Iqra` bi’ainilLah
Manusia modern melihat Al-Qur`an di luar dirinya, manusia tradisi menemukan Al-Qur`an di dalam dirinya. Manusia global masa kini mencari Qur`an di luar dirinya, manusia masa silam menikmati Al-Qur`an di dalam dirinya. Manusia Barat mengeksplorasi Al-Qur`an di luar diri manusia, manusia Timur, khususnya Jawa, berdialektika dengan Qur`an di dalam dirinya.
Keduanya memiliki pencapaiannya masing-masing. Mengandung kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Juga tentu saja tidak salah mencari Al-Qur`an di luar diri manusia, yakni di alam semesta dan di lembaran-lembaran Mushaf. Akan tetapi yang lolos dari metodologi “Al-Qur`an di luar diri” adalah kebiasaan untuk meletakkan diri manusia sebagai subjek, sementara semua yang di luar dirinya adalah objek.
Al-Qur`an, kenyataan alam, Nabi, Malaikat, Jin, Setan dan Tuhan: diletakkan dan diperlakukan sebagai objek yang berjarak jauh atau dekat dengan diri manusia. Salah satu akibatnya, manusia memperlakukan semua yang “di luar dirinya” itu itu sebagai alat, perangkat, sampai kemudian menjadi komoditas.
Sebaliknya orang yang menemukan Al-Qur`an di dalam dirinya, yang merasakan bahwa Al-Qur`an adalah bagian alamiah dari dirinya, atau dirinya adalah bagian substansial dari Al-Qur`an, menjadi tidak terlalu bisa menikmati apapun yang di luar dirinya. Mereka melihat dengan mripat Allah, iqra` bi’ainillah. Mendengar dengan telinga Allah. Bekerja dengan tangan Allah. Membaca dan memperlakukan segala sesuatu bi-ismi Robbika. [1] (Al-‘Alaq: 1-3).
“Bacalah dengan nama Tuhanmu”. Kenapa dengan Ia? Karena Ia “yang menciptakan”. Ingat: menciptakan “dengan segumpal darah”. Supaya kau tahu bahwa spektrumnya adalah “Ia Yang Maha Pemurah”. Pintu untuk memasuki dan mendapatkan kemurahan-Nya adalah membaca, mengenali, dan mengeksplorasi kemurahan Allah dengan “perangkat”-Nya, bukan perangkatmu.