CakNun.com

Hentak Gelembung (dari) Kasihan

Catatan Majelis Ilmu Mocopat Syafaat Yogyakarta, 17 April 2017
Redaksi
Waktu baca ± 12 menit

Kecamatan Kasihan. Bagi telinga yang sehari-harinya lebih akrab dengan bahasa Indonesia, mungkin kata “Kasihan” akan dilekatkan dengan pengertian rasa iba hati, setidaknya menurut aplikasi KBBI Offline yang saya punya seperti itu.

Namun nama Kasihan pada kecamatan ini sebenarnya merujuk pada keberadaan Sendang Pengasihan atau ada juga yang menyebutnya Sendang Kasihan. Bila ditarik garis lurus, jaraknya tidak begitu jauh dari TKIT Alhamdulillah tempat sedulur-sedulur Jamaah Maiyah berkumpul pada tanggal 17 setiap bulan, tak terkecuali bulan April 2017 ini. Pada Sendang Kasihan itulah, dulu Retno Pembayun membasuh diri sebelum memasuki Perdikan Mangir yang kisah cintanya kemudan melegenda dan tentu kita semua telah mengetahuinya.

Foto: Adin (Dok. Progress).

Kasihan di sini lebih dimaksudkan sebagai pancaran kasih. Bila pembaca budiman pernah membaca majalah-majalah perdukunan, tentu tidak asing dengan istilah-istilah semacam aura pengasihan, ajian pengasihan, dan yang sejenis. Maksudnya, seseorang dibenderangkan cahaya kasihnya sehingga dia jadi tampak menarik dan memikat. Praktiknya hal-hal macam ini lebih sering dipakai untuk pelet.

Tak perlu diperpanjang pembahasan Kasihan menurut istilah perdukunan. Yang ingin saya sampaikan, nama Kasihan sebenarnya merujuk pada kasih sayang, kelembutan, dan kehalusan; energi feminin.

Namun juga, tak jauh ke arah utara dari tempat kita biasa ber-Maiyah dalam majlis Mocopat Syafaat yang penuh kasih sayang itu juga ada sebuah tempat yang dinamakan dusun Tempuran. Kata Tempuran bagi orang Jawa bermakna pertemuan dua arus sungai. Di situ memang terdapat pertemuan dua arus sungai. Saya sendiri belum menelusuri arus sungai apa saja yang bertemu di situ, namun kalau boleh saya menduga mungkin salah satunya berasal dari Kali Bedog.

Tapi yang saya tahu di manapun ada tempuran, orang-orang dulu suka melakukan laku tapa kungkum untuk memohon kekuatan, kadigdayan, dan kesaktian. Artinya pusaran energi di sekitar tempat semacam itu cenderung bersifat maskulin.

Dan Maiyah, berada di antaranya.

Pada Mocopat Syafaat kali ini saya datang bersama seorang istri, karena istri saya memang cuma satu. Ketika kami tiba, acara sudah memasuki sesi diskusi pembuka. Kali ini yang bertugas mengawal dan mengisi segmen awal Mocopat Syafaat adalah rekan-rekan Diskusi Martabat. Satu di antara yang saya kenal dari mereka adalah Mas Anggarista. Beruntung sehari sebelumnya saya dimasukkan ke grup WA oleh sedulur-sedulur lingkar Diskusi Martabat. Jadi saya bisa bertanya pada grup baik hati tersebut siapa saja yang berada di atas panggung, sehingga saya bisa menyajikan informasi ini: Pembacaan ayat-ayat Al-Qur`an malam itu oleh Mbak Yuanita, Mbak Mar’a, dan Mas Musleh kemudian dilanjut sesi diskusi yang dikawal oleh Mas Angga, Mas Dhani, dan Mas Ridwan.

Diskusi Pembuka; Majlis Para Gus

Tak begitu banyak yang saya tangkap pada sesi diskusi pembuka ini, disebabkan keterlambatan saya, yang sesungguhnya disebabkan anak kucing di rumah kami. Ah, tidak usah saya tulis disini.

Pada sesi diskusi pembuka ini, rasanya semua pembicara dan penanya dilantik menjadi “Gus”. Diskusi menjadi hangat dan seru. Di antara sedikit yang bisa saya sampaikan di sini, seorang penanya yang berasal dari Sulawesi yang juga bulan lalu sempat merebut perhatian khalayak Jamaah Maiyah kembali mengajukan pertanyaan yang sama seperti bulan lalu, pertanyaan yang ditujukan pada Kyai Muzammil mengenai mengapa orang-orang seperti Al Ghazali bisa (mengaku) mengalami perjumpaan dengan Kanjeng Rasul saw setelah Rosul wafat, sementara para sahabat saja yang maqomnya lebih tinggi tidak mengalaminya. Kedua yang juga saya ingat, beliau menyampaikan sedikit kekurang setujuan pada materi “Silmi” bulan lalu karena menurutnya Silmi itu ya Islam dengan merujuk pada pemahaman shorfu nya yang mendalam. Sang “Syekh Yusuf al Makassari” atau pada Mocopat Syafaat bulan ini dipanggil Gus Yusuf, memang nampaknya memiliki kepedulian yang begitu besar pada ummat yang dianggapnya awam sehingga menganjurkan agar apa-apa yang diterima jangan langsung ditelan mentah-mentah, mesti diolah dulu.

Karena saya dan istri saya duduk di warung lesehan di belakang, sehingga kami jadi tahu bahwa baru setelah “Gus Syekh Yusuf” tersebut bertanya, barulah Kyai Muzammil datang sehingga mungkin Kyai Muzammil tidak mendengar pertanyaan yang ditujukan padanya itu.

Saya tentu tidak berposisi untuk menjawab pertanyaan itu, tapi kalau boleh urun masukan. Sebenarnya hal-hal semacam ini bila kita perhatikan telah terjawab pada materi-materi Maiyah jauh hari sebelumnya.

Soal bahwa kenapa orang-orang yang dianggap wali bisa begini-begitu dengan karomah-karomahnya bahkan konon Imam Al Ghazali pernah bertemu Kanjeng Rosul dalam keadaan terjaga saya teringat beberapa tahun lalu Mbah Nun pernah berkata kurang lebih seperti ini “Tinggi mana derajad atau maqomnya orang yang masih bertemu Rosul dalam bentuk fisik entah itu mimpi atau terjaga dibandingkan dengan mereka yang, Kanjeng Rosul mengejawantah dalam nilai dan sikap-sikap hidupnya?” Artinya ya yang perlu dipikir ulang sebenarnya hanya soal tolok ukur tinggi-rendahnya saja.

Kedua, kalau memang terpaksa mesti sangat meyakini bahwa yang bertemu dengan Kanjeng Rosul dalam keadaan terjaga itu yang paling tinggi maqomnya, bolehlah kita berimajinasi bahwa mungkin para sahabat utama juga mengalaminya hanya karena maqomnya begitu tinggi jadi tidak membicarakannya pada siapa-siapa dan tidak mengisahkannya dalam kitab-kitab. Ya bisa begitu, bisa juga tidak. Entahlah saya tidak begitu mendalami soal tasawwuf dan rasanya kurang potongan juga untuk jadi seorang sufi.

Foto: Adin (Dok. Progress).

Pertanyaan soal silmi, pada menjelang akhir sesi secara tidak langsung juga menemukan jawabannya dari Mbah Nun sendiri bila kita perhatikan terutama pada bagian “keluar tapi kedalam” nanti akan saya coba jabarkan juga dalam reportase ini. Semoga pembaca yang budiman masih sudi membaca lebih lanjut, karena reportase ini sepertinya akan panjang, bertele-tele, dan melelahkan mata.

Kemudian saya masih sempat menangkap seorang Jamaah berasal dari Tangerang dengan penemuan-penemuan yang cukup menarik. Dia juga dipanggil Gus, terlebih karena namanya Gusti. Gus Gusti bercerita bahwa satu kali dia berniat memotret kawannya pada senja hari, namun kawannya itu berposisi membelakangi cahaya.

