Kebenaran dan Ketersambungan
Dahulu semenjak lulus dari dari bangku SMA, saya pernah mempunyai sifat kemalasan untuk membaca tulisan-tulisan yang panjang, apalagi buku-buku. Dari dulu memang kalau membaca itu rasa malas ini selalu tumbuh. Tapi kalau disuruh menulis malah rajin. Membingungkan juga jadi saya ini. Membaca malas tapi kalau menulis kok rajin.
Semenjak saya mengikuti Maiyah beberapa tahun belakangan ini, ketika tidak punya aktivitas atau sedang libur kerja, saya kembali membaca tulisan Mbah Nun, dari Daur 01 dan seterusnya. Saya mencoba memahami lagi tulisan demi tulisan dan maksud kata-kata di dalam Daur yang beliau tulis setiap hari.
Berulang-ulang saya membaca Daur-Daur tersebut, mungkin karena belum paham apa maksud makna di dalam Daur yang sudah saya baca satu per satu tadi. Saya mengakui tidak mudah memahami makna dalam tulisan Mbah Nun di Daur yang setiap hari beliau persembahkan kepada anak-anak dan cucu-cucunya. Mulai dari bulan Februari 2016 sampai sekarang beliau tidak pernah berhenti mempersembahkan tulisan Daur.
Ketika itu saya membaca tulisan beliau Daur 13 – Gelap Jadi Cahaya, Beban Jadi Penyangga.
Pada belas tulisan sebelum ini aku banyak menuturkan sesuatu yang sengaja baru besok atau lusa aku tuntaskan. Semacam ‘pekerjaan rumah’ yang mungkin membuat pikiranmu ruwet dan kusut.
Kalau anak cucu dan para jm pusing kepala dan geram oleh alur kacau omonganku, tolonglah bersabar pada orang tua yang mulai pikun dan udzur. Maka beliau-beliau yang lain siapapun tak perlu mendengarkan atau membaca ocehan kakek kepada anak cucunya ini.
Seorang kakek terkadang mungkin memang sengaja bicara tak beraturan. Menjebak-jebak. Berhenti padahal masih koma. Sengaja suatu tema dipotong, kemudian belok ke gang-gang yang seakan tak ada kaitannya dengan tema utama. Pemilihan tema-temanya, lompatan-lompatan dari tema ke tema, kadar tabungan penghayatan suatu tema sebelum besok nyicil tabungan berikutnya, tata kepenulisannya, pertimbangan berpikirnya, irama penelusurannya, format redaksionalnya, serta berbagai macam aturan kepenulisan lainnya — semata-mata membatasi diri pada keperluan internal keluarga anak cucu dan para jm.
Kalau saya memahami memang di tulisan itulah beliau seakan-akan menyampaikan kejujurannya kepada anak dan cucunya, karena pada lanjutan Daur yang lain seolah-olah saya juga kadang bingung sendiri dan juga tertawa sendiri melihat pembicaraan seorang Cak Markesot, Toling, jitul dan lain-lainya.
Kenapa saya bingung dan kadang tertawa sendiri itu pasti ada penyebabnya. Mungkin bagi JM yang lain pasti ada yang merasa seperti saya. Karena di saat saya membaca, menyaksikan pembicaraan antara cak Sot dan yang lainya dengan kebingungan, saya ini tidak paham maksud pembicaraan mereka itu apa karena tidak sesuai dengan paragraf pertama di Daur tersebut. Kok tiba-tiba ada kata “celethok” seseorang nama di dalam Daur-Daur entah itu Cak Sot atau yang lain.
Seakan-akan pembicaraan mereka membuat saya semakin ingin mencari tahu terus-menerus, pasti ada ketersambungannya terus di Daur berikutnya. Mbah Nun sendiri juga sering bilang kepada kita bahwa kalau beliau menulis tulisan-tulisan tadi baru berupa pelok ibarat sebuah mangga, di mana kita disuruh mencari yang seolah-olah dijadikan pekerjaan rumah buat kita agar di kemudian hari bisa jadi matang.
