CakNun.com

Jalan Paling Praktis Itu Bernama Hidayah Allah

Sebuah variasi, untuk Waro’ Kaprawiran (Bagian 1)
Prayogi R. Saputra
Waktu baca ± 3 menit

Jangkung lahir dan tumbuh menjadi remaja di Tjigrok, sebuah desa pertanian, peternakan dan pedagang bunga kenanga di sisi barat bengawan Madiun. Di halaman rumahnya, berdiri musholla kecil yang bertahun-tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun, senantiasa sepi pengunjung. Musholla itu milik tetangganya, namun persis berdiri pada garis batas pagar halaman rumahnya. Kurang dari 50 depa ke arah timur dari musholla pertama, ada musholla kedua yang juga tak kalah sepi. Kedua musholla itu sebenarnya dimiliki oleh kakak beradik. Hubungan mereka kurang baik karena masalah harta warisan, jadilah hubungan retak itu sampai ke masalah “aliran Islam”.

Rumah tinggal Jangkung juga hanya berjarak 200 depa dari sumur PKI 48. Salah satu sumur lokasi pembantaian para Kiai, santri, dan perangkat pemerintahan oleh FDR/PKI pada tahun 1948. Di dasar sumur itu ditemukan 22 rangka jenazah. Termasuk satu jenazah seorang guru dari Mesir yang sedang menunaikan tugas mengajar di Pesantren Takeran (pada masa kepemimpinan Kiai Imam Mursyid Muttaqin, di masa pendudukan Jepang, pesantren ini diberi nama Pesantren Sabilil Muttaqien).

Rupanya, musholla yang senantiasa kesepian dan sumur PKI 48 adalah dua penanda yang bisa memberi petunjuk untuk membaca karakter orang-orang Tjigrok. Di Tjigrok, jika bulan ramadhan tiba, tak ada suasana orang sedang berpuasa. Di malam takbiran, anak-anak muda akan berkumpul di pertigaan atau perempatan jalan, duduk melingkar, bukan untuk menggemakan takbir, tetapi untuk menenggak minuman sebagai pesta perayaan. Jika pagi Idul Fitri, rumah-rumah sepi. Tidak ada orang lalu lalang ke tetangga untuk bersilaturahmi. Sebab, pada hari besar itu, orang-orang Tjigrok sedang berada di pasar. Lebaran adalah panen raya bagi pedagang bunga kenanga.

Dua kilometer garis lurus dari Tjigrok ke arah utara, berdirilah sebuah Pesantren tua, Pesantren Takeran. Didirikan oleh Kiai Hasan Ulama, putra Kiai Kholifah yang merupakan salah satu prajurit Perang Jawa yang menjadi bagian dari rombongan pelarian ke timur Gunung Lawu pasca ditangkapnya Pangeran Diponegoro. Orang-orang Takeran menyebut Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) dengan sebutan “Ndalem” yang bermakna semacam rumah yang agung di mana segala salam penghormatan diberikan kepadanya. Juga bermakna sebagai semacam tempat pulang.

Bagi kaum yang ber-Islam, Ndalem menjadi pusat gravitasi hati dan orientasi penghormatan. Bagi kaum muda dan remaja, Ndalem adalah simbol kebanggaan dan kependekaran atau keperwiraan. Sebab, salah satu ekstrakurikuler santri PSM adalah pencak silat. Di mana, hampir seluruh remaja dan pemuda Takeran dan sekitarnya pernah berlatih dan diwisuda menjadi keluarga (warga/pendekar).

Salah satu ajaran dari Pencak Silat ini, atau sesungguhnya ajaran dari PSM adalah tujuannya, yaitu: mendidik manusia berbudi luhur, tahu benar dan salah. Bukankah ini salah satu doa setiap orang Islam dalam munajatnya? Juga bermakna seperti halnya doa dalam surat Al Fatihah: “(Yaa Allah) Tunjukilah kami jalan yang lurus”.

Jangkung merasa kesepian di Tjigrok. Hati dan pikirannya tidak berada pada satu gelombang dengan hati dan pikiran teman-teman sebayanya dan orang-orang Tjigrok secara umum. Dia menyadari ada yang kurang pada dirinya dan pada Tjigrok, tapi entah apa. Maka, dia juga mengimajinasikan bahwa Ndalem adalah salah satu titik fokus hidupnya, rumah hatinya.

Kelak, Jangkung akan tahu bahwa dia sedang mengalami periode pencarian untuk menemukan koordinatnya dalam kehidupan, seperti juga dialami Ibrahim muda ribuan tahun sebelumnya. Jangkung mengenal Tuhan dan ajaran dasar Islam sebagai literasi, bukan sebagai pengalaman. Tuhan dan ajaran Islam letaknya di otak sebagai pengetahuan, tidak bersemayam di dalam kalbu sebagai generator pembangkit kesadaran dalam kehidupan. Dan pengenalannya atas Tuhan juga hanya sedalam buku pelajaran SD dan SMP: Tuhan yang melarang, Tuhan yang memerintahkan. Tuhan yang menghukum dan Tuhan yang memberi ganjaran.

Kelak juga, Jangkung menemukan kegelisahan serupa terjadi pada Tjokroaminoto muda yang lahir dan tumbuh dewasa di Bakur, sembilan kilometer jarak pandang ke arah utara dari Ndalem Takeran. Tjokro yang keluar dari kenyamanan dan proyeksi karir menjanjikan sebagai pegawai negeri Hindia-Belanda dan memilih bekerja sebagai kuli di Semarang. Tjokro “De Ongekroonde Koning van Java” yang ketiga kadernya pernah menjadi Presiden di Nusantara.

Di sepanjang eks karesidenan Madiun, Jangkung juga menemukan segitiga Tegalsari (Gontor)-Termas–Takeran. Sebuah komposisi penyebaran Islam masa lalu yang mewakili tiga pendekatan berbeda. Dan Tjigrok tetap berada di luar komposisi segitiga itu. Bahkan, Tjigrok masa lalu -mungkin juga masih ada sisa-sisa karakternya pada masa kini- mengambil garis Musso, salah satu “murid” Tjokro yang juga pernah menjadi Presiden Republik Soviet Indonesia di Madiun.

Ormas Islam tidak pernah ada yang membawakan risalah Tuhan ke Tjigrok. Terakhir kali ada acara pengajian di Tjigrok adalah 20 tahun lalu. Itu sebuah kekurangan sekaligus sebuah kelebihan. Karena dengan demikian, Tjigrok bebas dari konflik aliran dalam Islam dan memiliki peluang menerima Tuhan dan Islam dalam wujud yang belum pernah dirumuskan oleh berbagai aliran dalam Islam.

Tjigrok sejatinya bukan hanya nama sebuah pedukuhan. Namun bisa jadi, Tjigrok adalah sebuah miniatur dari Indonesia. Atau sebuah representasi atas daerah-daerah yang lain. Anda tinggal mengganti nama Tjigrok dengan nama apa pun saja. Dan Anda akan menemukan gejala yang sama. Maka, “Jalan Yang Paling Praktis adalah Hidayah Allah” adalah pilihan terbaik Orang-Orang Tjigrok. Dan Shohibu Baiti adalah kunci pembuka pintu gerbang Tjigrok yang sempurna.

(Bersambung ke bagian 2, Segitiga Tegalsari-Termas-Takeran)

* “Jalan Yang Paling Praktis Adalah Hidayah Allah” salah satu kalimat Cak Nun dalam Ngaji  Bareng Cak Nun di Lapangan Gulun Madiun, 30 Desember 2016 sekaligus judul reportase caknun.com

** Shohibu Baiti menjadi pembuka Maiyahan di lapangan Tenggulun di malam yang sama.

Prayogi R. Saputra
Jamaah Maiyah, Penulis Buku Spiritual Journey Emha. Sedang terdampar mengais pengetahuan pada program Doktor di Universitas Islam Internasional Sultan Abdul Halim Muadzam Shah, Malaysia.
Bagikan:

Lainnya

Topik