CakNun.com

Idul Fitri Biasa Saja

Hilmy Nugraha
Waktu baca ± 2 menit

Sewaktu mobil yang membawa saya melintas menyusuri pedukuhan Kuwon, Semanu, Gunungkidul, Kang Paimo sedang khusyuk menatah kayunya di pinggir jalan. Sebuah kayu nangka yang sudah tua. Kayu yang terkenal keras dan baik di kelasnya. Yang Kang Paimo lakukan adalah mengubah kayu itu dari gelondongan menjadi balok panjang yang akan digunakan untuk saka sebuah bangunan.

Sedang di sisi lain, Yu Wati terlihat mencabuti kacang tanah dari ladangnya yang kering. Sedikit hasil bumi di akhir bulan ini. Cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Tanah ini memang tidak menyisakan air di dalamnya kecuali saat musim hujan. Sedang sekarang, musim sangat susah diramal. Layaknya judi togel.

Semua tenang, ayem, dan menjalani rutinitas seperti biasa. Padahal esok adalah hari raya. Hari yang ditunggu-tunggu manusia sekarang setelah menjalani perjuangan puasa selama satu bulan. Dan saya sedang ikut merayakan hari spesial ini dengan cara mudik ke kampung halaman.

Mereka adalah manusia otentik. Jika manusia modern sibuk melapisi dirinya dengan kemasan yang menebal penuh dengan kepalsuan, maka manusia otentik melepaskan lapis-lapis dirinya. Menelanjangi dirinya di depan alam semesta. Meniadakan dirinya di hadapan Yang Ada. Hidupnya orisinil. Kerja menjadi sarana ejawantah dirinya untuk Tuhan. Puasa menjadi tirakat sosial hidupnya. Ramadlan menjadi ritme kerja aktivitasnya. Dan hari raya menjadi esensi atas luas maaf jiwanya.

Jika kita melihat televisi atau mengikuti media sosial, orang sudah tersibukkan ini itu untuk persiapan hari raya. Seolah hari raya Idul Fitri menjadi hari perayaan tersibuk sedunia.

Kita sibuk berucap rindu Ramadlan di bulan Sya’ban, tapi ketika mulai masuk Ramadlan, kita sibuk mempersiapkan hari raya Idul Fitri. Ramadlan belum nampak, kita sibuk membeli toples. Ramadlan tiba kita gupruk membeli baju baru. Ramadlan mau pergi, kita sudah melesat jauh mempersiapkan hendak ke mana kita piknik seusai Idul Fitri. Idul Fitri datang, kita mengeluh esok liburan sudah habis.

Di kampung saya, berbeda. Memang 1 Syawal tetap menjadi hari istimewa. Tradisi sungkem kepada orang tua, saling kunjung yang lebih sepuh, tetap menjadi rutinitas wajib tahunan. Tapi sehari setelahnya menjadi biasa saja.

Kang Paimo tetap menggarap kayunya yang belum usai ia tatah. Yu Wati sibuk menjemur kacang tanah setelah ia pisahkan dari daun dan batangnya. Pak Parjo kembali mencari rumput untuk sapi dan kambingnya. Dan Kang Trimo tetap bersiap berdagang, karena esoknya pasar Pon di desa.

Tidak ada acara dramatis seperti mengirimkan broadcast pesan virtual dengan template yang sangat beragam. Tidak ada acara halal bihalal mewah dengan makanan yang beragam. Tidak ada baju baru, karena yang dikenakan mereka cukup baju yang terbaik selama setahun yang mereka punya dan seadanya. Tidak ada agenda piknik ke luar kota, karena esok pasar kembali ramai, rumput sapi mereka habis dan ladang mereka belum digarap dengan sempurna.

Saya teringat sedikit kutipan pada tulisan Emha Ainun Nadjib di salah satu artikel di buku “Markesot Bertutur” pada periode tahun 90an.

Maaf memaafkan itu setiap saat. Sepanjang waktu, di dunia sampai akhirat. Setiap hari adalah idulfitri bagi kita. Tidak ada hari di mana kita tidak memaafkan di antara kita”.

Sehari setelah hari raya, saya kembali ke kota. Bersiap menghadapi kehidupan penuh kompetisi dan pengejaran yang artifisial. Melalui mobil yang membawa saya, saya lihat mereka masih tetap menjalani rutinitas seperti biasanya. Dalam dirinya mereka menikmati puasa panjangnya dan hari raya setiap harinya. Dalam kehidupan sosial dan politiknya mereka dipaksa puasa secara sistemik. Menahan diri tidak memiliki hak sebagai warga negara secara sejati. Tapi bisa merayakan kebahagiaan hidupnya setiap hari dengan caranya tersendiri.

Dalam hidup, mereka menahan lapar dari modernitas dan kemajuan global. Tapi puas dan kenyang terhadap rasa syukur akan orisinalitas hidup mereka yang default dari Tuhan. Dalam diri mereka, hidup adalah penuh tirakat Ramadlan. Sehingga hari raya mereka ciptakan setiap hari, bahkan sewaktu-waktu.[]

Lainnya

Seribu Idul Fitri Untuk Seribu Diri

Seribu Idul Fitri Untuk Seribu Diri

Pencapaian diri-rakyatmu mungkin adalah ketangguhan untuk tidak terhina oleh pelecehan, tidak menderita oleh penindasan, tidak mati oleh pembunuhan.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Kalender Jowo Digowo, Kalender Arab Digarap, Kalender Barat Diruwat

Kalender Jowo Digowo, Kalender Arab Digarap, Kalender Barat Diruwat

Ungkapan “Jowo digowo, Arab digarap, Barat diruwat” tidak hanya berlaku di bidang sosial budaya, tetapi juga di bidang eksakta, misalnya dalam hal perhitungan matematis kalender. Bukti dari unen-unen tersebut juga dapat kita lihat pada perhitungan matematis pada ketiga kalender yang telah kita kenal, yaitu kalender Jawa, kalender Hijri dari Arab, dan kalender Masehi dari Barat.

Yudi Rohmad
Yudi Rohmad