Ied al-Fitri, Merayakan Kembali Berpuasa
Ied al-Fitri 1438 Hijriyah telah di depan mata. Pola kegembiraan yang sama tiap tahun berulang. Kapitalisasi agama? Atau turut menyemarakkan hari yang ’fitri’? Mudik, pulang ke kampung halaman untuk memamerkan hasil kerja keras di kota selama setahun? Turut andil dalam pemerataan arus keuangan kota ke desa? Atau untuk latihan mulih ke kampung halaman yang sejati? Innamal a’malu binniyat tentu saja. Kita perlu menarik napas, mencoba ber-husnudhdhon walau memang sulit.
Dalam kisah Seribu Satu Malam, Ali Baba tidak sengaja mendengar pimpinan kelompok 40 penyamun mengucapkan mantra “iftah ya simsim” (open o sesame) untuk membuka pintu gua yang berisi harta-harta hasil rampokan. Ali Baba menggunakan mantra yang sama untuk masuk ke gua itu, mengambil harta secukupnya dan membagikan harta tersebut kepada tetangga-tetangganya yang membutuhkan.
Saudaranya yang kaya, Kazim, begitu mengetahui hal tersebut mencoba masuk dengan mantra yang sama, namun ketika akan keluar dia lupa mantranya. Jadilah dia tertawan dalam gua hingga ketahuan oleh empat puluh penyamun. Lanjutan kisah Ali Baba tentu kita semua sudah mengetahui. Paling sering dibahas dalam kisah ini adalah akar kata simsim/sesame. Diskusi mengenai hal ini sudah menghampar di jagad internet sejak lama. Begitupun penggunaan nama tokoh Ali dengan akhiran Baba yang secara bahasa Arab adalah pintu. Beberapa mengaitkan dengan hadits “aku adalah kota ilmu dan Ali lah pintunya.” Walau kisah ini sebenarnya adalah cerita dari Persia, tapi mungkin bisa juga ditemukan kaitannya. Namun dalam tulisan ini kita tidak membahas itu. Saya tertarik dengan konsep ‘buka’, open, iftah. Pembahasan selanjutnya tidak melulu berkenaan dengan kisah Ali Baba, karena kisah ini hanya bumbu pembuka saja.
Estafet Puasa Peradaban
Dalam Islam, puasa atau shoum bukanlah laku asketik penyiksaan diri. Dia cukup dengan pengartian menahan. Berbuka adalah sama wajibnya dengan puasa itu sendiri. Walaupun Anda masih mampu bertahan dan tidak merasa lapar ketika waktu berbuka tiba, Anda tetap harus berbuka.
Maka konsep shoum, walau memiliki kesamaan namun juga sedikit berbeda dengan konsep upawasa yang dijalankan oleh para Yogi di sekitaran sungai Hindustan. Sidharta pada era awal pencariannya konon menyaksikan, bagaimana para Yogi itu begitu memuja rasa sakit, sehingga bukan saja menahan diri untuk tidak makan dan minum tapi sampai juga menyiksa fisik bahkan beberapa mempraktikkan dengan memotong bagian-bagian tubuhnya. Sidharta kemudian merumuskan konsep puasanya sendiri. Baginya dia mesti menemukan jalan tengah.
Secara psikologi, Sidharta yang awalnya bergelimang kemewahan tentu akan mendapat kepuasan batin justru dengan melakukan hal seperti para Yogi itu, karena lumrahnya manusia akan mencari antitesis dari hal yang biasa dia dapati. Tapi Sidharta menolaknya. Dia menjauhi kemewahan namun juga tidak berniat jatuh pada titik ekstrem di seberang. Saat itu tentu belum ada mahfudzot “khoirul umuuri awsatuha” tapi Sidharta sudah berusaha mencari titik tengah itu.
Evolusi kesadaran tauhid dari zaman ke zaman dijalankan oleh manusia-manusia (yang ber-) puasa. Bisa kita runut dari sejak era penemuan tauhid Brahmana Ibrahim, Gautama, atau Sam’un al Ghozi yang diduga menjadi salah satu alasan penyebutan “beribadah seribu bulan”, Nabi Daniyal (Daniel), dan banyak lagi. Tapi kita coba tentukan batas bahasan kita agar tidak terlalu berpanjang-panjang.
