CakNun.com

Jawaban Perdikan

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit

Sahabat-sahabat sekaligus Sedulur-sedulur saya (sejak lebih 40 tahun silam) ini berhimpun di “Perdikan-Teater” karena masing-masing mereka sudah menjawab dirinya, dan berupaya untuk bersama-sama menjawab zamannya. Dan “Mencari Buah Simalakama” yang terbit dari dalam Gua Perenungan Simon HT yang mereka pentaskan ini, ternyata merupakan jawaban yang melampaui zamannya.

Yang saya maksud “menjawab dirinya masing-masing” adalah di usia 50-60 tahun-an ke atas, mereka diberkahi Allah menjadi pemantul “Al-Hakim”: Allah Yang Maha Presisi. Maha Mata Pandang dengan kelembutan yang paling jernih, titis, lantip, dan waskitho. Bahasa popular menyebutnya: menemukan hikmah. Para warga Perdikan Teater adalah manusia-manusia yang bersatu-gelombang karena mereka sudah tiba pada puncak hikmah di dalam jiwa mereka masing-masing.

Mereka menatap keluar jendela jiwa mereka, mereka melihat dunia semakin buram, semakin berkabut, dan ummat manusia berlarian kesana kemari, kehilangan arah dan bertabrakan satu sama lain. Maka mereka mengirimkan “Mencari Buah Simalakama” ini dari ruangan terang benderang di balik jendela zaman. Berabad-abad ummat manusia, bangsa, masyarakat, warga negara, rakyat, mencari dirinya sendiri di jalanan sangkan paran: mereka dijepit oleh dilema buah simalakama: Perdikan-Teater menawarkan kepada ummat manusia di zamannya untuk justru mencari buah simalakama.

Bagi kaum Sepuh Perdikan-Teater ini tidak ada manusia, masyarakat, rakyat, Negara dengan Pemerintahannya dikotak dikurung ditindih dijepit oleh Buah Simalakama. Yang ada adalah seluruh fakta dan kemungkinan Buah Simalakama berhimpun di dalam diri manusia, dan manusia itu mengkhalifahi solusi-solusinya dalam panduan Maha Sangkan Paran. 40 tahun lebih mereka terperdaya oleh anggapan yang berasal dari lingkungan masyarakatnya serta Sekolahan-sekolahan: bahwa Negara adalah segala-galanya, Kesenian adalah kemewahan, Kebudayaan adalah Al-‘Alamin, Bumi adalah kampung halaman. Hari ini para Sepuh Perdikan-Teater tersenyum lebar, sedikit geli dan menertawakan itu semua.

Menertawakan terutama dirinya sendiri. Setengah abad mereka cemas, panik, gelisah, merasa mempertahankan kebenaran, bersumpah mati untuk segala sesuatu yang tak berkuasa atas mati. Berpentas, berdiskusi, berseminar, pemilihan umum, menerbitkan buku-buku, menyelenggarakan “Polemik Kebudayaan”, “Teater Medium atau Teater Ansich?”, “Humanisme Universal ataukah Sosialisme Kontekstual?”, memecah kebersamaan menjadi kubu-kubu. Semua itu karena bareng-bareng merasa cemas hidup ini berbatas kematian. Waktu selalu tinggal sedikit, maka keyakinan masing-masing atas kebenaran harus ditegakkan, dipentaskan, diwujudkan. Dari panggung Estetika, Buku, hingga Negara.

Berpuluh-puluh tahun manusia berlaku seakan-akan dirinya dan kehidupan adalah ciptaannya sendiri, sehingga ia yakin berhak menentukan prinsip-prinsipnya, tatanan nilainya, arah tujuannya, desain perwujudannya, dari sistem ber-Negara hingga aturan pentas teater di panggung. Kemudian mereka berhimpun di Perdikan-Teater karena dari pencariannya masing-masing mereka akhirnya mengerti bahwa sewaktu-waktu mereka akan mati – tetapi yang disebut mati itu bukanlah batas atau akhir dari kehidupan. Mereka tahu bahwa mereka hidup abadi, hidup dalam dua (2) rentang keabadian, berbagi tempat di empat (4) wilayah kampung halaman asli sejati yang bernama Surga.

