Ilinga Ngger
Markesot tidak usah dipahami secara menyeluruh sebagai seekor sapi. Cukup ambil sedikit tlethong-nya. itu pun tak harus benar benar paham tlethong itu apa. Asalkan tlethong itu membuat hidup kita lebih baik, hati kita lebih bersih, pikiran kita lebih jujur, mental kita lebih tangguh, iman kita menjadi lebih kuat dan dalam, kedekatan kita kepada Tuhan dan Kekasih-Nya meningkat: itulah yang namanya tadabbur. Daur 62 – Revolusi Tlethong.
Berangkat dari tahqiq di atas, saya kembali teringat cuplikan syiir yang kerap ditembangkan pada pagelaran ‘Tari Topeng Lengger Wonosobo’. Sedikit flashback, ‘Tari Topeng Lengger’ merupakan sebuah pertunjukkan sendratari khas Wonosobo. Makna yang terkandung dari Tari Lengger adalah ling (iling) dan ngger (angger), yaitu ilinga ngger (ingatlah nak, yen mbesuk kuwi bakale mati). Tari Lengger juga menyiratkan bahwa, dalam laku hidup itu ambillah yang baik-baik dan buanglah perilaku yang buruk seperti yang digambarkan pada gerakan Tari Lengger.
Tari Lengger itu sendiri mengingatkan manusia akan sangkan paraning dumadi. Manusia hidup di dunia hanya diibaratkan seperti mampir ngombe atau ‘outbond’ yakni sebentar dan sementara saja. Sebab dunia hanya sesaat dan bukan tujuan hidup, maka yang harus dikerjakan adalah menanam dan menanam. Yang ditanam tidak lain kecuali kebaikan, Setelah itu akan kembali ke Gustinya, Allah Swt.
“Sun sinau mbangun langgar pinggir kali“. Sun (ingsun) bermakna saya belajar membangun mushalla di tepi sungai. Jika diartikan secara perkata maka jadi wagu dan menimbulkan sebuah pertanyaan; apakah mendirikan langgar di tepi sungai pas? Bagaimana ketika sedang shalat dan banjir menerjang? Namun yang dapat saya tangkap dari teks tersebut adalah belajar maupun mempelajari, seperti yang tertera pada kata sinau. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan harus selalu mempelajari maupun ‘belajar kepada’. Belajar pada Tari Lengger, menyan, belajar pada gamelan, belajar kepada apapun asalkan menjadikan hidup menjadi lebih baik dan menambah kedekatan pada Tuhan dan Kekasih-Nya (mentadabburi apapun). Kemudian belajar dengan berbekal sudut pandang, jarak pandang. Apabila sudah matang dalam hal hal, lalu tinggal bagaimana mengolah menjadi ilmu (metodologi).
Ketika sudah matang dalam memetakan ilmu, maka ketika diberi rahmat dan rizki yang diberikan Allah, maka tidak lain hanya bisa bersyukur apa yang sudah diberikan. Seperti yang tertuang dalam lanjutan syiir
Aweh pangan pangeran aweha pangan.
Aweh sandang pangeran aweha sandang.
Aweh udan pangeran aweha payung.
Gusti Allah sudah menjamin semua dalam kehidupan, maka sesungguhnya tinggal kita dalam menanggapi, syukur atau kufur. Apabila syukur akan ditambah nikmatnya, tapi kalau kufur maka akan mendapat siksa.
Dalan lunyu pangeran aweha teken.
Duh gusti pengeran kula.
Dalam menempuh kehidupan menuju gusti Allah Swt kita harus menaklukkan goncangan-goncangan dalam hati, dan memohon kepada Allah agar diberi petunjuk dan menjadi orang yang menegakkan (istiqomah). Memang kepada siapa lagi kita meminta pertolongan selain hanya kepada Allah Swt.