CakNun.com

Kebijaksanaan Cendol

Diterbitkan dalam buku "Indonesia Bagian Dari Desa Saya", 1983
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 8 menit

Karena akan menerima tamu dari Thailand, maka Kiai itu merasa harus menyuguhkan Jawa. Segala yang nampak pada Pondok Pesantren yang dipimpinnya, sebenarnya relatif sudah mengekspresikan tradisionalitas Jawa. Potret desa, model-model bangunan dan irama kehidupannya. Sang Tamu besok mungkin akan mendengar para santri berbincang dalam bahasa Arab atau Inggris. Tapi tentu bukan itu masalahnya. Yang penting Kiai kita ini tidak akan mungkin menyodorkan Coca Cola ke depan hidung tamunya dari tanah Thai ini.

Demikianlah akhirnya sekalian santriyah yang tergabung dalam Qismul Mathbah (Departemen Dapur) bertugas memasak berbagai variasi menu Jawa. Dari sarapan grontol, makan siang nasi brongkos, malam gudeg, besoknya pecel, lalu sayur asem dengan snack lemet dan limpung.

Sang Kiai sendiri ’cancut tali wondo’ mempersiapkan suguhan ekstra siang hari yang diperkirakan bakal terik. Ia dengan vespa kunonya melaju, membawa semacam tempat sayur yang besar. Empat kilometer ditempuh, dan sampailah ia ke warung kecil di tepi jalan. Seorang Bapak tua penjual cendol. Sang Kiai sudah perhitungkan waktunya untuk sampai pada Bapak Cendol ini pada dinihari saat jualannya. Yakni saat stok masih melimpah.

Terjadilah dialog dalam bahasa Jawa krama-madya.

“Masih banyak, Pak?”

“Masih, Den. Wong baru saja bukan beberan.”

“Alhamdulillah, ini akan saya beli semua. Berapa?”

Pak Cendol kaget. “Lho, jangan Den!” jawabnya spontan.

Sang Kiai tak kalah kagetnya. “Kok jangan.”

“Lho, kalau dibeli semua bagaimana saya bisa berjualan?”

Sang Kiai terbelalak. Hatinya mulai knocked-down, tapi belum disadarinya. “Lho kan saya beli semuanya, jadi Bapak tak usah repot-repot berjualan lagi di sini hari ini.”

Pak Cendol tertawa.

Sang Kiai makin terperangah. “Orang jualan kan untuk dibeli. Kalau sudah laku semua kan malah beres?”

Pak Cendol makin terkekeh. “Panjenengan ini bagaimana tho Den! Kalau dagangan saya ini dibeli semua, nanti kalau orang lainnya mau beli bagaimana! Mereka kan tidak kebagian!”

Knocked-out-lah Sang Kiai.

Ia terpana. Pikirannya terguncang. Kemudian sambil tergeregap ia berkata: “Maafkan, maafkan saya, Pak. Baiklah sekarang Bapak kasih berapa saja yang Bapak mau jual kepada saya…”

Seperti seorang aktor di panggung yang disoraki penonton, ia kemudian segera mendapatkan vespanya dan ngeloyor pulang. Sesampainya di Pondok ia langsung kasih itu cendol ke dapur dan memberi beberapa penugasan kepada Santriyah, kemudian ia menuju kamar, bersujud syukur dan mengucap istighfar, lantas melemparkan tubuhnya di ranjang.

Alangkah dini pengalaman batinku, gumamnya dalam hati, sembahyang dan latihan hidupku masih amat kurang. Aku sungguh belum apa-apa di depan orang luar biasa itu. Ia tak silau oleh rejeki nomplok. Ia tak ditaklukkan oleh kemudahan-kemudahan memperoleh uang. Ia terhindar dari sifat rakus. Ia tetap punya darma kepada sesama manusia sebagai penjual kepada pembeli-pembelinya. Ia bukan hanya seorang pedagang. Ia seorang manusia!

***

Reporter kecil ini sebenarnya sudah sangat kuat tampil sebagai ”karya seni” yang tidak lagi memerlukan deskripsi atau tangan panjang yang merentang dijelaskannya lebih lanjut. Apalagi ia bukan reporter fiktif. Ia kejadian nyata, meskipun ia tidak akar, bisa menjadi ”big-news” di koran-koran seperti kalau seorang Panglima negara mengutuk komentar-komentar umum atas kasus Tampomas II. Komando Jihad yang superfiktif.

Adegan kecil itu berlangsung di pinggiran Muntilan, sebuah kota kecil. Tokoh-tokohnya pun kecil-kecil. Pak Cendol itu seekor teri di antara puluhan juta teri yang hanya bisa menjadi berita apabila kereta api yang mereka tumpangi tabrakan atau kapal mereka meledak dan tenggelam.

Tapi soalnya, apa kira-kira bunyi refleksi ”zaman” ini atas repertoar itu. Di mripat kita yang ”modern” (’Majulah Bersama Bir Bintang’) terlihatlah betapa bodoh itu Pak Cendol. Ia tidak realistis. Sok moralis. Kenes. Bahkan sok arif dan snob. Kalau pelaku adegan itu ialah Anda yang berpakaian necis, Anda bisa dituduh, jangan-jangan Cuma mau cari popularitas!

Akan tetapi, Pak Cendol ini berbeda dengan Yenni Rachman yang memakai gaun seharga 1,25 juta rupiah dan mengacungkan tinju angkat bicara soal keadilan sosial. Berbeda juga dengan ironi tak terelakkan dari sebuah seminar tentang kemiskinan yang bertempat di hotel kelas satu. Atau seminar dakwah bagaimana memanfaatkan sagu sebagai makanan pokok yang diakhiri dengan dinner-party yang menyuguhkan beras istimewa serta seperangkat menu super lainnya. Berbeda juga dengan ’karya masterpiece klasik’ seorang pemimpin penganjur hidup sederhana yang meneriakkan kata-kata bijak dari atas gunung, kebun-kebun komoditas serta dari tiap atas pabrik-pabrik raksasa. Pak Cendol sungguh-sungguh orang tepian jalan yang terlepas dari mata sejarah, meskipun sabuk antiknya bisa saja suatu hari dibeli oleh jenderal anu dari ibu kota.

Sabuk antik atau batu akik dengan harga amat mahal, berkhasiat untuk memperbesar datangnya sarana modal, sehingga keuntungan meningkat, kemudian modal pun meningkat, untuk keuntungan yang akan berlipat-lipat. Demikian jenjang tangga yang harus ditempuh oleh seorang wiraswastawan yang baik. Orang tidak boleh mandek saja dengan setiap hari bertanya ”Apa besok makan?”. Ia mesti berusaha keras untuk bisa bertanya ”Besok makan apa?”, lalu ”Besok makan di mana?”, dan akhirnya ”Besok makan siapa?”

Dagang adalah dagang. Kehidupan adalah keuntungan. Kemajuan ialah merebut peruntungan. Gobloklah siapa pun yang menolak keuntungan, seperti Pak Cendol itu. Bahkan keuntungan, keuntungan material tentu saja, haruslah menjadi satu-satunya yang substansial dalam hidup ini kalau bisa. Begitu, bukan?

Cita-cita harus untuk sukses. Sukses harus dibeli, dengan ongkos apa pun. Dengan sekolah, belajar, menggenggam kerja dan kesempatan, mengeruk untuk sebanyak-banyaknya, apa boleh buat dengan sedikit atau banyak penipuan, kalau bisa halus kalau tak bisa ya kasar. Sesekali, atau dua tiga empat kali, boleh juga dengan korupsi. Temukan sistem yang memberi peluang untuk itu. Boleh juga dengan pisau, kekuasaan, senapan. Kita hidup bukanlah untuk gagal!

Seorang mbakyu dari Srandakan Bantul menggendong sekian sisir pisang. Dijual antara 50 sampai 100 perak sesisir. Dan bayangkanlah di sebuah Hotel Lux harga itu menjadi 200 perak per biji. Ini adalah sistem. Ini adalah berkat struktur. Seorang wiraswastawan yang kreatif harus bisa menembus tabir jarak itu untuk memperoleh keuntungan yang setinggi-tingginya. Manfaatkan sistem. Jadilah makelar. Baik makelar motor, mobil, atau makelar ide, atau makelar yang menjual kepala orang lain kepada taring harimau.

Apa pun profesimu, apa pun bidang kerjamu, di mana pun tempat tinggalmu, tapi yang terpenting capailah sukses. Anak istri mesti dibikinkan rumah sendiri, kalau bisa yang luks tak kalah sama tetangga sebelah dan sedulur di kota sana. Cukupi kesejahteraan kalau perlu sampai anak turun kelak. Apa pun caranya. Perlihatkan makmur subur raharjamu. Hidup ini yang penting sosok penampilan, gleger rumahmu, properti, dan kostum serta make up raga jiwamu.

Ya tho?

***

Tetapi rupanya Pak Cendol tidak sedang berdagang. Ia bukan wiraswastawan yang baik. Ia bukan pedagang yang kreatif. Maklum tak tahu Pancasila dan tak mungkin dapat giliran, ditatar P-4. Ia tak tahu bagaimana mesti hidup. Tak paham prinsip kemajuan. Tak ngerti jenjang karier. Tak sadar mesti merangkak memperjuangkan peningkatan taraf hidup sampai ke puncak Monas yang bergelimang emas, sambil mata jeli sigap merebut setiap bayangan keuntungan yang melintas di depan hidung. Puncak Monas, Bung, puncak Monas. Simbol dari tingkat tertinggi kejiwaan manusia: tak terguncang oleh badai, tak lapuk karena panas, tak lumutan karena hujan. Bahkan tak mungkin ditabrak Colt yang ngebut mengejar jumlah uang setoran. Pak Cendol tak paham dunia luas. Tak bisa membayangkan Jakarta. Tak menemukan metafor bahwa hidup ini bagaikan naik lift, atau karena suratan nasib terpaksa naik tangga biasa saja. Pak Cendol hanya menengadah ke puncak candi Borobudur, lambang jiwa moksa itu. Tapi Borobudur adalah nostalgia. Nostalgia belaka. Hanya tempat pariwisata. Tempat melancong sejenak, sejenak saja.

Pak Cendol tak tahu itu semua. Ia hanya orang yang setia kepada orang-orang lain teman hidupnya di alam semesta ini. Kepada para pembeli yang merupakan bagian yang erat dari komunitasnya. Ia hanya seorang manusia. Ia hanya menjalankan—tanpa pengertian yang rasional-intelektual—naluri kemanusiaannya untuk memelihara keutuhan, keseimbangan, keadilan, dan kebersamaan. Ia berdagang, tapi bukan dagang itu sendiri esensi perbuatannya. Dagang hanya suatu jalan, suatu jalur, suatu lorong menuju titik yang lebih inti dari proses manusianya. Untuk manusia Jawa seperti Pak Cendol ini, tujuan adalah jalan itu sendiri, sebab dalam mengalami jalan itu ia berada secara satu dengan jagatnya, Gustinya. Sehingga titik yang dituju itu ”berada” di dalam dirinya sendiri. Sikapnya kepada Sang Kiai itu adalah suatu sujud, samadi, demi kerinduannya terhadap Guru Sejati, inti yang berada dalam dirinya sendiri.

Pak Cendol sendiri pastilah tidak tahu perumusan semacam ini. Ia hanya mengalami saja. Ia hanya hidup, melakoni secara alam saja. Ia ’tidak akan pernah maju’: Fuji Kodak akan tetap menangkap baju kumalnya sepanjang tahun sampai akhir ajalnya. Ia juga bukan tampil sebagai cuatan, alienasi, atau suatu fenomena di tengah galau zaman yang sama sekali sudah menjadi lain. Tidak tertimbun. Terkubur. Mungkin ia sudah ”tidak ada”.

Ia hanya sisa lagu monoton dari sayup masa lalu. Deru Boeing 747 dan perjudian buah-buah catur sistem dan struktur nilai modern menggilasnya, mengibaskannya lenyap ke angkasa. Pak Cendol adalah seonggok batu kuno yang terlindas ban-ban mobil dan truk kemudian terlempar ke dasar sungai yang curam. Sangat boleh jadi ia juga bukan sebuah prasasti. Masa lalu itu mungkin saja tidak akan ada yang bakal menemukannya kembali.

***

Pak Cendol barangkali tidak dilemparkan. Ia hanya terlempar. Abad ini bukanlah milik orang yang tak praktis, tak prospektif, tak dinamis. Orang macam ini jumud, beku, mandek. Persis warung Gua Hira kecil di plengkung Ngasem Yogya yang begitu-begitu terus keadaannya dari tahun 1946 sampai sekarang.

Yu Reso di seberang rumah sakit Pugeran menganggap warungnya sebagai ”kesenian” yang ia nikmati betul. Ia buka warungnya kapan saja ia mau, terkadang pukul 22.00, terkadang pukul 02.00, kapan saja ia syuur. Ia tidak kelihatan berusaha meningkatkan langganannya misalnya dengan kepekaan terhadap mekanisme pembeli. Paralel dengan susur dan keningnya: ia kunyah dan kulum kapan saja ia suka. Para langganan pembeli pun tidak menuntut ”disiplin waktu” darinya, atau turut menikmati ”kesenian” ini sehingga tercipta irama kebersamaan yang khas. Berjualan tidak identik dengan berdagangnya baginya—kalau saja Yu Reso bisa merumuskan konsepnya sendiri. Berjualan, seperti juga bernapas, mandi, istirahat, sembahyang, dikerjakan kapan saja ia ”in”. Sebab sembahyang tanpa niat murni, tanpa kondisi ”in”, berarti dipaksakan. Dan dipaksakan itu sia-sia. Yu Reso ini suatu tipologi karakter yang lain, tetapi dengan Pak Cendol ia berada bersama dalam intensitas diri dan sikap bulat.

Pak Wongso pemilik warung klasik di barat perempatan Wirobrajan terkantuk-kantuk sepanjang malam tatkala meladeni tamu-tamu pembeli jualannya. Kalau kau mau cari nasi atau rondo-kemul-nya gampang sekali. Atau sikat itu rempeyek dan pisang goreng sepuluh biji, nanti bilang saja cuma habis tiga. Pak Wongso tak akan menangkap basah setiap pencuri. Ia ‘‘fly” terus. Ia pasti sudah bayangkan kemungkinan pencurian itu, tapi ia pasrah. Becik ketitik ala ketara. Ada piwales. Ada walat. Maka, ia ngantuk terus. Mesti pesen teh kental tiga empat kali baru dibikinkan. Dia raih gelas, memasukkan sendok ke toples gula, sang tangan tertidur sebentar di dalamnya sampai Anda tegur untuk meneruskan kegiatannya. Ia mengambil ceret air panas dan menumpahkan air itu ke gelas itu sambil tidur hingga meluber dan air panas itu melimpah menciprati pahanya, baru ia terbangun kembali. Ia mengembalikan uang kembali Anda dengan mengantuk. Mungkin saja ia memberikan lembaran ribuan untuk yang seharusnya ratusan. Bu Wongso setali tiga uang. Mencuci gelas dan piring dengan ”fly” juga. Besok pagi tiba-tiba mereka lenyap tak berjualan sampai beberapa lama. Ternyata pulang mudik. Ke daerah Madiun, jalan kaki. Kok tidak naik bus atau sepur? ”Wong jalan kaki saja bisa kok, repot-repot naik bis, nak!”

Ini sebuah batu purba juga, bukan?

Pak Wongso berjualan tidak dengan keketatan disiplin bisnis. Berjualan adalah wujud ungkapan hidupnya, lengkap dengan integritasnya, moralitas, kesetiaan. Bahkan wujud kesatuan dan kepasrahannya dengan Kang Murbeng Dumadi. Eksistensi ialah ”lenyap” ke Sang Nya itu. Sehingga perlakuan para penipu itu terpulang kepada-Nya. Betapa keriuhan hidup dunia ini ”tak terlampau penting”, betapa sementara, amat sementara.

Pak Wongso tidak gandrung terhadap Dewa Kemajuan.

Di Parangkusuma Parangtritis, Pak Amat meninggal dunia beberapa waktu yang lalu dengan tetap pada sikap kulturalnya: Silakan Mas menginap di kamar-kamar jelek yang saya sediakan ini tanpa bayar, cukup mengganti beras dan lauk pauk yang akan saya suguhkan kepada Mas.

