CakNun.com

Jalan Tengah Maiyah

Ihda Ahmad Soduwuh
Waktu baca ± 4 menit

Banyak kawan maupun kenalan bertanya padaku tentang Maiyah. Kujawab seadanya, sepemahamanku atasnya selama melakoni laku sunyi itu. Ia adalah forum di mana di dalamnya proses mengasah akal dibudayakan. Bukan satu arah sebagaimana sekolahan, melainkan dilengkapi tanya jawab yang seringkali menjadi ajang curhat colongan alias curcol juga. Semua kegundahan ditampung, mulai dari galau belum bisa move on sampai dicurangi negara pun sah saja diungkapkan.

Tidak ada batasan dalam acara diskusi tersebut selain individu yang hadir. Maka tak akan dijumpai pembatas antara jamah pria dan wanita sebab yang hadir adalah sesama manusia. Perbedaan kelamin harus bisa dinetralkan yang bersangkutan dengan kecintaan pada Gusti Allah dan Kanjeng Nabi. Percaya atau tidak, segitiga cinta tersebut mampu meredam berbagai potensi konflik yang umumnya hadir di sebuah kegiatan begadang sampai pagi.

Jarang dijumpai ada yang kehilangan barang bawaan padahal jika dilihat berserakan sekali di kanan-kiri tempat duduk. Copet pun enggan hadir, bahkan menilik sejarah Maiyahan yang sudah puluhan tahun itu selalu dihadiri mata-mata Orde Baru. Kisah lucunya adalah justru Maiyahan dijadikan pengajiannya intel dan mata elang. Selain karena banyaknya informasi penting sering bertebaran juga mendapat tugas dari atasan untuk mengawasi pergerakan yang susah didefinisikan ini.

Puluhan tahun mengkritik penguasa, oleh mereka dibiarkan saja. Padahal umpatan dalam nuansa guyon selalu dihadirkan untuk setidaknya memicu ketidaksetujuan jamaah pada praktek culas yang dilakukan negara. Sebuah anomali jika melihat cara komunikasi dalam Maiyahan yang sangat jujur dalam memberikan penilaian. Siapapun berhak diingatkan, termasuk para pembicara itu sendiri.

Awal menapaki Maiyah, akupun merasa seolah jamaah mengkultuskan Emha Ainun Nadjib atau yang akrab disapa Cak Nun, dan aku memuliakan beliau dengan sebutan Mbah Nun. Tapi lambat laun aku menemukan bahwa beliau sendiri risih dengan anggapan tersebut. Dalam banyak fitnah yang ditujukan kepadanya, beliau justru “merendahkan” diri, tak lagi sebatas hati, melalui tulisan-tulisan di caknun.com agar pengumpatnya dipersilakan melemparkan fitnahan kepadanya sekalipun asal bukan Islam yang dihina. Baru kali itu aku merasakan tsunami cinta yang sedemikian dahsyat untuk persatuan dan kesatuan ummat Islam.

Beliau mengatakan bahwa telah memaafkan siapapun bahkan sebelum mereka menyakitinya. Sebuah teladan juga seperti saat Imam Hambali diburu penguasa untuk dibantai sebab pendapatnya. Inilah akhlak yang selama ini kucari di sosok yang terkenal, sebab aku yakin banyak yang seindah itu jauh dari sorot kamera. Terlebih saat mengkaji Kitab Hikam pada Mbah Yai Imron Djamil, kudapati salah satu ciri guru yang layak diikuti adalah yang tak peduli ketenaran dunia. Jika pun ada yang menuduh teknik Mbah Nun adalah ‘mengencingi sumur zam-zam’, tak akan klop jika melihat laku hidup beliau puluhan tahun ke belakang.

Maka aku jujur, kesombonganku selama ini adalah enggan mencium tangan siapapun kecuali ayah, ibu, dan mbah-mbahku. Mbah Nun adalah orang pertama di luar garis nasab yang kucium tangannya dengan penuh penghormatan. Bukan mengharap berkah sebagaimana umumnya orang, tetapi memohon maaf atas prasangka buruk yang pernah kulamunkan bertahun silam sebelum rajin Maiyahan. Kini, kerinduan saat lama tak bersua beliau sangat terasa di dada, sanggup meneteskan air mata. Tak kusangka akan kucecap, yang tadinya kukira perasaan melankolis semacam itu hanya bisa dirasakan kekasih saja.

