Imsak Sepanjang Hari
Saya coba teriak dari jauh untuk melerai mereka: “Sekarang ini sudah hampir Imsak dan segera masuk Subuh, kita jangan bertengkar”
Tapi Pèncèng ngèyèl terus. ”Imsak kok segera masuk Subuh. Gimana sih Mbah. Subuh itu justru mulai Imsak”
“Iya ya saya tahu. Tapi tidak perlu berdebat”, kata saya.
“Ya tho, kamu masih demam”, Gendhon menyela, “Kamu nggak usah puasa, Cèng”
Pèncèng tidak peduli. Sambil ngeloyor ke kamar mandi untuk ambil wudlu ia ngomel terus: “Imsak itu harus kita lakukan sejak Subuh hingga Maghrib. Imsak itu menahan diri sepanjang hari…”
Tidak ada yang merespons. Suara Pèncèng berlanjut: “Saya ini agak kurang sehat, mungkin kurang kuat berpuasa, makanya saya pacu diri saya dengan bilang Imsak Imsak Imsak, kendalikan diri, tahan diri…”
Tanpa perundingan, Gendhon, Beruk, dan saya akhirnya sepakat untuk tidak terus meladeni Pèncèng.
Tapi ternyata adegan per-Pèncèng-an tak berhenti sampai di situ. Gendhon dan Beruk memperhatikan, ketika pagi mulai beranjak siang, Pèncèng tampak gelisah. Tidur sudah capek. Ia bangun mengambil beberapa helai kertas dan fulpen. Duduk di depan meja mencoba menulis-nulis entah apa. Tapi sebentar kemudian seperti orang putus asa ia ngeloyor lagi ke tempat tidur dan menggeletakkan tubuhnya.
Gendhon dan Beruk sengaja mendiamkannya saja, tapi mengawasi dari jauh. Mereka berdua akhirnya tertidur karena kelelahan meladeni Pèncèng sejak tadi malam. “Mending mencangkul daripada diskusi”, Beruk berdesis sambil terkantuk-kantuk, “sehabis mencangkul badan segar. Kalau habis diskusi kepala pusing dan hati resah…”
Gendhon juga mendengung-dengung pikirannya di antara tidur dan jaga. “Simbah ini bikin perkara. Kita dilibatkan dalam kegelisahan-kegelisahan. Segala sesuatu dipikirkan, didiskusikan, diperdebatkan. Hasilnya juga tidak pernah mencapai kesepakatan tentang kebenaran. Selalu masing-masing punya pandangannya sendiri tentang kebenaran apa saja. Tema apa saja produknya adalah perbedaan. Untung kami saling menyayangi satu sama lain, sehingga tak pernah terjadi perselisihan dan permusuhan…”
Tatkala matahari berada di puncak dan pelan-pelan bergeser ke barat, mereka berdua, juga saya, dikagetkan oleh suara keras Pèncèng: “Imsaaaaaaak…Imsaaaaak…Imsaaaaak…”
Meskipun lagunya kacau, tapi sepertinya ia menirukan bunyi-bunyian menjelang Subuh di pengeras suara Masjid. Pèncèng mengulang-ulang teriakan itu dengan suara keras. Kali ini tampaknya mustahil tidak bergesekan dengan tetangga sekitar.
Dan benar saja. Beberapa orang datang ke depan rumah Simbah. Gendhon dan Beruk melompat dari tempat tidur dan langsung berlari ke depan. Ketika itu saya sedang baca-baca di kamar.
“Nyuwun sewu, ada apa kok Nak Pèncèng Imsak Imsak…”, terdengar suara salah seorang.
Belum sempat ada jawaban dari Beruk atau Gendhon, terdengar suara tetangga yang lain: “Gimana sih maksudnya kok siang-siang Imsak Imsak?”
Gendhon terbata-bata mencoba menjawab: “Maaf Bapak-bapak dan Sedulur-sedulur semua, Pèncèng sedang demam serius, suhu badannya naik sejak tadi pagi, jadi tidak sadar dia teriak-teriak…”
Belum selesai kalimat Gendhon, ada yang memotong: “Ini aliran Islam apa lagi ini!”
Kali ini Beruk tergagap-gagap: “Yaaa… aliran demam. Demam tinggi. Kalau orang demam, pikirannya cupet, akalnya dangkal, pertimbangannya sempit, sumbu emosinya pendek dan gampang meledak… Maaf Bapak-bapak atas teriakan Pèncèng. Tapi maksudnya baik. Memang sepanjang hari berpuasa kita kan harus Imsak, menahan nafsu. Pas lapar-laparnya di siang hari Pèncèng merasa perlu mengingatkan agar kita meningkatkan tenaga untuk mengendalikan diri. Maka dia teriak Imsak Imsak…”.