CakNun.com

Hujan Deras Ti-ji-ti-beh

Achmad Saifullah Syahid
Waktu baca ± 2 menit

Dua tahun yang lalu saya pernah diminta Cak Yus menjadi notulen acara Ta`dib di SMK Global. Tugas saya sebagai notulen pasti harus mencatat butir-butir petuah dan nasehat. Saya pikir acara Ta`dib serupa dengan seminar atau pengajian. Lantunan ayat suci Al-Qur`an bertaburan memenuhi ruangan. Para siswa akan tertunduk dalam-dalam, menyesali dosa dan perbuatan yang selama ini konyol dilakukan. Di akhir pengajian akan ada semacam renungan bersama, muhasabah, nangis-nangis, lalu mereka berjanji akan menjadi anak baik-baik, patuh-taat kepada guru dan orangtua.

Saya datang setelah maghrib ketika Mbah Nun menyampaikan briefing kepada para guru pendamping. Di teras ndalem kasepuhan Mentoro, Mbah Nun menekankan agar para pendamping membuka pintu selebar-lebarnya—membangun dialog yang interaktif-demokratis—sebagai jalan masuk bagi siswa merambah cakrawala kesadaran dan penyadaran. Tidak ngejoki informasi dan pengetahuan ke dalam otak siswa. Biarkan mereka mencari, menemukan, mengekspresikan, mengungkapkan temuan-temuannya. Selama proses berlangsung, guru tak ubahnya bocah angon. Kalau ada rumusan kesadaran, itu pun berasal dari pengalaman otentik siswa.

Buyar sudah gambaran seminar atau pengajian di kepala saya. Tidak ada narasumber apalagi pemateri. Saya jadi geli sendiri dengan istilah ini: pemateri, orang yang menjasadkan roh jadi segumpal materi. Ah, sudahlah.

Selama Ta`dib berlangsung guru dan siswa akan berpapasan dengan sejumlah kemungkinan yang terus bergerak, bukan pengetahuan atau pengilmuan yang mandeg dan statis. Tidak ada pertanyaan: apa materi untuk sesi berikutnya? Sebab Ta`dib adalah menemukan sejumlah kesadaran kualitatif yang non-materi. Berjangka panjang dan pasti tidak instan-pragmatis. Terus menerus memperbarui kurikulum dari ta’lim menuju ta`dib. Dari manusia pengetahuan berbasis data dan pengolah data menuju manusia adab.

Benar-salah, baik-buruk, indah-jelek diletakkan pada maqamat ruang dan waktu. Guru  menundukkan egoismenya sebagai pihak yang selalu benar. Siswa tidak identik sebagai pihak yang selalu salah. Ta`dib melebur pandangan stigmatis-dikotomis tentang benar-salah, baik-buruk, muslim-kafir, kaya-miskin, pintar-bodoh. Pengamatan, riset, penelitian, observasi, diskusi tetap dijalankan, tapi tidak untuk mengumpulkan data yang akan dihantamkan kepada lawan.

Metodologi risetnya dimuati oleh iqra` bismirabbika. Sifat rububiyah Tuhan yang mengasuh dan mengayomi, menggerakkan tahapan-tahapan ta’lim, tafhim, ta’rif, ta’mil, tahlish. Garis cakrawala pelaku Ta`dib adalah manusia mukhlis: mengetahui, memahami, mengerti, dan mengamalkannya secara ikhlas. Ngelmu kelakone kanti laku.

Tentu saja ada irisan-irisan antara Ta`dib dan Maiyah, misalnya otentik, bermartabat dan berdaulat. Benih fadlilah setiap siswa atau jamaah maiyah akan tumbuh di atas tanah yang  dicangkul oleh pacul ta’lim, tafhim, ta’rif, ta’mil dan tahlish. Namun, tanah memerlukan air hujan. Ta`dib, Maiyah, Sinau Bareng, Tadabburan, Daur, Khasanah, Wedang Uwuh adalah udan deres yang menumbuhkan benih-benih fadlilah. “Dan Kami turunkan dari awan air hujan yang banyak tercurah. Supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan. Dan kebun-kebun yang lebat.” (Q.S. An-Naba’: 14-16) Jannatul Maiyah—ungkapan yang tepat bagi berjenis-jenis fadlilah pepohonan, tanaman dan buah-buahan di perkebunan maiyah yang diguyur hujan deras.

Allah tidak bekerja sendiri. Susunan li-nukhrija bihi mengabarkan Allah hadir sebagai Kami, seperti juga dalam firman-Nya: Kami menurunkan Al-Qur`an dan Kami pula yang menjaganya. Kata kerja akhraja-nukhriju selain menunjukkan Keagungan dan Kebesaran Allah, juga  menyimpan makna pengertian Allah melibatkan para staf-Nya termasuk kita. Allah yang menurunkan hujan, menumbuhkan benih-benih, dan kita yang mencangkul tanah.

Relasi perjodohan Allah-manusia, manusia-tanah, pemerintah-rakyat, guru-murid, suami-istri merupakan ikatan yang agung (miitsaaqan ghalidha), karena sifat rububiyah Tuhan mengejawantah di sana.

Jalan Islam yang mengamankan dan menyelamatkan itu, kini, dijadikan berhala, status, citra, yang kebaikannya menyerimpung dan menjebak: menyeret keluar dari cahaya menuju gelap (minannuuri iladh-dhulumaat). Dalam gelap, padatan-padatan berhala saling menguasai dan dikuasai, saling berbenturan dan dibenturkan, saling memecah dan dipecah, saling merusak dan dirusak, saling menghancurkan dan dihancurkan, saling membunuh dan dibunuh.

Tapi, tidak semua hancur. Allah menurunkan hujan deras di Maiyah. Proses pencahayaan minadh-dhulumaati ilannuur, dari gelap menuju cahaya. Ti-ji-ti-beh-nya Maiyah adalah mukti siji mukti kabeh. []

Lainnya

Topik