Saya ingin mencoba memulainya dari era Nabi Zakariya As. Dalam satu majelis Maiyah Mocopat Syafaat yang saya lupa kapan tepatnya dan tahun berapa terjadinya, Cak Fuad dan Syeikh Nursomad meminta JM membacakan Surah Maryam. Dalam Surah tersebut, justru yang kita temukan pertama-tama adalah kisah Zakaria yang mendambakan anak untuk meneruskan perjuangannya sedang dirinya telah lanjut usia. Maka dijanjikan oleh Allah kepadanya seorang putra yang diberi nama Yahya As.
Zakariya As meminta pertanda dan disebutkan pertandanya adalah “alaa tukalliman naasa tsalaasa layaalin sawiyya.” Saya kurang paham bahasa Arab, sehingga kurang mengerti itu maksudnya tidak boleh berbicara pada manusia selama tiga malam atau tidak bisa berbicara. Namun yang pastti, Zakariya mesti menahan diri untuk tidak berbicara selama masa yang ditentukan itu. Menahan, puasa.
Lahirlah Yahya As. Dia yang tidak ada manusia sepertinya sebelumnya, otentik.
“di antara mereka yang dilahirkan oleh wanita tidak pernah ada seorang yang lebih besar dari Yohanes Pembaptis” (Matius 11:11)
“yaa zakariyya innaa nubassyiruka bighulaaminismuhu yahyaa lam naj’al lahuu min qoblu samiyyaa” (QS Maryam: 7)
Yahya As atau dalam bahasa Biblikal dikenal dengan nama Yohanes Pembaptis, menjadi suara alam liar. Berdakwah bertahun-tahun di sekitaran sungai Yordan. Tentu, dia juga melanjutkan estafet laku puasa seperti generasi sebelumnya. Dikatakan bahwa, selain hanya berpakaian dari kulit onta, Yohanes Pembaptis hanya makan belalang dan madu hutan. Pada era Yohanes, manusia dari berbagai golongan datang padanya, mendengarkan ajaran-ajarannya.
Yudea saat itu tengah berada dalam kekuasaan Herodes II, yang sudah memesrai cita rasa Imperium Romawi. Yohanes membesarkan hati para kaum miskin dan menjanjikan bahwa telah dekat kerajaan tuhan bagi mereka. Sesekali dia berlaku tegas pada kaum Pariisi dan Saduki dan memanggil mereka dengan sebutan ular beludak. Namun tak ada yang berani mengusik ajaran Yohanes, betapapun kaum Pariisi dan Saduki lekat dengan kekuasaan Herodes. Isa As atau Yesus, datang kepadanya ketika telah dewasa. Perjuangan keummatan, berangsur-angsur beralih pada Yesus.
Yesus (Isa as) meneruskan perjuangan Yohanes Pembaptis (Yahya As) bila Yohanes hanya berdakwah di sekitar sungai Yordan, Yesus berkeliling ke negeri-negeri jauh. Membangun basis pergerakan, aktivisme cinta kasih yang juga otentik. Otentisitas, lahir dari rahim perawan.
Sebagaimana perjuangan keummatan juga dilanjutkan oleh Yesus, dia sendiri pun berpuasa. Dimana letak puasa Yesus? Sedang kerap kaum Pariisi mempertanyakan, mengapa murid-murid Yesus tetap makan dan minum dengan normal tidak seperti murid-murid Yohanes?
Perlu dipahami, aktivisme pergerakan Yesus adalah pada pembelaan terhadap kaum lemah dan terjajah. Ketika pergerakan cinta kasih Yesus telah merebak di kalangan ebionit (kaum miskin) kekuasaan tanah Yudea tidak lagi berada pada tangan rezim Herodes yang pribumi dengan citarasa Romawi. Saat itu, penjajahan Romawi atas wilayah Yudea telah total dengan dikirimnya Pontius Pilatus sebagai prefek wilayah tersebut. Thus, Yesus berhadapan dengan kondisi penjajahan imperialis.