‘Membelakangi cahaya’ di sini walau terdengar puitis tapi sebaiknya diartikan harfiah saja, bukan metafor. Karena posisi kawannya yang puitis itu (baca: membelakangi cahaya) wajahnya jadi tidak tampak, tapi bagi Gus Gusti foto yang diambil waktu itu memiliki keindahannya sendiri. Di sini dia menarik simpulan bahwa batas antara indah dan tidak indah itu memang sering subjektif, hanya karena wajah tidak tampak lantas disebut tidak indah. Gus Gusti juga menjabarkan temuan-temuannya mengenai kaitan antara nama tumbuhan yang dipakai sebagai nama desa di pulau Jawa.

Sesi diskusi ini sebenarnya berlangsung seru dengan munculnya beragam pandangan yang berbeda-beda. Segala perbedaan pandangan itu ditanggapi dengan kemesraan, seiring kesadaran bahwa dalam Maiyah kita mencari metode. Mengelaborasi sejangkep mungkin ragam kemungkinan sudut, sisi dan jarak pandang. Karena di sini kita semua berposisi mencari.

Sesi diskusi pembuka, majlis para Gus berakhir pada pukul 22.00 WIB ketika Bapak-Bapak personel Kiai Kanjeng naik ke atas panggung.

Setelah bersiap beberapa saat KiaiKanjeng langsung membuka dengan lagu “Cinta Bersabarlah” milik band Letto. Tentu antara KiaiKanjeng dan Letto tak ada permasalahan lagu apa milik siapa, seperti hubungan antara orang tua dan anak, mesra. Namun ketika lagu Letto dibawakan oleh KiaiKanjeng juga ada sentuhan-sentuhan musikal khas KiaiKanjeng. Paling jelas terdengar adalah lapisan distorsi pada rythm gitar dan tentu denting-denting gamelan. Pada nomor pertama ini, Mas Doni mungkin belum datang atau mungkin belum siap sehingga vokal diisi oleh seorang eks vokalis KiaiKanjeng, ah saya lupa namanya. Tapi istri saya dulu ngefans sama Mas yang itu.

Entah posisi saya dan isitri yang terlalu dekat pada salah satu speaker atau karena faktor lain. Namun ada beberapa hal dalam olahan sound malam itu yang sedikit berbeda dari biasanya. Paling terdengar jelas itu pada sound untuk saron, dentingnya terlalu terdengar tajam. Sangat logam. Namun kekurangan kecil tersebut tidak sampai mengganggu kekhusyukan berMaiyah malam itu.

Selanjutnya KiaiKanjeng pun melanjutkan dengan nomor-nomor berikut: “Rindu Wajahmu” yang juga untuk mengenang almarhum Mas Zainul kemudian “Berlaksa Cahaya” yang membangkitkan semangat, kemudian dilanjut sebuah lagu yang saya masih asing. Walau memang KiaiKanjeng sering melakukan pernikahan nada antara musik Barat dengan Jawa namun nomor yang saya tidak tahu judulnya itu sangat menghanyutkan. Denting-dentingnya mengalun mistis, sementara ketika masuk ke lirik bahasa inggris menjelma menjadi nada blues bertempo pelan  yang mengharu-biru. Tentu dalam membawakan nomor-nomor tersebut para personel KiaiKanjeng tidak melakukannya dengan kaku, tapi membawa suasana menjadi cair dan interaktif. Kemudian dilantunkanlah Sholawat Badar untuk menyambut Mbah Nun naik ke panggung bersama beberapa tamu.

Gelembung

Mbah Nun mengawali dengan menggelar kloso konteks, situasi seperti apa yang dihadapi bangsa kita pada masa seperti sekarang ini. Pertengkaran yang tiada habis-habisnya, pertarungan politik yang memakan korban jiwa dalam artian mengorbankan jiwa yang damai dan tenang saking didih suhunya, fitnah, kerakusan, ketidaktahuan diri yang digambarkan Mbah Nun “masih bagus maling teriak maling, berarti malingnya tahu bahwa dia maling sehingga dia merasa perlu meneriaki orang lain sebagai maling. Negaramu sekarang, orang yang maling, melakukan kedhzlaliman itu ya percaya bahwa yang dilakukannya bukan maling, bukan kedhzaliman, bahkan percaya bahwa itu adalah hal yang benar untuk dilakukan.” Ya, akrobat jungkir-balik nya nilai dalam kehidupan.

