Kebahagiaan dalam Tali-tali Cahaya
Satu kata yang menjadi jawaban adalah Cinta. Iya, cinta. Saya mencintai forum Kenduri Cinta. Sudah satu tahun terakhir saya meninggalkan Jakarta untuk kembali ke kampung halaman, mengambil jeda sejenak dari hiruk-pikuk suasana Ibukota yang sangat ruwet. Selama saya tinggal di kampung, suasana ketenangan begitu terasa, tidak ada kemacetan, tidak ada suara bising kendaraan yang berlalu-lalang, tidak ada suara klakson motor yang bersahut-sahutan pada jam berangkat kantor dan pulang kantor. Seperti petikan puisi Umbu Landu Paranggi, Pulanglah ke desa, membangun esok hari, kembali ke huma berhati.
Satu tahun meninggalkan Jakarta, nyatanya tidak benar-benar membuat saya bisa melepaskan ikatan cinta saya kepada Kenduri Cinta. Terlepas bahwa saya memiliki komitmen bersama teman-teman Penggiat Kenduri Cinta untuk bersama-sama dalam kepengurusan 2016-2018, tentu bukan hal yang mudah menjaga komitmen untuk terus bisa datang ke Jakarta pada setiap Kenduri Cinta dilaksanakan.
Begitulah satu tahun terakhir yang saya jalani, setiap Kenduri Cinta dilaksanakan saya berangkat ke Jakarta, satu hari sebelumnya. Ada kondisi di mana memang saya harus berangkat lebih cepat dari biasanya, seperti bulan ini. Saya memutuskan untuk berangkat hari Rabu siang (8/11) ke Jakarta, karena saya merindukan suasana Forum Reboan. Alhamdulillah, kerinduan itu terobati di Forum Reboan itu.
Jum’at minggu kedua adalah “hari raya” Jamaah Maiyah di Jakarta. Hari di mana Kenduri Cinta dilaksanakan. Bagi kami teman-teman Penggiat Kenduri Cinta, hari itu adalah hari pelayanan. Kami semua yang memiliki beragam aktivitas dalam keseharian masing-masing, untuk hari itu disedekahkan untuk melayani Jamaah Maiyah di Jakarta dan sekitarnya.
Ada yang bertugas memasang Baliho, ada yang bertugas berkoordinasi pemasangan tenda dan sound system, kebagian menggelar karpet, hingga penyusunan rundown dan penentuan siapa-siapa yang bertugas di panggung Kenduri Cinta. Begitulah rutinitas kami setiap bulannya menjelang Kenduri Cinta. Kami melewatinya bersama, bergembira dan berbahagia bersama di Kenduri Cinta.
Maka, saya pun merasa sangat rugi apabila saya tidak terlibat dalam suasana kebahagiaan seperti mereka. Dan sepertinya memang inilah yang sudah digariskan oleh Allah untuk saya. Justru ketika saya memutuskan untuk kembali ke kampung, aktivitas saya untuk terlibat di Maiyah justru semakin padat. Tahun ini bahkan dua kali saya ke PadhangmBulan, tiga kali ke Mocopat Syafaat, sekali ke Bangbang Wetan dan sekali ke Gambang Syafaat. Perjalanan Maiyahan yang sepertinya tidak mungkin bisa saya lakukan apabila saya masih menetap di Jakarta. Adakah hal tersebut tidak saya syukuri?
Mungkin akan terasa aneh. Komitmen macam apa yang bisa mengikat Orang-orang Maiyah sehingga bisa semilitan itu. Saya melihat ada banyak sekali Orang Maiyah yang bahkan mengikuti jadwal Maiyahan baik yang rutin maupun yang bersifat event “Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng”. Saya melihat ada orang-orang yang selalu mengikuti secara langsung. Tentu saja banyak orang berpikir, apakah mereka itu tidak punya pekerjaan? Kok bisa bepergian kemana-mana, Maiyahan di berbagai kota ia datangi? Bagaimana ia membiayai perjalanannya itu? Apalagi tidak terlihat tampang mereka itu tampang orang kaya yang memiliki banyak uang. Kalaupun ternyata mereka itu orang kaya, rasa-rasanya juga sangat aneh. Ngapain mereka ikut keliling Maiyahan, lebih baik seperti orang-orang modern lainnya, mengelola uangnya untuk usaha dan bisnis, menyibukkan diri agar semakin banyak uang yang ia miliki. Absurd memang.
Kembali ke Kenduri Cinta. Saya merasakan bagaimana komitmen itu terbangun secara bertahap. Setiap orang yang bergabung di Forum Reboan menikmati prosesnya masing-masing. Tidak sedikit yang harus “tidak lulus” karena merasa tidak “nyetel” dengan frekuensi Reboan. Bagaimana komitmen satu sama lain di Forum Reboan Kenduri Cinta terbangun secara alami, semua berkomitmen bersama tanpa harus ada perjanjian hitam di atas putih, tanpa ada sumpah jabatan, tanpa ada ikrar, tanpa ada baiat.
Komitmen atas dasar nilai kemurnian untuk belajar. Tak ada pamrih sedikit pun yang mereka harapkan. Memangnya mau berharap apa dari Kenduri Cinta? Forum swadaya, tanpa sponsor, tanpa ikatan politik dengan partai apapun. Tanpa afilisai dengan NGO manapun. Tidak ada celah bagi Kenduri Cinta untuk menikmati proyek atau dana pemerintah Jakarta maupun Indonesia. Apa yang mereka cari?
Pada hakikatnya, mungkin mereka juga tidak memiliki jawaban pasti atas pertanyaan itu. Jika mereka ditanya, apa yang mereka cari, mungkin mereka juga tidak memiliki jawaban yang pasti, atau mungkin juga setiap mereka memiliki jawaban yang berbeda-beda satu sama lain diantara mereka. Tetapi, ini jelas anomali. Di tengah kehidupan Jakarta yang penuh persaingan, saling sikut dan saling jegal di berbagai tempat, berkompetisi agar mendapatkan uang sebanyak mungkin, tetapi mereka mengambil jarak dari itu semua. Belajar tentang keseimbangan hidup di Kenduri Cinta.
Apakah mereka ini pengangguran? Jangan salah. Penggiat Kenduri Cinta bahkan ada yang menjadi seorang Senior Manager di sebuah perusahaan besar multinasional. Ada yang berposisi sebagai General Manager di sebuah perusahaan Provider Telekomunikasi terkenal di Jakarta. Ada yang bekerja di Departemen Pajak, ada yang menjadi guru, pegawai hotel, berdagang di pasar, ada yang menjadi penjahit baju, pegawai hotel dan juga driver ojek online.
Mungkin inilah yang disebut oleh Cak Nun sebagai “Tali-tali Cahaya” itu. Bisa jadi yang mengkat mereka berupa Tali Cahaya Spiritual, Tali Cahaya Tajalli Tuhan, Tali Cahaya Hidayah, Tali Cahaya Ridla, Tali Cahaya Isyiq, atau hanya sebatas Tali Cahaya Cinta, sehingga salah satu yang diperjuangkan di Maiyah adalah memperbanyak stok Al Mutahabbiina Fillah.
Bandung, 12 November 2017