Jab Swing Hook Pancasila
Pancasila adalah karakter manusia. Andaikan tak ada Pemerintah (petugas pengelolaan) Indonesia, masih ada Negara (teritorial) Indonesia. Kalau tak ada Negara Indonesia, masih ada rakyat (baca: ra’iyat, kedaulatan dan kepemimpinan) Indonesia. Kalau tak ada rakyat Indonesia, masih ada bangsa Indonesia. Kalau tak ada bangsa Indonesia, masih ada manusia Indonesia. Kalau masih ada manusia, berarti tetap ada Pancasila.
Atau terserah bagaimana terminologi atau strata makna sosiologis dan antropologisnya. Saya adalah bagian dari “pernikahan” sejarah Indonesia. Ibarat keluarga “rahmah, mawaddah wa sakinah”: berkat limpahan rahmah (anugerah cinta universal) saya sangat mencintai manusia. Berkat mawaddah (pasokan cinta khusus) saya sangat mencintai manusia Indonesia. Maka tak kan pernah berhenti saya memperjuangkan sakinah (kemapanan kekeluargaan dengan) Indonesia.
Cinta kepada Indonesia bukan barang jadi. Tuhan bilang “litaskunu ilaiha”, bukan “litaskunu fiha”. Kalau “fiha”, di dalamnya, berarti mapan dan selesai. Tapi “ilaiha”: menuju dan mengupayakan terus manifestasi cinta kepada Indonesia secara dinamis. Sampai-sampai pertandingan 26 Agustus 2017 yang lalu antara petarung MMA Connor McGregor melawan petinju tak pernah kalah Floyd Mayweather, anaknya Pak Roger Mayweather yang juga petinju andal di masanya — saya jadikan wahana pembelajaran tentang manusia dan Indonesia.
Bayaran tanding 12 ronde x 3 menit Rp 1,3 Triliun untuk si Irlandia dan Mayweather hampir dua kali lipatnya, saya bayangkan dibelikan ondé-ondé, dibagi tiga. Pertama digelindingkan di seluruh jalanan Jakarta, kedua di jalan-jalan tol seluruh Indonesia, ketiga diangkut entah berapa ribu pesawat ditumpahkan di atas Singapura. Insyaallah tidak masalah bagi “The Money” Mayweather maupun McGregor meskipun beberapa tahun yang lalu ia masih seorang kuli.
Rekor tinju Mayweather 49-0, McGregor belum pernah bertinju. Tapi sebagai petarung MMA, ia “genre” baru, fenomenal ‘silat’-nya. Sewilayah, di kelas berbeda, dengan Yair Rodriguez, yang dengan mudah mengalahkan legenda BJ Penn, meskipun dijebak dan kalah oleh veteran Franky Edgar. Atau Stephen Thompson, meskipun belum bisa mengalahkan keteguhan Tyron Woodley. Mungkin juga Daniel Cormier, meskipun kecolongan oleh Jon Jones. Maka hampir semua orang sedunia, termasuk banyak tokoh olahraga sendiri, termasuk si legenda Sugar Ray Leonard dan juga si ganas dan bijak George Foreman — menjagokan McGregor.
Tapi menurut saya, sebenarnya di bawah sadar diam-diam mereka meragukan kemampuan McGregor, sehingga ketika ternyata ia mampu bermain sampai 10 ronde sebelum TKO: semua memujinya habis. Pertarungan mereka bahkan dianggap lebih bagus dibanding ketika Mayweather melawan Manny Pacquiao, anggota DPR Filipina. Tidak hanya bangsa Indonesia, seluruh penduduk bumi ternyata mudah tertawan, gampang terpesona, “gumunan”.
Pandangan saya terbalik. Saya tidak menjagokan keduanya, apalagi McGregor: karena berbagai tema dan latar belakang — tapi itu tidak penting. Melihat fakta kualitasnya, rasional kalau McGregor bisa menghabisi Mayweather 1-2 ronde. Ia pelajari tata ruangnya Mayweather, lalu lintas serangan dan pertahanannya, “ajal” (momentum) yang selama 49 kali pertandingan digunakan. McGregor menemukan sejumlah paket tipuan ruang dan waktu, “angle” dan koordinat. Ia tahu “kekuatan kalah oleh kecepatan, dan kecepatan kalah oleh momentum”. Maka jurus-jurus tipu daya bisa menjebak dan mencegat strategi lawan, dengan menciptakan berbagai kemungkinan “ajal”. Apalagi ia masih 28 tahun, sedangkan Mayweather sudah 40.
Tetapi ternyata McGregor tidak sekreatif itu. Tidak se-”kasyaf” yang saya bayangkan. Tidak cukup bisa membuka pintu “winarah”. Ia tidak membawa apapun yang baru dibanding dibanding yang dimilikinya di MMA minus tendangan, sikut dan palu. Ia bahkan tidak punya plan B. Ketika ternyata Mayweather tidak jaga jarak defensif, melainkan justru meluncur tepat ke depannya, ia kelabakan strateginya, serampangan pencarian ruang pukulnya, serta stagnan kreativitas dan variasi serangannya. Belum lagi Mayweather adalah “pelari maraton”, terbiasa dengan 12 ronde 1 jam pertarungan, sementara McGregor adalah “sprinter” yang tradisi kebanggaannya justru one round finishing, sehingga keteteran sesudah 4 ronde.
Yang susah dikalahkan dari McGregor adalah kreativitas pencitraannya, strategi pemasaran dirinya, kecerdasan teror mentalnya kepada lawan maupun kepada publik. Dan media “ditelannya”, meskipun media merasa “menelannya”, sehingga terjadi “Pertarungan Abad Ini” yang silang dan aneh. Padahal tak bisa dibandingkan dengan Ali-Frazier di Manila, atau banyak pertandingan di era Julio Caesar Chavez, atau Ray Leonard atau Roberto Duran. Sesudah wasit Robert Byrd menghentikannya TKO di ronde 10, McGregor begitu piawai mencitrakan dirinya: “Saya menyesal pertarungan dihentikan. Mestinya dia membiarkan saya terkapar di kanvas, supaya lebih legal kekalahan saya”. Padahal semua petarung tidak mau ada lembaran sejarah bergambar ia menggeletak terkapar pingsan. Ia pemain mental yang peka tikungan psikologi.
Seluruh dunia terpukau olehnya. Pertarungan silang MMA-tinju dengan aturan tinju yang merupakan peristiwa spektakuler itu bukanlah Don King, Bob Arum atau Dana White promotornya. Melainkan McGregor itu sendiri pada hakikatnya. Satu saja kekurangannya: mestinya ia berlatih di Indonesia. Di Negeri samar-samar yang mengaku ber-Pancasila ini ia bisa belajar sangat banyak tentang tipu daya dan dusta, demi strategi dan taktik bertarung.
Di sini ia bisa mempelajari jab yang ternyata hook. Hook yang sebenarnya straight. Sementara straight ternyata swing. Dan swing yang pura-pura uppercut. Atau uppercut yang berlagak bukan uppercut, tapi setelah ketahuan bukan uppercut, ternyata ia menjadi uppercut. Berikutnya apakah jab, hook, swing, straight atau uppercut, bergantung pada koalisi Parpol-parpolnya apa saja. Swing bisa menjadi jab asal lebih menguntungkan. Hook bisa mendadak jadi uppercut asal bayarannya cocok.
McGregor bahkan bisa belajar tentang footwork Pancasila yang menghasilkan pukulan anti-Pancasila. Ada swing janji, padahal maksudnya tak ditepati. Ada hook mandiri, maknanya utang. Kalau ia nonton tayangan MMA di Negeri ini, ia akan tambah pengetahuan bahwa Bahasa Indonesianya “sikut” adalah “elbow”. Bahasa Indonesianya “dengkul” adalah “knee”. McGregor akan kaget ternyata teriakan “Mammamia” asalnya dari Indonesia.
Tapi McGregor memang agak “kuper”. Alih-alih tertarik pada Indonesia: ia malah akan bertarung di Rusia melawan Khabib Magomedov. Padahal Indonesialah yang bisa mengajarinya strategi tipu daya untuk mengalahkan Mayweather. Kalau di sini ia mempelajari strategi-strategi kemunafikan yang sangat canggih, yang bangsa-bangsa lain belum sampai ke tingkat itu ilmu kemunafikannya – McGregor akan menjadi Superman. Apalagi kalau di sini ia mendapat hidayah dari Tuhan dan masuk Islam, terus mendirikan Masjid Mewah: banyak yang akan menobatkannya menjadi Khalifah Kaum Muslimin Dunia, bersaing dengan Recep Tayeb Erdogan.
Kalau McGregor ke Indonesia, ia akan mengerti bahwa dalam “permainan dunia di Indonesia”: benar tidak pasti benar. Salah bisa benar, dengan publik yakin itu benar. Air dipercaya sebagai api. Api diminum sebagai air. Buruk bisa baik. Atau sebaliknya. Bahkan ada baik yang buruk dan buruk yang baik. Ada benar yang disalahkan, ada salah yang dibenarkan. Hilirnya bisa sorga, padahal hulunya neraka. Alangkah rugi McGregor, hidup sekali di dunia, tak pernah ke Indonesia.
Pastilah juga McGregor belum pernah mendengar kata-kata Nabi Muhammad, yang bisa jadi beliau maksudkan untuk merentangkan jarak antara Indonesia dengan Pancasila: “Sesungguhnya yang halal adalah jelas dan yang haram juga jelas. Dan di antara keduanya terdapat perkara yang samar (syubhat), kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Barangsiapa menghindar dari yang samar maka dia telah menjaga agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa terjatuh dalam perkara yang samar maka dia telah terjatuh dalam perkara yang haram, seperti penggembala yang berada dekat di pagar milik orang lain dikhawatirkan dia masuk ke dalamnya”.
Sebenarnya tak perlu dikhawatirkan. Memang sengaja kok. Indonesia sangat gembira berenang-renang, surfing, jungkir balik, di Lautan Syubhat.