Tentu saja pola integritas semacam ini dungu dan tidak menguntungkan. Tentu saja usahanya ”tak berkembang”. Ia tak berusaha membangun penginapannya menjadi lebih representatif, kalau perlu menjadi semacam losmen yang mendatangkan banyak income.

Tetapi mungkin saja ada sesuatu yang lain berkembang pada hidup Pak Amat, di sisi keuangannya yang tak berkembang. Pak Amat nampaknya memang tidak sedang melakukan suatu usaha dagang dalam konteks ekonomi seperti yang kini dianut orang banyak. Ia sekadar melakukan upaya pengakraban, penyatuan, kebersamaan, kesetiaan, pengabdian, komitmen, solidaritas terhadap sesama jagat yang lebih riil bagi dirinya. Disadari atau tidak.

Seperti juga Pak Cendol, Yu Reso, Bu Gua Hira, Pak Wongso, Pak Amat tidak berdagang buat berdagang. Secara naluri dan tradisi, mereka mungkin melakukan sesuatu yang lebih tinggi, paling tidak sesuatu yang lain. Seperti juga orang-orang Jawa itu nonton wayang, tidaklah dalam rangka ”nonton kesenian”. Tidak untuk berhenti pada wayang itu sendiri. Melainkan untuk meneguhkan kembali sesuatu yang lebih dalam, lebih inti, dan lebih murni dalam jiwa manusia mereka. Mungkin falsafah nilai, mungkin sikap hidup, mungkin kekariban bersama. Mungkin nonton wayang ialah semacam latihan memelihara keyakinan akan kebenaran, memelihara kesatuan dengan Yang Lebih Inti daripada yang nampak sehari-hari. Meneguhkan kembali keyakinan itu, menggarisbawahi, menjustifikasi, menyatakan sumpah kembali secara diam-diam dalam batin jiwa, segala komitmen kemanusiaan mereka.

Lebih dari itu mereka memang bukanlah manusia modern yang mampu mengungkapkan kepada masyarakat lingkungannya sikap dan ’agama’-nya itu. Mereka juga bukan mahasiswa Fakultas Anu yang bisa me-release di mass media serta mengabadikan di kaos-kaos kenangan mereka segala kegiatan masyarakat mereka yang luhur; yang tidak boleh tidak harus dicatat oleh sejarah betapa lebih dekatnya mereka dengan Pancasila beserta P-4nya. Bukan pula pimpinan Yayasan Lotre Nasional yang mendengungkan betapa melimpah bantuan mereka kepada anak-anak yatim piatu. Atau bukan pula seorang Menteri Perhubungan yang meskipun sekian ratus orang terkubur di lautan oleh kapal penumpang yang tenggelam, tak bakalan mengundurkan diri dari jabatannya, justru untuk lebih menunjukkan darma baktinya kepada negara dan bangsa. Pak Cendol hanya Pak Cendol, yang tak tahu ekshibisi. Yu Reso hanya Yu Reso, yang bekerja begitu saja, Pak Amat hanya Pak Amat, yang tak membanggakan kerja, Pak Wongso hanya Pak Wongso, yang tak menyadari nilai kepahlawanannya.

Atas nama apa pun kita tidak akan melanjutkan kejumudan semacam itu. Kita jangan bikin zaman jadi koyak moyak. Tak cocok dengan derap abad ke-20. Sang Kiai itu memang tak akan menyuguhkan Coca Cola untuk tamu Thailand itu. Apa salahnya Coca Cola. Ia toh memberi kesegaran yang lain. Tapi kalau kita berfoto dengan menggenggam botol Coca Cola sambil memakai surjan blangkon, memang hasil potret jadi lain. Jadi baur identitas. Jadi rancu, sosok fisik kita, dan barangkali juga struktur batin kita.

Tetapi Coca Cola ada di mana-mana, kapan saja, dan siapa saja. Tak bisa kita elakkan, dan memang tak perlu dielakkan. Cuma kita belum menguasainya. Belum menggenggamnya, sebagai fenomena baru yang bisa mematangkan kesempurnaan manusia kita.

Kita masih digenggamnya.

Demikian ’paribasan’nya. []

Lainnya

Exit mobile version