Jumlah Pasir di Sahara
Bagi yang memilih aksentuasi “bil-hikmah” saja atau rangkaiannya dengan “wal mau’idhotil hasanah”, tentu terdapat lautan yang sangat dalam, dengan lubuk-lubuk ilmu di sana sini tanpa batas.
“Hikmah” itu sendiri sebuah buku besar. “Mau’idhoh” adalah keperluan peradaban yang bisa menghasilkan seribu disertasi Doktor. Apalagi dengan jangkauan sekaligus batas “hasanah”, tentunya bisa melahirkan banyak Alim Ulama yang jangkauan ilmu, cakrawala pengetahuan dan semesta kearifannya jauh lebih luas dibanding Fiqh dan lebih tinggi dibanding Ushulul-Fiqh.
Belum lagi “jadilhum”. Terlebih lagi luasnya probabilitas “billati hiya ahsan” dalam beribu macam pola dialektika sosial dan kebudayaan manusia yang berbagai-bagai dan penuh warna-warni di hamparan bumi. Di suatu larut malam, mereka yang kebetulan berkumpul di Patangpuluhan mendengarkan Markesot berbicara sangat pelan-pelan dan lirih:
“Apakah di muka bumi ada manusia yang di dalam dadanya terdapat batu besar, yang menggumpal memenuhi hatinya dan menyumpal kesadarannya sehingga sesak jiwanya. Yakni batu besar yang berupa rasa pintar, sikap mantap bahwa dirinya adalah makhluk yang bukan hanya pandai, tetapi bahkan lebih pandai dari orang-orang lain. Padahal ia tidak akan pernah mengetahui satu huruf di Al-Qur`an terdiri dari berapa trilyun titik. Jangankan lagi mengenali nama trilyunan titik itu satu demi satu. Di antara makhluk-makhluk dungu yang dicampakkan ke bumi untuk menjalani ujian, ada yang menyangka mengerti Al-Qur`an, bahkan ada merasa menguasainya. Aku ini sudah sangat tua. Aku sudah berkelana menghitung jumlah pasir di sahara dan jumlah butir air di samudera, tetapi aku lumpuh di hadapan lanafidzal bahru, aku tenggelam di walau ji`na bimistlihi madada...”. [1] (Al-Kahfi: 109).