Ilmu dan Cinta, Ruang dan Waktu
“Orang-orang yang hidup dalam Gua”, Cak Sot menguraikan, “secara naluriah terdidik oleh kebiasaan hidup dalam kesempitan. Semesta alamnya adalah selingkup Gua itu. Rasa sosialnya dibatasi oleh dinding-dinding Gua. Keseharian pandangan mereka, pola berpikir mereka, konsep ruang mereka, bahkan rasa kemasyarakatan mereka, adalah kesempitan Gua. Lebih lengkap lagi kalau kesempitan itu ditemani oleh kegelapan atau keremangan, kesumpekan, aroma dan bebauan yang itu-itu juga. Cakrawalanya adalah tembok Gua. Begitulah. Silahkan meneruskan…”
“Langit adalah khayalan mereka”, Sapron bersuara.
“Masyarakat dan dunia seisinya adalah sesuatu di sana, bukan di sini…”, Brakodin menambahi.
“Perhitungan sehari-hari mereka hanya seputar Gua. Muhasabah mereka sebatas spektrum Gua”, juga Sundusin.
Dan Brakodin melengkapi, “Mereka menjadi manusia lokal. Bahkan sangat lokal. Pertimbangan-pertimbangannya lokal…”
“Tapi jangan lantas meremehkan”, Cak Sot memotong, “Baca informasi berikutnya dari Allah: ‘Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda kebesaran Allah. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya’. [1] (Al-Kahfi: 17).
Cak Sot mengingatkan, kita bisa membangun keluasan intelektual dan spiritual dalam kesempitan teritorial. Jasad bukan ukuran utama. Jasad bukan “wadah-nya roh”. Ilmu dan cinta tidak bisa dibatasi oleh ruang dan waktu”.