Jagat Raya Kalbu Kanjeng Nabi
“Jadi maksudmu kita Markesot dan masyarakatnya ini penduduk Mekah?”, Tarmihim mengejar.
“Niat hijrahnya begitu”, jawab Pakde Brakodin, “meskipun mungkin kita belum benar-benar masuk teritorial Mekah. Kita baru amping-amping di luar garis perbatasannya. Tapi hati dan pikiran kita kan sudah mengarah masuk Mekah dan mendekat ke arah Ka’bah”
“Andaikan sekarang masih ada Kanjeng Nabi Muhammad kira-kira kita akan diterima atau tidak ya?”, Pakde Sundusin nyeletuk.
“Pasti”, jawab Brakodin, “di alam semesta ini dan di sepanjang sejarah ummat manusia, tidak ada ruang penerimaan seluas jagat raya kalbunya Kanjeng Nabi”
“Kok kamu tahu?”, Tarmihim menggoda.
“Itu bukan pengetahuan”, jawab Brakodin, “keluasan kalbu Muhammad yang saya omongkan itu tidak cukup dikembarai dengan pengetahuan. Jadi pertanyaan ‘kok kamu tahu’ adalah pertanyaan sesempit-sempitnya pertanyaan”
“Kok ngamuk…”, Tarmihim terus usil.
“Jangankan firman-firman Allah, menggambarkan kemuliaan hidup Rasulullah saja tak cukup tinta tujuh samudera”
“Lho kan Kanjeng Nabi itu kan masterpiece-nya firman Allah. Ia puncak kualitas dari segala yang Allah ciptakan. Beliau ahsanu ahsanu ahsanu taqwim. Ahsanu-nya berjumlah tak terbatas”
“Itu karena beliau satu-satunya yang diperkenankan berjumpa dengan Baginda Jibril secara otentik dan dengan wujud asli dan nyata. “Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu dalam rupanya yang asli pada waktu yang lain”. [1] (An-Najm: 13).
“Lho apa hubungannya dengan Malaikat Jibril?”.