Perdikan-Teater Mencari Buah Simalakama
Perdikan-Teater “Mencari Buah Simalakama”

Di sebuah Padepokan, anak-anak dididik dengan kalimat “Berani Hidup Tak Takut Mati, Takut Mati Jangan Hidup, Takut Hidup Mati Saja”. Padahal hidupnya semua manusia adalah menjalani takut mati. Mencoba terus hidup dengan berusaha membunuh rasa takut mati. Padahal satu-satunya wilayah untuk tidak takut mati adalah tidak hidup. Perdikan-Teater tertawa karena kehidupan adalah desain simalakama. Dan mereka sudah menaklukkan fenomena itu, sehingga yang mereka pentaskan justru adalah contoh-contoh kecil dan lokal dari hakikat “Mencari Buah Simalakama”.

Mereka kini sudah berbaris, berhimpun, dan bersimpuh di depan gerbang Rumah Agung Sang Pencipta Simalakama, dan mereka sendiri tak lain adalah buah-buah simalakama. “Mencari Buah Simalakama” adalah tawaran jawaban bagi ummat manusia penghuni zamannya, agar mereka mencari dan menemukan diri mereka sendiri yang sejati. Sedangkan Perdikan-Teater sendiri sudah berada di putaran terakhir menuju garis finish di mana Bendera Maha Simalakama akan dikibaskan.

Pementasan “Mencari Buah Simalakama” ini bukanlah “pentas teater” sebagaimana yang puluhan tahun sebelumnya pernah dan selalu mereka lakukan. Tidak dengan gagasan, alam pikiran, dan skala filosofi yang seperti dulu. Orang-orang Sepuh ini bukan lagi penghuni Langit Satu, tempat kebodohan dan kekerdilan di mana orang bersaing dalam kalah atau menang, menyombongkan diri dalam benar atau salah, baik atau buruk, indah atau tidak indah. Para Sepuh itu dulu sudah memanjat ke jenjang Langit Dua, di mana kemenangan adalah mengalahkan diri sendiri.

Bahkan sudah memijakkan kaki di Langit Tiga, di mana yang ada hanyalah menang bersama atau kalau bersama: Mati Siji Mati Kabeh atau Mukti Siji Mukti Kabeh. Diam-diam mereka merenung di bilik sunyi masing-masing menaiki Langit Empat: kalah adalah kalau dimurkai Allah. Sejumlah Malaikat membisikkan titipan Tuhan di Langit Lima: “Tak usah menghitung-hitung Aku Pemurah atau tidak, sebab Aku pun tak menghitung hidupmu berdosa atau tidak”. Bahkan dikuakkan yang di hamparan yang lebih lebar dari keluasan Langit Enam: babak final proses Ahad, Wahid, Tauhid, Wahid, Ahad…

Teater dan pementasan adalah se-zarrah bagian sangat kecil dari keindahan pementasan agung Simalakama. Siapa saja yang berada bersama “Mencari Buah Simalakama”, pasti tidak berhenti pada sedebu zarrah itu. Ia terbang dan mengembara. ****

19 April 2017.

Lainnya

Revolusi Hulu-Hilir

Revolusi Hulu-Hilir

Mafaza lahir dan tumbuh di wilayah mataair peradaban modern dunia. Beda dengan Maiyah yang lahir di lembah tersembunyi di ujung Timur.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Fuad-Ubnu Abi Fuad

Fuad-Ubnu Abi Fuad

Kalau sejak zaman Orde Baru ada jargon “hidup sederhana”, maka Cak Fuadlah yang duduk di shaf pertama kesederhanaan hidup.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib