CakNun.com
Wedang Uwuh (20)

Ilat, Illat, Ilah, Ilahi

Kedaulatan Rakyat, 28 Februari 2017
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 2 menit

Ternyata ujung maksud Pèncèng dengan topik kulinernya adalah othak-athik-gathuk dari kata “ilat”. Untung saya bukan jenis orang yang skeptis terhadap kebiasaan budaya orang Jawa itu semacam itu. Karena pada dasarnya kehidupan ini adalah “satu yang memecah untuk menyatu kembali”.

Tuhan yang Maha Tunggal, “mencipratkan” Diri-Nya menjadi makhluk-makhluk, untuk dipersilakan berproses menuju penyatuan kembali dengan-Nya. Prinsip dan pedoman hidup adalah “inna lillahi wa inna ilaihi roji’un”. Semua apa saja berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya atau menjadi Satu Ia kembali.

Artinya, apa saja akan pasti gathuk menjadi satu. Manusia silakan menempuh kemerdekaan dan mencakrawala sampai ke langit terjauh dari halusinasi, tetapi pada akhirnya ia nyawiji, men-tauhid, menyatu kembali dengan Maha Sangkan Parannya. Jadi budaya othak-athik-gathuk itu ada nalarnya, ada sejarah logikanya. Atau dalam bahasa Fiqih Islam, ada ‘illat-nya.

‘Illat (pakai ‘ain dan dobel-l) artinya hal-hal yang menyangkut perubahan. Orang sakit disebut sedang ber-‘illat karena tubuhnya mengalami perubahan dari sehat menjadi sakit. Suatu prinsip moral bisa mengalami konteks hukum yang berbeda-beda, dan perubahan di antara perbedaan-perbedaan itu didasarkan pada ‘illat.

Ayam goreng itu halal, tapi kalau curian, lain masalah. Shalat Jumat itu bagus, tapi kalau bajunya nyaut di pemehan tetangga, lain soal. Yaduru ‘ala au ma’a ‘illatihi: berubah posisi hukumnya, bergantung pada sesuatu yang mensifati perubahannya.

Pèncèng meng-gathuk-kan antara ‘illat dengan ilat.

“Ilat atau lidah”, katanya, “adalah sensor utama yang menentukan perubahan tubuh seseorang akan menjadi sehat atau sakit sesudah memakan sesuatu. Fungsi lidah itu bukan terutama untuk kenikmatan kuliner, melainkan untuk detektor kesehatan. Kalau Dokter punya ilmu untuk menyensor makanan sehat dan tidak sehat. Tapi masyarakat umum dibekali lidah untuk langsung menyensor apapun saja yang akan dimakan atau diminumnya”

“Bagaimana praktiknya itu, Cèng?”, saya kejar.

“Kalau suatu makanan tidak baik untuk kesehatan, lidah kita tidak berselera atau bahkan mengisyaratkan penolakan terhadap makanan itu. Kalau badan kita terancam sakit gula, selera lidah kita tidak mencenderungi gula. Kalau badan sudah cukup makan sesuatu, dan kalau ditambah lagi akan tidak sehat, maka lidah tidak berselera untuk meneruskan makan”

“Bukannya cukup makan atau tak cukup itu ditandai oleh kenyangnya perut?”

“Itu untuk ‘abdul buthun, abdi perut, atau ngawulo wadhuk. Nabi Muhammad kan merekomendasikan agar kita makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang. Deteksi sebelum kenyang itu ada di lidah, perut tidak bertugas untuk itu”

Makin menjadi-jadi Pèncèng berceramah. Kapan-kapan akan saya rekonfirmasikan kepada teman Dokter entah siapa.

“Setahu saya”, ia meneruskan, “dalam Bahasa Arab, akhiran kata ‘at’ di posisi lain dibaca ‘ah’. Ummat dan Ummah. Jumat dengan Jumah. Amanat dengan Amanah. Jadi siapa tahu ‘ilat’ sebenarnya di planet jauh sana gathuk dengan Ilah. Ilah artinya Tuhan. Ilahi artinya Tuhanku. Tentu saja bukan bermakna lidah adalah Tuhan. Tapi siapa tahu itu semacam pertanda bahwa salah satu tempat terpenting dan paling vital dari kehadiran nilai Tuhan adalah ilat. Semakin kita menjaga lidah kita, semakin match dan disayang oleh Tuhan.…”.

Lainnya

“M” FRUSTRASI Setengah Abad Kemudian

“M” FRUSTRASI
Setengah Abad Kemudian

Ternyata judul “M Frustrasi” diam-diam merupakan ramalan atas nasib saya sendiri. Hari-hari sekarang ini adalah puncak frustrasi yang saya alami di senjahari usia 69 tahun saya.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Pancasila

Pancasila

Tulisan ini merupakan refleksi Cak Nun di akhir 1970-an yang kemudian diterbitkan dalam buku “Indonesia Bagian Sangat Penting Dari Desa Saya” oleh penerbit Jatayu tahun 1983.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib