Hobi Tausiyah
Menjadi segar kembali ingatan Markesot. “Aku mendengar itu tatkala belum genap lima tahun usiaku, pada sebuah pengajian Maulid Nabi di dusunku. Kata-kata itu langsung masuk ke ruang dalam batinku, seakan-akan bisikan Kakek atau Ayahku sendiri. Kelak aku menemukan bahwa hal itu amat menakjubkan dan menumbuhkan cinta yang khusus di dalam hidupku.
Aku seorang yang diwajibkan Tuhan lahir di Tanah Jawa, menjadi orang Jawa, sehingga jiwaku disirami dan disuburkan oleh rasa Jawa, jenis hati Jawa, pola berpikir dan budaya Jawa. Ke-Jawa-anku adalah keputusan Allah sehingga wajib hukumnya. Dan aku menerima kata-kata itu dengan wadah atau ruang batin Jawa.
Aku mencoba mengingat-ingat suara batinku tatkala mendengar “ballighu ‘anni walau ayah”. Pak Muhammad itu pasti orang yang sangat murah hati, suka mengalah, tidak mau menyulitkan, dan amat menampung kemungkinan kelemahan dan keterbatasan orang lain.
Ketika ada seorang pencuri bertamu kepada Kanjeng Nabi menyatakan tertarik pada ajaran beliau dan bermaksud memeluk Islam, Muhammad saw tidak serta merta “menikmati keburukan” si Maling. Tidak mengutuk dan menasehatinya: “Bagaimana sih kamu ini, kok mencuri. Mencuri itu dilarang oleh Allah. Andaikan Allah tidak menyatakan larangan mencuri pun kita kan bisa memikirkan dan merasakan bahwa mencuri itu tidak baik. Mencuri itu merugikan orang lain, dan pada akhirnya merugikan diri kita sendiri”.
Kanjeng Nabi tidak hobi tausiyah. Yang dilakukan Nabi adalah merangkulnya, mengekspresikan rasa sayang kemanusiaannya, melindungi hatinya, menerimanya dalam Islam, sambil membisikkan satu syarat yang diungkapkannya dengan penuh kelembutan: “Asal kalau ketemu aku, jangan bohong ya…”
Itu setetes ilmu dari lautan firman Allah. [1] (An-Nahl: 125).