Kecemasan Terhadap Identitas
Kalau manusia melakukan simplifikasi dengan mengidentikkan orang bertaqwa adalah sama dengan Ulama, Kiai, Ustadz, Mursyid, maka yang terjadi sebenarnya adalah ketidakpercayaan kepada yang ghaib. Risikonya Al-Qur`an bukan untuknya, atau tidak aksesabel baginya.
Kalau ada seseorang, terutama kalau dalam peta identitas masyarakat disebut sebagai Ulama, merasa dirinya lebih bertaqwa dibanding kuli pasar, penambal ban atau siapapun, maka ia telah me-materi-kan roh taqwa. Bahkan kalau disepakati bahwa taqwa dalah ghaib, maka setiap orang yang merasa dirinya lebih bertaqwa dari orang lain: pada hakekatnya ia telah menuhankan dirinya.
Sebab hanya Allah yang Maha Mengetahui segala yang ghaib. Adapun manusia berjarak sangat jauh dari keghaiban, meskipun pada saat yang sama dirinya sendiri mengandung keghaiban bagi pengetahuannya.
“Dan sesungguhnya mereka telah mengingkari Allah sebelum itu; dan mereka menduga-duga tentang yang ghaib dari tempat yang jauh”. [1] (Saba: 53).
Budaya ilmu dan psikologi di kalangan Kaum Muslimin tidak terlalu waspada terhadap seriusnya perbedaan atau jarak antara yang nyata dengan yang ghaib. Sedemikian rupa sehingga terdapat kesemberonoan positioning di kalangan mereka.
“Sesungguhnya yang ghaib itu kepunyaan Allah, sebab itu tunggu sajalah olehmu, sesungguhnya aku bersama kamu termasuk orang-orang yang manunggu”. [2] (Yunus: 20).
Manusia yang di-ulama-kan oleh ummatnya, bisa menjadi tinggi derajatnya, tetapi juga memanggul keterancaman oleh kemungkinan gejala penuhanan diri. Manusia yang mengulamakan dirinya, sesungguhnya sedang memasuki jurang bahaya yang bisa menghancurkannya. Manusia yang tidak gelisah oleh gelar, identitas, pakaian dan pujian yang disematkan oleh masyarakatnya, adalah manusia yang kurang serius kepercayaannya terhadap keghaiban.