Dalam era penjajahan total seperti itu, perlawanan paling masuk akal secara rasio manusia adalah merebut kekuasaan, kudeta, coup de etat. Yesus setelah bertahun-tahun membangun basis pergerakan, bisa dan sangat mampu melakukan hal itu bila dia bersedia. Yesus bisa saja melakukan revolusi menggulingkan kekuasaan dengan menggerakkan massa, orang-orang miskin dan papa yang sangat mencintainya, namun tidak dia lakukan.
Sebagai perbandingan, pada masa itu juga merebak pergerakan kaum purifikasi budaya Zelot dan terorisme Sicari. Zelot lahir dari kekecewaan terhadap penjajahan sehingga mereka menjadi massa yang anti Romawi, anti budaya asing. Kaum Sicari lebih radikal lagi. Sicari artinya pisau pendek. Mereka menyelipkan belati di balik jubah mereka dan menikam orang Romawi mana saja yang mereka temui di pasar-pasar, walau setelah itu mereka akan tertangkap dan dihukum mati, tak berbeda dengan laku bom bunuh diri saat ini.
Yesus juga berhadapan dengan kaum Pariisi dan Saduki, dua basis agamawan yang ditampung dalam majelis ulama Sanhedrin. Kaum Pariisi dan Saduki, entah kenapa selalu mengingatkan saya pada dua ormas agama terbesar di negeri ini pada masa kini. Dua golongan ini, terutama para imamnya menikmati era penjajahan dengan terus berusaha menempel pada kekuasaan.
Belakangan ada temuan golongan lain merunut pada Dead Sea Scroll (Gulungan Laut Mati) yakni disebut golongan Esseni, yang saking tidak tahannya dengan alam penjajahan kemudian masuk ke goa-goa di pedalaman dan menjadi petapa pelaku kebatinan yang anti duniawi.
Intinya, banyak sekali pilihan perlawanan pada masa itu dari yang paling kompromis sampai yang paling radikal, namun Yesus bertahan tidak memakai cara-cara yang sudah ada. Yesus mampu dengan kelembutan hatinya menarik minat kaum Zelot, dengan kemampuan retorika dan penguasaan Tauratnya mendebat kaum Pariisi. Massa dari berbagai daerah telah sami’na wa atho’na terhadap Yesus sehingga disematkan gelar kepadanya “Raja Bani Isroil.” Dia sudah raja, secara spiritual dan kultural, namun dia tetap bertahan tidak mengkooptasi kekuasaan formal. Ini adalah sebuah kontinuasi dari laku puasa juga menurut saya.
Tidak lupa, mesti kita bahas juga tingkah polah wali kota atau prefek Pontius Pilatus. Dia yang menggusur terus Bani Isroil, orang-orang Ebioinith yang miskin karena dianggap kumuh, jauh dari peradaban Romawi yang memuja kerapihan dan mendamba infrastruktur negara-negara maju. Adalah sungguh menyakitkan hati, ketika pada masa kini kita membaca pledoi seorang yang berposisi lebih mirip Pontius Pilatus. Saat dia (Politus kekinian) terkena kasus hukum, justru melekatkan dirinya pada sosok Isa Al Masih.
Perjuangan Yesus secara monumental dibabat ketika peristiwa di Taman Gestemani. Selanjutnya tidak saya bahas, karena peristiwa sejak Via Dolorosa sampai pada penyaliban adalah titik paling berbeda antara agama saya dengan agama lain.
Selanjutnya tentu merunut pada urut-urutan Nabi dan Rosul, perjuangan keummatan, evolusi pemahaman tauhid Yesus atau Isa As, diteruskan dan dijangkepkan oleh sosok Muhammad Saw.
Maka bila kita simpulkan sederhana sementara, ada estafet puasa dalam membangun peradaban; puasa Zakariya berbukanya adalah Yahya (Yohanes Pembaptis), kemudian puasanya Yahya berbukanya adalah pada era Isa As (Yesus), puasanya Yesus berbukanya kemudian pada sosok Muhammad. Ini perlu kita bahas dalam bagian sendiri
Shoum Era Muhammad Saw, Masani Peradaban
Rasulullah Muhammad Saw, manusia teragung, bisa berpuasa kapan saja dan kemungkinan sebagian besar hidup beliau adalah puasa itu sendiri. Beliau bisa pada pagi hari mengetuk pintu rumah istri beliau dan bertanya apakah ada makanan untuk disantap hari ini, dijawab tidak ada dan beliau lantas “kalau begitu hari ini saya puasa.” Begitu mudah. Ces pleng.
Seorang shabat yang begitu rajin beribadah formal sehingga seluruh waktu hidupnya hanya untuk memuja Allah, justru diberi metode puasa sendiri yakni puasa Daud. Ini bukan sekadar pembagian prosentase waktu antara dunia dan akhirat. Ini adalah kesadaran revolusioner sendiri bahwa begitu ibadah terasa terlalu lezat maka dia pun mesti dianggap sebagai godaan sehingga perlu ditahan kadarnya. Di-shoumi.
Muhammad Saw tidak berhadapan dengan kondisi masyarakat yang sedang dijajah seperti pada era Yesus. Yang dihadapi adalah kondisi masyarakat dengan mental terjajah. Kompleksitas permasalahannya jauh lebih rumit, karena penjajahannya tidak tampak namun mengejawantah dalam cara berpikir, tolok ukur, selera, dan cita rasa.
Kondisi keberagaman, pluralisme pada Makkah memang terjaga tapi lebih karena alasan tidak berdaya membendung pendatang dan ketergantungan secara ekonomi.
“kutiba alaykumu shiyaam kamaa kutiba alaa ladzina min qoblikum laallakum tattaqun”
Shoum diformalkan dan diberi waktu khusus wajibnya pada bulan Ramadlan, pada era Muhammad Saw. Mulai menahan ketika tiba waktu subuh dan berbuka tepat ketika maghrib. Ketakwaan, cakrawala waspada terhadap waktu, diasah terus. Hingga berakhir pada Ied al Fitri, haram berpuasa formal pada hari-hari yang ditentukan.
Laku shoum Muhammad begitu banyak bila kita mau hitung satu per satu. Ini saja masih di luar ibadah shoum wajib dan sunnah. Maksudnya aplikasi shoum dalam wilayah dimensi-dimensi kehidupan beliau.
Beliau menahan diri untuk tidak menggunakan taktik penyebaran pesan kekuasaan dengan seni pembentukan citra melalui patung dan gambar-gambar dirinya, sementara hal tersebut sangat lazim digunakan oleh penguasa-penguasa Byzantium dan Persia masa itu.
Beliau menahan untuk tidak meneteskan darah pada peristiwa revolusi Fath al Makkah.
Banyak sekali, namun satu hal ini yang jelas merupakan sebuah shoum maha dahsyat; yakni ketika beliau telah diperkenankan menembus lapis langit ketujuh dan bertemu langsung dengan Yang Maha Kekasih Sejati, beliau menahan diri untuk tetap kembali kepada ummatnya. Sedangkan sering disebut, bahwa tak ada kenikmatan di seluruh jagad raya ini yang menandingi nikmatnya memandang Wajah Sang Maha Segala.
Seperti sudah kita bahas sebelumnya, shoum memang bukanlah menitikberatkan pada seberapa lapar atau seberapa menderita si pelakunya namun seberapa ikhlasnya hal itu dilakukan.
Maka itu Muhammad tidak ingin dikenal karena derita yang dialaminya. Duka derita, senang bahagia dialami oleh Muhammad Saw sebagai kewajaran kehidupan. Padahal kisah berdarah-darah penuh derita dalam episode kehidupan Muhammad bin Abdullah bukan sedikit juga; dilempari batu oleh penduduk Thaif, giginya patah terkena senjata perang pasukan Persia dan banyak lagi, tapi itu semua berjalan imbang, wajar. Sementara pada era kekinian, orang merasa sah berjasa dalam aktivisme ketika sudah pernah tertangkap, dipopor senjata maupun diasingkan agar bisa memakai taktik ‘jual derita demi ideologi’
Shoum Ramadhan dibatasi hanya maksimal tiga puluh hari. Dalam psikologi populer, ada temuan bahwa suatu perilaku akan menjadi habit, apabila dia dilakukan terus-menerus selama empat puluh hari berturut-turut.
Maka shoum dalam Islam memang tidak dimaksudkan untuk jadi habit yang berjalan otomatis. Dia dikontrol. Orang yang telah terus-menerus berpuasa (formal) selama misalnya setahun tanpa putus-putus akan menjalankan puasa itu karena kadung kebiasaan. Islam mengajarkan kita untuk terus-menerus bertanya apakah beribadah demi lillahi ta’ala atau hanya kepuasan pribadi? Islam memang bukan agama petapa.
Hari Raya, adalah hari di mana pada sudut pandang yang lain adalaah menahan diri dari berpuasa itu sendiri. Agar puasa atau shoum tidak kehilangan esensinya. Kita diwajibkan menata napas, perlu kegembiraan juga. Gembira karena apa? Karena lepas dari kewajiban berpuasa? Iya, karena setelah lepas dari wajib berpuasa kita melangkah pada puasa-puasa, bentuk-bentuk shoum yang sunnah. Maka sangat disarankan, sehari setelah Ied al Fitri kita melanjutkan dengan puasa Syawwal. Jadi yang kita rayakan sesungguhnya adalah menyambut bentuk-bentuk puasa yang waktunya kita inisiatifi sendiri.
Belajar dari sejarah Zakariya hingga Yesus sampai kepada Muhammad, saya masih memiliki keyakinan yang kurang ilmiah bahwa fondasi mental juang shoum dari Muhammad saw masih diteruskan ketika era Khulafaur Rasyidin, namun lepas dari itu ummat Islam terlena dengan terus-menerus berhari raya, panen raya kemenangan kegemilangan, kemegahan kejayaan tanpa ada yang mengingatkan dan menyambut bentuk-bentuk puasa peradaban. Sehingga kemenangan demi kemenangan pasca era Khulafaur Rasyidin adalah kemenangan menuju kehancuran.
Saya agak kurang akrab dengan khazanah kitab-kitab Islam. Tapi sejangkauan saya, belum saya dapati ulama-ulama atau syekh-syekh, kiai-kiai yang mengelaborasi puasa pasca Khulafaur Rasyidin.
Mungkin, butuh ratusan tahun sampai era Mbah Nun mempopulerkan kembali “poso-nandur-shodaqoh” maka, bisakah kita sedikit GR bahwa kita, para JM, sedang berada pada lintasan jalur linier peradaban, meneruskan tongkat estafet puasa peradaban yang sempat tenggelam beberapa ratus tahun ini? GR sedikit, semoga tidak makruh puasanya ya.
Shoum JM, A’izzah lil NKRI
“Orang-orang Maiyah itu, istiqomah suudhdhon pada pemerintah dan penguasa negeri ini,” kata seorang kawan, saya lupa siapa, mungkin juga kawan imajiner. Entah.
JM, di socmed memang lebih banyak yang bila digolongkan condong ke arah haters pemerintah, ketemu menteri, presiden atau beragam varian makhluk politik, mereka tidak akan munduk-munduk tapi mendongak penuh martabat, berhadapan dengan otoritas suka main hantam, istilah-istilah intelek dan penggolongan-penggolongan ideologis mentah di hadapan mereka. Penampakan luarnya memang seperti itu.
Sebenarnya malah kalau ada JM yang tidak jadi haters pemerintah saya lebih heran. Bukan saya membenarkan, hal itu juga perlu kita koreksi bersama-sama. Tapi sangat bisa dipahami. Dalam lingkar-lingkar majelis Maiyah, kita sudah begitu terbiasa dengan bahasan-bahasan yang fundamental. Segala sesuatu kita cari betul asal-usulnya. Mbah Nun mengajarkan kita untuk presisi berpikir, berhati-hati menggunakan istilah-isitlah agar tidak terlalu kecele dengan kebutan tipuan zaman.
