar memahami kebutuhan. Berpuasa dari segala bisikan yang tidak sejalan dengan hati nurani kita. Tidak mudah memang, berjalan melawan derasnya arus yang ada. Akan tetapi, setidaknya jalan ini yang kini bisa kita upayakan untuk kembali pada kemurnian, kembali pada kesejatian.
Berbicara tentang wajah asli kita, mungkin ada baiknya kita pun mencoba menggali di mana tanah kelahiran kita, siapa leluhur kita. Bukan bermaksud mengunggulkan trah ataupun yang lainnya. Akan tetapi, setidaknya dengan belajar memahaminya, kita bisa menjadikannya inputan untuk kemudian kita proses dalam perjalanan hidup kita.
Kita dilahirkan di Nusantara, misalnya. Menurut ilmu biologi, tentu gen yang ada dalam tubuh kita masih ada kaitannya dengan gen leluhur Nusantara. Sementara itu, menurut sejarah, Mbah-mbah kita dulu termasuk orang-orang yang kuat, orang-orang yang tertempa banyak masalah. Menurut sejarah juga, Mbah-mbah kita yang ada di Nusantara ini juga termasuk satu dari bangsa tertua di dunia. Lalu, apa hubungannya dengan wajah asli kita?
Baiklah, setidaknya mari kita coba perlahan mengurainya bersama. Masih menurut ilmu Biologi, lingkungan dan waktu bisa memengaruhi penurunan dan perubahan gen pada keturunannya. Sederhananya, jika orangtua tertempa banyak masalah, dan orangtua tersebut lebih memilih menyikapinya dengan positif, mungkin orangtua tidak begitu merasakan pengaruhnya. Akan tetapi, hal ini akan berdampak pada anak turunanya. Efek positif tersebut akan memengaruhi karakter anak turunannya. Dan jika ini berjalan terus menerus, tentu akan sangat berpengaruh pada kualitas anak turunannya, akan semakin kuat karakter anak turunannya. Apa yang dijelaskan dalam ilmu Biologi tersebut rasanya sejalan dengan apa yang diajarkan masyarakat Jawa dan Islam. Bahwa tirakat, laku prihatin, dan puasa bisa membantu memperbaki kualitas anak turunannya.
Akan tetapi, jika kita menghentikan siklus positif tersebut, kita menyikapinya dengan negatif, tidak meneruskan laku nenek moyang kita, misalnya. Bisa jadi, anak turunan kita pun juga akan bekarakter negatif. Meskipun di dalam diri mereka masih mengalir gen-gen positif dari nenek moyangnya. Karenanya, untuk merontokkan ataupun memperjelas personalitas asli kita (warisan Mbah-mbah yang positif tadi), salah satu jalannya adalah dengan berpuasa, merontokkan topeng-topeng identitas kita.
Sekali lagi, di tengah segala keruwetan dan derasnya arus yang membingungkan, di tengah menebalnya topeng-topeng yang kita gunakan, maka di antara langkah yang bisa kita lakukan adalah berpuasa. Berpuasa untuk bisa kembali menemukan kemurnian. Berpuasa untuk bisa kembali pada kesejatian.