CakNun.com
Wedang Uwuh (17)

Industri Ilat

Kedaulatan Rakyat, 7 Februari 2017
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 2 menit

Pèncèng menyodorkan kepada saya tema yang menarik. Lebih sederhana, bersentuhan dengan kegiatan rutin sehari-hari setiap manusia, tetapi cara pandang dan analisisnya unik.

Diam-diam ia membisiki saya: “Beruk itu terlalu idealis dan dakik-dakik, Mbah. Orang zaman sekarang pikirannya praktis, seleranya tidak mendalam, sumbu logikanya pendek, sebenarnya era sekarang ini masyarakat balik ke budaya komik. Alam seleranya lebih ke gambar, foto, selfie, video. Mereka kembali ke era budaya nonton, bukan budaya baca. Yaaa membaca juga sih, tapi sekilas-sekilas saja. Kalau copas-copas, yang diutamakan sensasi judulnya. Malas kalau mendalami dengan kesabaran membaca dan ketekunan berpikir.…”

“Lha yang kau omongkan ini juga dakik-dakik, Cèng”, kata saya.

“Saya kan justru menawarkan yang sehari-hari, Mbah. Yang ringan dan sederhana. Bukan yang muluk-muluk: Sang Hyang Widhi, AlKhobir, tan kinoyo ngopo tan keno kiniro, laisa kamitslihi syaiun, Kiai Gringsing.…mana mau orang mengurusi. Kurang gaul”

“Itu kan juga sehari-hari, Cèng….”, saya membantah, “tiap saat, tanpa jeda, setiap orang berurusan dan bekerja sama dengan Sang Hyang itu. Bangun tidur ketemu matahari terbit. Mosok matahari terbit sendiri tanpa ada yang menerbitkan. Pagi-pagi mulut bau, berkumur, sikat gigi, karena ada pekerja-pekerja di dalam metabolisme tubuh kita yang mengurusi prosedur mengalirnya darah, membusuknya bakteri, mendistribusikan kalori protein karbohidrat, yang setiap manusia tidak mampu mengerjakannya sendiri. Ada Maha Pekerja dengan pegawai-pegawai-Nya. Kita menyebut-Nya Tuhan, atau Allah, Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Tunggal, Manitou, Yehova, Gusti…. Beliau menginformasikan bahwa Beliau sangat dekat pada setiap orang, bahkan lebih dekat dibanding urat lehernya sendiri”

Hahaha. Ternyata saya juga dakik-dakik. Sebelum Pèncèng mengkritik, saya cepat-cepat bertanya: “Lha kamu mau membuka tema apa tho, Cèng?”

“Industri Ilat, Mbah”, Pèncèng menjawab.

“Ilat? Lidah maksudmu?”

“Ya Mbah. Kan sangat nyata dan sehari-hari. Ilat adalah alat vital. Lebih vital dari yang biasanya disebut alat vital. Kalau tidak punya kelamin masih mending, tinggal puasa dan bersabar. Tapi kalau tidak punya lidah, gimana dong sehari-hari hidup kita”

“Ya ya. Kalau tidak punya kaki, atau tangan, atau bahkan tidak punya mata, masih mending dibanding tidak punya lidah”

“Hanya saja, Mbah, karena semua orang rata-rata punya lidah, tiap hari menikmati hidup dengan lidahnya, kuliner ke sana kemari, akhirnya tidak ingat lidah, tidak matur nuwun ada lidah, tidak pernah bersyukur kepada yang memberi lidah. Bahkan kalau berdoa masih minta yang lain-lain, tanpa pernah menyatakan terima kasih telah diberi lidah”

“Tapi apa Tuhan itu pelit sehingga menuntut sejauh itu?”, saya bertanya.

“Itu namanya Milik nggendhong lali, kata Mbah-Mbah dulu”

“Wong cuma lidah aja kok….”, Pèncèng saya goda terus.

“Lidah kok cuma, Mbah”, naik suaranya, “Lidah itu landasan dari triliunan rupiah dari industri kuliner yang berkembang sangat pesat di Yogya. Kreativitas rakyat kita di bidang makanan dan minuman sangat luar biasa. Inovatif dan penuh ijtihad. Kalau kita naik kendaraan di Yogya tak bisa berkedip tanpa melihat warung. Para kawulo ilat berduyun-duyun ke restoran dan warung-warung baru sampai ke pelosok-pelosok dusun.…”.

Lainnya

Fuadus-Sab’ah

Fuadus-Sab’ah

Qadla dan Qadar Menturo

Kalau kakak sulung kami bukan Cak Fuad, belum tentu kita punya kenikmatan Padhangmbulan dan Maiyah seperti ini.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib