IN DO NESIA
Karena setiap titik bisa menjadi Do. Karena setiap koordinat bisa berposisi Do. Karena setiap ungkapan bunyi bisa berperan Do. Juga setiap kata bisa beraktualisasi Do. Dan itu tergantung pada keterkaitan interval-intervalnya. Tergantung pada konteksnya, spektrum tematiknya. Setiap dan semua bisa menjadi Do, Re, Mi, Fa, Sol, La maupun Si.
Maka “Allahu Akbar” pun bisa berposisi Do, Re, Mi, Fa, Sol, La ataupun Si. Teriakan Allahu Akbar bisa bernuansa ketakjuban dan rasa syukur. Bisa juga tampil sebagai ancaman yang mengerikan. Pun tidak mustahil ia aktualisasi rutin orang sedang melakukan shalat, takbiran Idul Fitri atau Idul Adlha.
Paralel dengan itu “Pancasila” bisa menaikkan adrenalin nasionalisme. Tapi bisa juga memancarkan kegeraman atau amarah kepada siapa saja yang dimaksudkan diam-diam di balik teriakan Pancasila. Demikian pula Merah Putih bisa menjadi lambang pengayoman bagi Hijau Coklat Kuning dan warna-warna lain. Atau justru merupakan peringatan keras kepada siapa saja yang dituduh tidak Merah Putih.
Bagi suatu bangsa dan kepemimpinan atau pemerintahan yang tidak mengajak rakyatnya membangun pemahaman proporsional atas hakikat dan manajemen Do, kata apapun yang diucapkan oleh yang sedang berkuasa — radikalis, intoleran, makar, anti Pancasila, anti Bhinneka Tunggal Ika — akan tidak memancarkan dan menghasilkan kelegaan, rasa aman dan kegembiraan bersama. Melainkan bisa sebaliknya: rasa tidak dikehendaki, rasa dimusuhi, rasa dibuang.
Kalau teriakan “Intoleran, Radikalis, anti-Pancasila” muncul dari wajah-wajah yang melotot, bersamaan dengan wajah-wajah lain yang juga tidak tersenyum yang memekikkan “Allahu Akbar, Pribumi, Asing Aseng” — maka seluruh bangsa ini akan terjungkal-jungkal dan terperosok ramai-ramai memasuki jurang dan lingkaran setan. Indonesia menjadi tidak lagi satu kata, melainkan tercerai berai menjadi In, Do dan Nesia. Berikutnya setiap huruf yang semula menyusun persatuan kesatuan Indonesia, menjadi terpecah belah I dan n dan d dan o dan n dan e dan s dan i dan a.
Huruf-huruf itu tetap pura-pura bisa ditulis di papan-papan nama atau di kertas undang-undang sebagai Indonesia. “Tetapi permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti”. [1] (Al-Hasyr: 14) Antar kelompok diam-diam ingin saling memusnahkan. Antar Parpol bergembira oleh kehancuran lainnya. Antar golongan mensyukuri kehinaan golongan lainnya. Siapa dan yang mana saja terpuruk, akan ditambahi kutukan dan hinaan.
Anak-anak muda itu bertanya: “Andaikan generasi kami tekun memahami dan menghayati hakikat Do, apa artinya untuk Indonesia yang begini luas? Kami bukan siapa-siapa bagi Negara Besar dan Bangsa dahsyat ini. Jumlah kami pun hanya 0,000001 persen”.
Tarmihim menjawab: “Mbah kalian Markesot melihat bahwa sampai hari ini yang sebaiknya kita lakukan adalah: “Serulah manusia kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. [2] (An-Nahl: 125)
“Bil-hikmah, bukan bil-haq”, tambahnya, “dengan kebijaksanaan, bukan dengan kebenaran. Sebab Do saja kita belum mampu mengelola, apalagi kebenaran yang sangat-sangat luas, di antara yang relatif dengan yang absolut”.
Kemudian Brakodin menegaskan: “Nanti akan datang hari di mana “yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap”. [3] (Al-Isra`: 81)
“Kapan itu kira-kira, Pakde?”, tanya Gentholing, yang paling kurang sabar di antara anak-anak muda itu.
Sundusin yang menjawab: “Amhilhum ruwaida”, [4] (At-Thariq: 17) sambil tertawa.
Jakarta, 8 Desember 2017