Maiyahan sendiri bisa kukatakan adalah satu-satunya acara rutin bulanan yang setia dan istiqomah pada diskusi-diskusi keilmuan. Setidaknya setahuku saja yang bebas dihadiri orang umum dengan publikasi yang memadai. Jika aku ditanya akan ke mana, untuk menjawab Maiyahan pun bingung jadinya. Kujawab pengajian, kok ada misuhnya. Kubilang seminar kok banyak kelakarnya. Kukatakan konser musik, kok ada dzikir dan shalawatnya. Maka dengan mantap aku berujar, ‘aku mau begadang!’.

Sebuah keunikan tersendiri menghidupkan sepertiga malam terakhir dengan berpikir. Bahkan konon ada pepatah yang menyebut berpikirnya manusia sejam mengalahkan puluhan tahun ibadah. Semangat itulah yang membuatku berangkat sembari menenteng dua kotak kopi Nescafe. Semata menjaga mata tetap terbuka saat embun-embun mulai memenuhi sela-sela manusia. Aku yang bukan perokok pun menyabarkan serta mengikhlaskan hati diselimuti asap hingga pulang-pulang harus mencuci kostum yang dipakai dengan perlakuan khusus. ‘Niatku baik berangkat Maiyahan, masa Gusti Allah beri saya keburukan, kan gak mungkin’, begitu hibur saya.

Bertahun-tahun rutin menyimak lewat jalur gaib modern alias streaming disertai live-tweet membuatku harus pandai mengatur siklus tubuh. Sebab jika tidak demikian, jeroan tubuhku bisa hancur karena racun tak terproses dari jam 9 malam sampai 1 dini hari, yang biasanya disaring saat tidur. Memang begitu berat laku yang sering Kanjeng Nabi lakukan itu. Kan tidak mungkin beliau rajin ke Gua Hira hanya untuk tidur. Jika Nabi Ibrahim mempertanyakan tradisi keilmuan Babilon seorang diri, Maiyah memperkirakan posisi dirinya di samudera antah berantah dewasa ini.

Pun ibarat sebuah pohon, Maiyah tersusun dari berbagai macam jenis manusia. Ada yang mengambil peran sebagai daun, ranting, batang, kulit pohon, buah, sampai akar. Ketepatan masing-masing merespons apapun yang menerpa pohon pun sering terlihat. Pun nuansa saling mengingatkan seperti ‘ngaku orang Maiyah kok ngamukan’ atau ‘Maiyah kok memihak’ umum terdengar ketika salah satu yang rajin Maiyahan berlaku kaku. Pedoman luwes begitu terasa, meniru jejak idola Maiyah, Kanjeng Nabi Muhammad saw, yang bisa empan papan dan adepan. Pandai beradaptasi pada momentum.

Jadi, Maiyah adalah jalan yang secuil itu. Dari berbagai jalan menempuh laku sunnah, Maiyah mengambil jalan tengah. Tidak terlalu kaku, maupun terlalu menggampangkan. Daripada njlimet dengan berbagai teori dan hafalan, Maiyah mengajarkan melakoni perbuatan yang paling gampang dilakukan. Pun tanpa memaksakan serta mengadakan pembelaan tanpa membabibuta. Semua didudukkan sama, demi menghindari menghakimi tanpa terlebih dahulu mengklarifikasi.

Lantaran yang paling ditakuti Jamaah Maiyah hanyalah kemurkaan Gusti Allah. Imbasnya, merasakan kehadiran-Nya di tiap kejadian yang dijumpai. Dapat musibah harus cari cara berucap ‘alhamdulillah’, sebab apapun pemberian-Nya adalah rezeki tak terkira. Cinta pada-Nya dan Kanjeng Nabi menjadi pendorong memilah lantas memilih jalan terbijak melakukan sesuatu di kehidupan. Karena kebenaran pun ada berlapis-lapis dan ketepatan menyampaikannya pun butuh kepekaan akan momentum.

Lainnya

“M” FRUSTRASI Setengah Abad Kemudian

“M” FRUSTRASI
Setengah Abad Kemudian

Ternyata judul “M Frustrasi” diam-diam merupakan ramalan atas nasib saya sendiri. Hari-hari sekarang ini adalah puncak frustrasi yang saya alami di senjahari usia 69 tahun saya.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib