Hijrah dari Madinah ke Mekah
Pakde Brakodin punya pandangan aneh tentang anak-anak muda Junit dan teman-temannya. “Kalian ini Muhajirin Fi Sabilillah. Tetapi bukan dari Mekah ke Madinah, melainkan dari Madinah ke Mekah”
Semua tertawa. “Asyik juga itu, Pakde”, kata Toling.
“Bagaimana penjelasannya, Din?”, Pakde Tarmihim bertanya.
“Mereka ini tinggal di kampung dan pasar Madinah. Mereka dibesarkan oleh arus deras globalisasi. Di dalamnya ada Pasar Yahudi. Ada kapitalisme liberal. Ada ketoprak ideologi-ideologi. Ada demokrasi dan lawakan Pilpres Pilgub Pilbup Pileg. Ada ilmu-ilmu sosial di mana manusia adalah segala-gala dan Tuhan adalah pelengkap penderita. Ada perang asimetris. Ada Illuminati. Ada Freemason. Ada move on. Ada Revolusi Mental. Ada bermacam-macam kepulan asap dan halusinasi. Bahkan ada perusahaan Negara dan talbis pejabat. Ahli-ahli neraka yang merasa sebagai ahli-ahli sorga. Ada keangkuhan, kesombongan, takabur, riya`, GR, syarrud-dawab di sana-sini. Penuh makhluk-makhluk yang tidak mengerti apa-apa dan tidak mengerti bahwa mereka tidak mengerti. Dan Kaum Mu`minin adalah penduduk minoritas, sebagaimana di Kota Madinah. Musliminnya mayoritas, tapi Mu`mininnya minoritas. Jumlahnya mayoritas tapi kualitasnya minoritas…”
“Aduh kok mengerikan begitu, Din”, kata Pakde Tarmihim lagi.
“Semua perbuatan tergantung niatnya, dan balasan bagi tiap-tiap orang tergantung apa yang diniatkan. Barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan.” [1] (HR. Bukhari).
“Memang mengerikan”, jawab Pakde Brakodin, “Dan untung anak-anak ini dihidayahi Allah untuk berhijrah dari Madinah ke Mekah”.