Nafas JM, adalah nafas peradaban. Sudut pandang yang dibangun oleh Mbah Nun adalah memandang perjuangan sebagai sesuatu yang jauh menuju evolusi kesadaran “hari keenam”
Kita sudah tidak asing dengan bahasan bahwa dalam proses berdirinya negara ini terlalu banyak faktor syubhat. Kita tidak terlalu emosi, apabila misalnya kita diberi tahu bahwa salah satu sumber dana kemerdekaan pada era awal berdirinya negri ini berasal dari penjualan candu yang diekspor ke negeri-negeri seberang, itu contoh lho ya belum tentu benar.
Kita tidak lantas merasa kurang nasionalis ketika membahas misalnya, kata “Republik” dalam satuan kata NKRI tersebut sebenarnya lebih bercorak citarasa helenistic Yunani daripada selera ke-Nusantara-an.
Dan banyak lagi bahasan-bahasan mengenai hal-hal mendasar lainnya dalam lingkar-lingkar Maiyah. Mbah Nun sendiri sering dengan santai membocorkan ‘rahasia kahyangan’ perpolitikan. Mengenai sembilan naga, dua geng dalam internal istana langit, permainan citra, taktik-taktik busuk politik dan banyak lagi. Banyak.
Intinya, JM sudah kadung tebentuk berpikir fundamental mendasar. Belum lagi kalau kita katakan, standard para JM dalam memandang sosok pemimpin sudah telampau tinggi karena terbiasa menyerap sikap dan perilaku Mbah Nun.
Semoga saya terhindar dari mengkultuskan, karena kultus adalah penghinaan dan saya tidak mau menghina Mbah Nun. Tapi begini, bila kita coba bandingkan kadar kualitas kepemimpinan dalam diri Mbah Nun bahkan dengan semua presiden yang pernah berkuasa di negri ini, rasanya tidak ada yang menyamai, apalagi yang terakhir. Itu dengan sendirinya membentuk pola dalam kepala JM, termasuk saya bahwa
“Pemimpin itu yang kayak gini lho (nunjuk foto Mbah Nun) masa kayak gitu (nunjuk foto di atas papan tulis SD)”
Namun dari segala macam hal yang kita dapati itu, kita juga disarankan untuk berpuasa, menahan diri dari bermcam-macam tingkah yang memperkeruh suasana. Sementara kita tahu di luaran sana kubu-kubu saling bertikai, saling merasa paling benar. JM dengan pemahaman mendasar dalam berbagai hal perlu menahan diri dari menambah keruwetan suasana.
Mungkin kita perlu a’izzah, berat hati pada NKRI ini. Tidak cinta-cinta amat, tidak apa-apa tapi sedikit pekewuhlah, pada kondisi bangsa yang setelah tujuh puluh tahun merasa merdeka ini ya masih begini-begini saja kesadarannya. Mungkin, ini adalah bentuk shoum JM.
Dan shoum kita tahu bersama, adalah bentuk perjuangan. Berbeda dari perjuangan lain, perjuangan dengan metode shoum tidak mengandalkan manusia sebagai subjek utama dari tujuan perjuangan. Kita berpasrah bahwa ada peran Sang Maha Perancang di balik semua gejala dan kejadian zaman.
Saat ini kita sedang memasuki masa shoum dan fakta bahwa godaaan untuk mokal semakin berat, mungkin adalah pertanda bahwa waktu berbuka memang tidak lama lagi. Tapi belum tentu juga, kita perlu kepekaan melihat arah terbit-tenggelam sang surya bukan?
Dan kalaupun iya, kalaupun benar waktu berbuka dan saat hari raya, panen raya telah dekat dan akan sampai, kita tidak boleh mengulangi kesalahan generasi-generasi sebelumnya. Kita perlu bersuka ria barang sejenak untuk kemudian menyadari, bahwa setelah ini kita akan kembali ke medan perjuangan shoum lagi. Karena setiap hari raya sesungguhnya adalah perayaan menyambut puasa-puasa selanjutnya.[]