Mbah Nun mengklarifikasi berita yang beredar sesiangan tadi bahwa Kedatuan Kadipiro kedatangan seorang cagub yang sedang akan berkompetisi tak lama lagi, kedatangan sang cagub rupanya bukan dalam urusan politik namun untuk memohon bantuan mengenai adiknya yang terkena santet sampai mengalami kondisi koma. “Jadi ngerti to saiki posisiku ternyata ya dukun penangkal santet,” suasana pecah cair, Mbah Nun kemudian mengutarakan bahwa pada malam itu akan diadakan upacara semacam doa bersama dengan tata cara tertentu selain untuk menyelesaikan permasalahan cagub tadi namun juga sekaligus mendoakan bangsa ini.

Ketika menyampaikan akan diadakannya doa untuk kebaikan adik cagub tersebut yang juga sekaligus untuk kebaikan bangsa ini, sesungguhnya pada saat itulah Mbah Nun juga telah membuka satu pola pikir mengenai gelembung. Bahwa ada gelembung kecil yang berada pada gelembung yang lebih besar, yang berada pada gelembung yang lebih besar lagi begitu terus hingga pada gelembung penciptaan Allah yang tak terbatas kebesarannnya.

Manusia modern memang kehilangan insting semacam ini. Saat Mbah Nun menjelaskan teori gelembung tersebut, istri saya yang setiap ada kesempatan ber-Maiyah selalu mencatat point-point ilmu di Maiyah lantas berhenti sejenak dari catatannya kemudian berbisik pada saya, “Ini pola pikir dan sikap feminin”. Istri saya memang bergelut dalam bidang gender, jadi wajar bila dia langsung mengaitkannya dengan hal semacam itu. Saya sendiri lantas teringat Sendang Kasihan, yang lokasinya tak jauh dari tempat ini.

Diagram Venn; Himpunan Semesta dan Irisan Himpunan

Mbah Nun tentu memperkenalkan pada khalayak Jamaah Maiyah siapa saja tamu yang rawuh pada malam itu. Satu per satu ada Gusti Yudho yang merupakan adik Sultan Hamengkubuwono X yang bertahta di Yogyakarta saat ini, kemudian ada Mr. C Holland Taylor yang dari namanya saja tentu kita bisa menyimpulkan bahwa beliau bukan pribumi Nusantara namun memiliki ketertarikan amat dalam terhadap sejarah Islam Jawa dan terus menggali-meneliti segala hal yang berkaitan dengan hal tersebut utamanya Babad Tanah Jawi, kemudian ada Pak Momok (Kanjeng dr. Sutomo Parastho) yang oleh Mbah Nun diperkenalkan sebagai salah satu anggota perkumpulan wartawan sepuh.

Foto: Adin (Dok. Progress).

Selain para tamu juga ada Pak Musthofa W Hasyim yang menjadi idola para Jamaah Maiyah, kemudian Kyai Muzammil dan sekaligus juga pembicaraan-pembicaraan para tamu tersebut direspon oleh Pak Nevi dan Mas Sabrang yang memang didaulat oleh Mbah Nun untuk menjelaskan beberapa persambungan materi malam itu dengan basic keilmuan eksaktanya yang mendalam.

Akan sangat sulit bagi saya apabila mesti menuliskan satu per satu materi gelembung yang dihidangkan dari atas panggung, tetapi  Saya berusaha merangkum nuansa, sebisa saya. Sebagaimana teman-teman sendiri mungkin telah memiliki rangkuman dan penyerapan sendiri-sendiri.

Namun dari semuanya memang kemudian tercipta ketersambungan dan keterkaitan satu sama lain terutama juga dengan pembahasan-pembahasan yang sudah pernah dilakukan di Maiyah sebelum ini. Karena Mbah Nun sempat menyinggung soal gelembung, entah bagaimana saya teringat pelajaran matematika saat SMP mengenai Himpunan Semesta dan Irisan Himpunan, yang lebih mudah dipahami dengan diagram Venn.

Saya tidak memiliki cukup kecakapan soal matematika, jadi saya mohon dimaafkan apabila dalam menjelaskan soal Himpunan Semesta dan Irisan Himpunan saya banyak kelirunya. Irisan himpunan diartikan sebagai himpunan-himpunan yang komponen di dalam himpunan tersebut juga merupakan komponen dari himpunan lain. Dalam diagram Venn itu akan digambarkan sebagai bulatan-bulatan yang saling bersinggungan dan membentuk gabungan pada titik temu tertentu.

