CakNun.com

‘Kata’ Bisa Menyihir

Firsa Enthovin
Waktu baca ± 3 menit

Rasan-rasan alias merumpi di kalangan kita sudah menjadi kebiasaan yang ‘enak’ sebagai ‘menu utama’ atau sekedar selingan ngobrol setiap hari. Tidak hanya ibu rumah tangga yang merumpi di saat arisan atau belanja sayur. Tapi saat ngopi bareng pun membicarakan ini dan itu. Kadang membicarakan tetangga, saudara, teman, dan siapa saja dari kalangan petani sampai pejabat tinggi, bebas tanpa batas. Dengan pembicaraan dan dengan entah apa sarananya. Atau merumpi dengan jari-jari mengetik di layar handphone, kita semua juga bisa ngobrol ngalor–ngidul dan bebas mengetik kata.

Dengan berkata-kata kita bisa memengaruhi orang yang ada di depan kita.  Entah akan berakibat senang atau susah, kita tak akan tahu, tapi bisa dirasakan. Kadang tanpa sadar kita sudah melontarkan kata begitu saja. Dari sambungan kata menjadi kalimat. Saat kita menerima berita entah itu penting atau tidak, dan itu memengaruhi pikiran dan tindakan kita. Harus bisa diukur apakah kita pantas dan perlu ikut terlibat dalam suatu pemberitaan. Tapi kenyataannya telah menyeret kita terpengaruh dan kadang terjerembab ke dalam kubangan yang sungguh tidak kita kenal. Kita terbawa memasuki cakrawala yang asing dan tidak diketahui asal usulnya. Kita hanya tolah-toleh kanan kiri yang tidak tahu arah, dan akhirnya hanya terdiam karena tidak banyak tahu harus bagaimana.

Berkembangnya zaman yang begitu cepat membawa kita terseret pada pergeseran-pergeseran budaya dalam bertata krama, bersilaturahmi antara sesama usia, antara muda dan tua juga sebaliknya. Panggilan saja sudah bergeser dan mungkin berkurang orang muda memanggil yang tua dengan ‘sampean’ atau ‘panjenengan’. Atau orang-orang tua menyebut anaknya  dengan sebutan ‘nak’ atau simbah kepada cucunya dengan kata ‘ngger’. Meski itu sebuah sebutan dan mungkin hanya satu kata terlontar, akan tersirat makna dalam rasa bagi yang menerimanya. Yaitu rasa kasih sayang antara mereka yang bersinggungan.

Ternyata kita punya masalah besar dan serius dengan kata. Ternyata perhubungan sosial dan interaksi kebudayaan kita justru terancam jadi merapuh atau minimal menjadi tidak pernah matang nilanya, justru oleh alat utamanya. Kata adalah salah satu instrumen andalan untuk menyelenggarakan bebrayan dan membangun silaturahmi. Dan terbukti kata itu pulalah yang potensinya sangat tingi untuk merusaknya. Daur 14 – Perang Terhadap Kata

Kata menjadi sarana komunikasi kita dengan sesama, kita dengan alam semesta, dan dengan sang pencipta yang mewujud dalam doa. Entah dengan bahasa apa saja tidak penting. Yang terpenting apa yang disampaikan bisa dimengerti yang menyampaikan, dan yang menerima juga paham akan maksud yang disampaikan. Tapi karena pikiran yang masih belum mampu untuk menerima keterbukaan, yang kita tahu hanya dengan kata atau doa yang pernah kita terima dari ajaran orangtua, guru, atau ustadz. Dan itu saja cara yang kita gunakan karena tahunya itu dan tidak mau menggunakan cara lain atau dengan bahasa lain. Dan kalau ada yang menggunakan bahasa serta cara lain yang tidak sama dengan cara kita, semuanya dianggap salah. Padahal berdoa dan berbicara atau berkomunikasi tidak sebatas dengan kata. Karena dengan tanpa berkata kita juga bisa berkomunikasi.

Kupanggil engkau dengan “engkau” karena yang kupanggil bukan sekedar seseorang, bukan sekedar orang di antara orang-orang, bukan sekedar warga dari suatu negara dan bagian dari masyarakat atau institusi atau golongan. “Engkau” yang kupanggil adalah engkau yang di dalam, yang lebih pribadi, yang mungkin agak kau bungkus dengan selubung rahasia. Daur 14 – Perang Terhadap Kata

Di zaman media sosial sekarang, kita bisa melihat orang pegang handphone dengan ekspresi wajah lucu. Kadang tersenyum dan tertawa sendiri, bisa juga berkerut keningnya, dan bisa juga wajahnya memerah karena emosinya memuncak. Bisa saja ini karena melihat media sosial yang dalam hitungan detik membawa kita terbang ke cakrawala antah brantah, hingga lupa kalau kaki kita masih menginjak bumi Allah. Bisa ribuan bahkan jutaan kata bernada kebencian, cinta, dan kasih sayang berseliweran di kepala kita setiap hari.

Orang bisa kaya hanya dengan kata. Bisa miskin karena kata. Dan bisa sembuh dari sakit dan sehat juga karena kata. Kata bisa menjadi sihir yang ampuh untuk menjadi senjata yang bisa menghidupkan atau mematikan. Kata motivasi bisa membangkitkan semangat. Atau sebaliknya, orang saling bermusuhan bisa perang kata di media sosial atau beradu mulut langsung, semua dengan kata.

Saling menyebarkan pengaruh di media sosial, menyebarkan kabar baik untuk dirinya sendiri, dan menyerang dengan kata untuk melawan musuh. Perang yang nyata sekarang adalah perang dengan kata-kata. Tidak butuh mortir, rudal, atau bahkan tenung dan santet. Kata menjadi sihir paling ampuh di zaman digital ini. Memanfaatkannya tidak butuh dana banyak dan tidak butuh cara yang rumit.

Pilihan kata akan sangat berpengaruh pada diri kita. Akan mendekatkan  atau menjauhkan kita dengan lawan bicara atau siapa saja yang akan menerima kata yang kita lontarkan. Rasa ingin tahu atau rasa ingin memberitahu untuk banyak hal akan mencerminkan nilai diri kita dalam bebrayan.  Berurusan dengan kata berarti secara langsung berhubungan dengan sastra, dan sastra selalu mengajari manusia untuk mengerti keterbatasan dan selalu mengajari tentang kelembutan.

Lainnya

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i bukan menghakimi, pluralisme bukan pluralitasnya. Meng-Hakim-i maksudnya di sini adalah menempatkan kesadaran Al-Hakim kepada objek yang sedang kita bedah bersama.

Muhammad Zuriat Fadil
M.Z. Fadil
Mengasuh Desa, Membasuh Indonesia

Mengasuh Desa, Membasuh Indonesia

Tahun 2010 silam saya mantap terbang ke Jakarta. Pergi ke Ibukota untuk sebuah cita-cita yang tinggi dan mulia.

Muhammadona Setiawan
Muhammadona S.