Di paragraf empat dan lima di Daur 13 – Gelap Jadi Cahaya, Beban Jadi Penyangga juga menuliskan:
Jika itu mengganggumu atau bahkan menyiksamu, berhentilah membaca dan tinggalkan tulisan ini. Jauhilah aku dan Maiyah, sebab aku dan Maiyah tidak mengikat siapapun. Aku dan Maiyah tidak harus ada dalam kehidupan ini. Aku dan Maiyah belum tentu disyukuri adanya, dan memang sama sekali tidak harus. Aku dan Maiyah pun tidak ditangisi oleh siapapun tiadanya.
Kalau ada yang mencurangi tulisan-tulisanku untuk anak cucuku ini, misalnya melemparkannya keluar Maiyah, memotong-motongnya, atau meletakkannya pada alam pikiran umum yang tidak tepat untuk itu, atau apapun bentuk pencurangannya — tidak akan berurusan denganku. Tidak akan mendapat akibat apapun secara langsung dariku. Juga tidak diidentifikasi atau didata apapun yang menjadi akibat dari pendhaliman itu. Tidak diamati, apalagi disyukuri atau disesali.
Pada saat itulah saya selalu menunggu tulisan beliau entah itu Daur, Khasanah atau pun yang lainnya dan terus mencari dan membaca, setelah memahami sedikit-sedikit apa yang sudah beliau tulis. Seakan-akan tulisan di paragraf empat dan lima tadi malah membuat saya untuk selalu belajar mencari dan memahami, bukannya malah menghindari Maiyah.
Yang saya alami banyak kebenaran dan ketersambungannya dalam hidup saya di dalam mengikuti Maiyah apalagi kejadian di tulisan Daur 236 – Pemimpin Setaraf Tuhan menurut saya benar sekali.
“Dengan agak sedih tampaknya perlu diakui bahwa, mohon maaf, kepatuhan manusia dan masyarakat kepada Tuhan pun tidak sekontan dan semantap kepatuhan mereka kepada dokter. Kaum beragama bisa dengan tenang tanpa beban tidak menjalankan ibadah sembahyang selengkap yang Tuhan memperintahkan, tetapi mereka tidak berani satu kali pun tidak melakukan apa yang dokter perintahkan. Bahkan banyak penyembah Tuhan yang puluhan tahun tidak melakukan shalat, tapi kalau dokter memerintahkannya minum obat tiga kali sehari — tidak satu kali pun mereka berani absen meminum obat.”
“Sangat banyak orang merasa ragu, bingung, atau tidak benar- benar mempercayai firman Allah, tetapi tidak sekalipun mereka pernah mempertanyakan hal-hal yang menyangkut obat yang direkomendasikan atau diberikan oleh dokter. Tidak ditanyakan kenapa obat yang ini, kok bukan obat yang itu. Kenapa dua kali tiga sehari, apa hubungan persisnya dengan sakit yang mereka derita, serta apapun yang terkait”
“Sedangkan Tuhan menyuruh mereka membayar pajak dalam rangka bersyukur sekadar dengan meluangkan waktu beberapa menit kali lima kali sehari, mereka bertanya: kenapa harus lima kali sehari?….”
Jitul dan Toling menggebu-gebu bergantian.
Mulai dari situlah saya selalu bersyukur kepada Allah, karena saya selalu dipertemukan Mbah Nun di manapun setiap saya hadir di acara Sinau Bareng di berbagai tempat, beliau masih dalam keadaan sehat wal afiat. Apalagi saat melihat beliau tertawa di depan anak dan cucunya saat acara Sinau Bareng, rasa rindu ini selalu hadir untuk berjumpa dengan beliau meski selalu membaca tulisan beliau saja rasanya belum cukup.
Bagi saya membaca tulisan-tulisan beliau tidak ada ruginya sama sekali, tetapi malah membuat saya introspeksi diri. Karena beliau mempersembahkan kepada anak dan cucunya begitu sayang sekali, dalam keadaan apapun di manapun setiap hari beliau menulisnya. Alangkah baiknya kita sebagai anak dan cucunya atau mungkin JM yang lainnya mari kita selalu mendoakan Mbah Nun entah di manapun kita berada.