Begitu juga gelembung pembicaraan malam itu. Apa-apa yang dibicarakan oleh Gusti Yudho misalnya menemukan keterkaitan, kesamaan bilangan dengan apa yang disajikan oleh Mr Holland Taylor kemudian juga mendapat persambungan dari yang lainnya. Membentuk lingkaran-lingkran saling bersinggungan dalam Himpunan Semesta Maiyah.

Ketika Gusti Yudho memaparkan konsep cecikal, bebakal, dan tetinggal, Mr Holland Taylor menjelaskan pula panjang lebar mengenai konsep pencatatan sejarah para pujangga Jawa dalam mencatat sejarah yang menurutnya beda kesadaran dengan para sejarahwan Eropa. Bagi sejarahwan Eropa, sejarah hanyalah rangkaian kejadian, waktu, tempat dan pelaku peristiwa. Namun bagi para pujangga Jawa, menuliskan sejarah juga disertai dengan kesadaran akan meninggalkan hikmah apa pada generasi mendatang, tetinggal.

Sehingga menjadi tidak penting bagi pujangga Jawa memperdebatkan seputar apakah kisah Borotoyudho dan Ramayana itu benar-benar terjadi atau tidak, yang penting kemanfaatan apa yang didapat setelah kisah itu dikisahkan, dicatat atau ditampilkan dalam bentuk kesenian lain.

Sementara itu, Pak Nevi menambahkan, mempelajari sejarah itu seperti menarik busur, semakin kuat menarik ke belakang akan semakin jauh jangkauan ke depan. Ini mengingatkan kita pada Ki Ageng Pemanahan yang tentu bukan tidak sengaja setelah mendapat jatah Alas Mentaok atas jasanya dan anaknya, Sutawijaya  (kemudian hari bergelar Panembahan Senopati in Ngalaga), mengalahkan Arya Penangsang kemudian mengambil nama Mataram sebagai nama resmi kerajaan barunya. Mataram, nama kerajaan yang jaraknya cukup jauh dari zaman Ki Ageng Pemanahan hidup. Tren saat itu para raja hanya perlu mendapat “legitimasi darah” dari trah Mojopait.

Pak Momo sempat menjelaskan mengenai proses pencariannya akan keberadaan tuhan yang kemudian mendapat persambungan dari hidangan Mas Sabrang yang menganalogikan kesadaran isro’ mikroj sebagai proses evolusi kesadaran makhluk. Tujuh langit diterjemahkan oleh Mas Sabrang sebagai:

  1. Ada, makhluk merasakan bahwa dirinya ada.
  2. Tumbuh, kesadaran yang umumnya hanya ada pada tumbuhan yang tak punya insting bertahan hidup namun mulai mencari cahaya sebagai syarat pertumbuhannya
  3. Bertahan Hidup, kesadaran hewan. Survive menjadi penting sehingga harus memasukkan sesuatu dari luar ke dalam dirinya.
  4. Sih, yang disebut Mas Sabrang sebagai cikal bakal cinta murni. Mulai mencintai makhluk lain, mementingkan yang di luar dirinya daripada dirinya sendiri.
  5. Kebijaksanaan, menemukan persambungan-persambungan dari pengetahuan dan pemahaman mengenai hal yang dianggap berbeda-beda. Karena cinta murni, tanpa kebijaksanaan cenderung menjadi naif. Produknya lebih sering hanyalah kebajikan yang jangka pendek.
  6. Membungkus kebijaksanaan plus pengalaman, menemukan hikmah dari seegala kejadian
  7. Menyatu dengan tuhan, tersingkapnya tajalli-tajalli tuhan.

Kyai Muzammil pun menemukan irisan pada pembahasan ini dengan menjelaskan pemahaman bahwa mungkin memang ada isro’ yang memang terjadi satu kali dalam seumur hidup Muhammad Saw merunut pada sebab-akibat historis yang mendahuluinya. Namun bisa saja ada isro’ yang substansial yang bisa saja terjadi secara kesadaran maqom Muhammad Saw dan itu di luar pengetahuan kita.

Kyai Muzammil juga mejelaskan urut-urutan Nabi-Nabi yang dijumpai Kanjeng Rosul Muhammad Saw saat ber-isro’ namun karena dalam mencatat ini saya merujuk pada catatan istri saya, dan sepertinya istri saya sempat tertidur jadi catatannya luput pada bagian urutan Nabi-Nabi di tiap lapis langit tersebut. Maaf.

Persambungan dalam diagram Venn Himpunan Semesta Maiyah malam itu terus berlanjut. Gusti Yudho sebagai orang dalam Kraton Ngayogyokartohadiningrat menjelaskan konsep-konsep ke-Jawa-an yang sudah sering menjadi pokok pembahasan di majlis-majlis Maiyah umpamanya tema mengenai nama Pangurakan, Malioboro, Margo Utomo, Margo Mulyo. Juga filsafat proses dalam perjalanan evolusi agama-agama; dari agama manggar, bluluk, cengkir, degan hingga sempurna menjadi kelopo “kalau kebablasan jadi kopyor!”

Mbah Nun sendiri, walaupun sebelumnya sempat mengutarakan optimismenya terhadap generasi-generasi milenial dalam rentang usia 17-38 tahun saat ini namun juga menambahkan bahwa pola pendidikan anak-anak sekarang rasanya ada yang salah, karena terbiasa dengan soal multiple choice sehingga sulit sekali memahami bahwa sesuatu itu bisa itu sekaligus bukan itu, bisa di luar sekaligus di dalam. Ini yang saya sebut pada awal tulisan tadi sebenarnya sudah cukup ,menjawab kegelisahan penanya Gus dari Sulawesi itu bahwa kalau kita tarik konklusi ya Silmi itu Islam ya bukan Islam juga.

Pola pikir masyarakat kita memang terlanjur dipaksa menjadi hyper-masculine, di mana segalanya menjadi padatan yang saling terpisah, bahkan berlawanan. Definisi menjadi baku sehingga dia tidak menjadi pintu awal pemahaman akan keluasan namun justru jadi batasan penyempit makna. Akademisi berpikir fakultatif, bukan demi mengakui limitasi data dan jangkauan tapi justru untuk mengkerangkeng dirinya sendiri.

Foto: Adin (Dok. Progress).

Walau saya sebut di awal tadi bahwa lokasi majelis Mocopat Syafaat di TKIT Alhamdulillah ini berada di antara Sendang Kasihan yang feminin dan Tempuran yang maskulin, namun rasa-rasanya bila diukur jarak pastinya saya cukup yakin bahwa posisi kita lebih dekat pada Sendang Kasihan.

Dengan kelembutan itu, Maiyah memang lebih mudah memahami apa itu proses, bagaimana segalanya tidak sekadar hitam-putih dengan tegas namun juga ada gradasi, bahwa segala gejala bisa dilihat melalui pola yang tidak melulu linear tapi juga siklikal, bulatan: gelembung

Tanpa sudut pandang yang Kasihan itu, kita akan sulit mengerti bahwa proses penciptaan “KUN” tidaklah serta merta berakhir karena perlu disadari justru KUN juga adalah awal terciptanya waktu itu sendiri sehingga KUN masih mengalun dan proses penghancuran dan penggelepungan tidak selalu berlawanan dengan penciptaan.

Perlu kelembutan Silmi untuk memahami kebesaran Islam tidak sekadar dari pembakuan-pembakuan konsep dalam buku dan kitab-kitab walau juga tidak kita enyahkan begitu saja karena itu juga adalah capaian-capaian pemahaman manusia sebelum kita. Perlu menjadi muannats untuk “Irji’ilaa robbiki rodhiyatan mardhiyyah fadkhuli fii ibadiy wadkhuli jannatii”

Hentakan Penghancuran Penuh Kasih

Mbah Nun benar-benar serius dengan janjinya pada awal pertemuan malam itu bahwa akan ada semacam upacara doa bersama. Mbah Nun kemudian meminta beberapa orang dari Jamaah Maiyah untuk naik ke panggung dengan ikhlas hati.

Mbah Nun lalu mengajarkan sebuah gerakan: posisi duduk, punggung tegak, tangan kiri menghentak tanah disusul tangan kanan, kemudian tangan kiri menepuk dada disusul tangan kanan. Ini membuat posisi akhir adalah tangan bersilang di dada dengan tangan kanan di atas tangan kiri. Kemudian diulang lagi terus. Kemudian disesuaikan dengan lafadz “laa ilaaha illa llah” seiring ritme gerakan tersebut.

Ketika gerakan tersebut dicobakan bersama oleh seluruh Jamaah Maiyah. Tiba-tiba saya teringat dalam kuliah Alam Pikir Hindu, ada konsep Shiva Nata Raja, ketika pada akhirnya Shiva menarikan apa yang disebut Thandavam. Gerakan itu penuh hentakan kepada bumi. Itulah tarian kehancuran. Namun kehancuran yang sesungguhnya berada dalam gelembung proses penciptaan itu sendiri, lebih tepat disebut proses re-kreasi. Atau kita akrab dengan: Penggelepungan.

Gerakan itu kemudian dipraktikkan bersama oleh para Jamaah Maiyah, getar-getar mengalir seiring lantunan tahlil, meng-esakan Dia Yang Berhak Di-Esakan. Mengagungkan Dia Yang Berhak Diagungkan.

Permohonan yang tidak lagi terucap dengan kata-kata bahwa telah habis nasihat bijak dan segala sumpah serapah, tak mumpuni lagi semua intelektualitas dan spiritualitas untuk memperbaiki tatanan. Habis kata! Habis bahasa! Hanya Engkau!

Lantunan “laa ilaaha illa llah” menggema, bumi menghentak, dada berdetak. Derap, derap. Makin cepat, makin cepat. Semakin bahana. Semakin derap.

Semakin….

Semakin….

Di tengah itu, Mbah Nun melantunkan sepenggalan wirid Yaa Dzal Wabaal.

“Ya Dzal Wabaal….

Yaa dzal adli wal qisthi….”

Sudah habiskah semua kata? Putus asakah kami? Sedang Engkau melarang keputusasaan terhadap ridho-Mu bagi orang yang beriman?

Nalar kami tak sampai melihat harapan, tapi kami wajib meyakininya.

Hati kami tak tega memohon kehancuran bagi mereka yang lalai dan terbuai dalam kekhilafan, namun tak ada lagi penyampaian bahasa yang mampu menampung.

Setelah Wirid Yaa Dzal Wabaal lantunan tahlil berlanjut dengan derap-derap ritmis seperti sebelumnya.

Pun kemudian makin menderap, makin menggema.

Tiadalah kami dendam atas segala pengrusakan yang mereka lakukan, namun membiarkan kedhzaliman tanpa memanjatkan doa adalah pengkhianatan atas iman Islam kami.

Malam itu, dari Tamantirto, Kasihan, Bantul. Gelembung-gelembung itu menghentak, bermunajat seikhlas-ikhlas hati. Memohon keadilan, hukuman bukan pembalasan dendam.

Dari Kasihan, para gelembung Jamaah Maiyah menunjukkan kesiapan mereka untuk terjun dalam tempuran.

Dari Kasihan gelembung menghentak, sebab cinta kasih kami bukanlah cinta kasih yang naif.

Cinta tidak hanya memberikan pipi kanan ketika pipi kiri ditampar, cinta kasih yang jangkep kadang perlu menampar pun menghentak!

Itulah hentakan gelembung dari Kasihan, penuh kasih dan bisa menghantam tanpa sedikit pun dendam dan kebencian.

Itulah, hentak gelembung dari Kasihan, Tamantirto, Bantul, Yogyakarta.

Tak lama kemudian KiaiKanjeng melanjutkan prosesi ini dengan melantunkan “Yaa Hu” sebuah nomor yang oleh Mbah Nun pernah dikatakan hanya dikeluarkan dalam masa-masa genting dan darurat. (MZ Fadil)

Lainnya

Kegembiraan Bersedekah Maiyah Kepada Indonesia

Kegembiraan Bersedekah Maiyah Kepada Indonesia

Musim penghujan baru menyapa menjelang bulan November, langit hari itu diselimuti mendung, para penggiat Kenduri Cinta menyiapkan pelaksanaan forum bulanan Kenduri Cinta di Pelataran Taman Ismail Marzuki (TIM) sejak siang hari.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta