Haudhuna wa Kautsaruna
Tarmihim iseng bertanya kepada Markesot: “Lha Sampeyan mau ke mana kok titip-titip ke kami”
Markesot tersenyum. “Inna a’thoinakal kautsar…” [1] (Al-Kautsar: 1).
“Belum tentu tepat pemahaman kami atas titipan itu”, Sundusin menyambung, “apa yang dititipkan, bagaimana cara menjalankan titipan itu, sampai kapan penitipan itu berlaku…”
Markesot menjawab ringan seolah-olah ini masalah penitipan sepeda. “Hari-hari Kelahiran Kembali di seberang Benua sana berlangsung antara abad 14 hingga 17. Imigrasi nilai-nilainya ke Nusantara katakanlah memerlukan satu abad untuk hampir sempurna. Maka Tuhan menidurkan bangsa kita antara abad 18 hingga 21. Tepatnya 309 tahun. Mungkin itu semacam satuan Daur Sejarah dalam program Tuhan, wallahu a’lam. Juga untuk sampai 309 tahun itu persisnya kapan tolong dicari dan dihitung”
Brakodin menambah pertanyaan, “Kok kami yang harus mencari dan menghitung. Kami kan cuma dititipi”
“Aku kan hanya menitipkan, kalian yang dititipi, maka kalian yang memperhatikan dan merawat titipan itu”, jawab Markesot.
“Lha Sampeyan mau ke mana…”
“Aku sudah tua renta. Aku perlu pergi mengembara. Siapa tahu Allah mengizinkan dan membimbing ke suatu wilayah di mana aku diperkenankan menatap dari jauh Haudhuna wa Kautsaruna. Haudh adalah telaganya Kanjeng Nabi. Luasnya sejauh orang menempuh perjalanan sebulan. Cawan-cawan penciduk air sucinya sebanyak bintang-bintang di langit. Allah juga menjanjikan Kautsar. Aku ingin melihat bagaimana para pembenci Allah terputus kekuasaannya. Inna syani-aka huwal abtar” [2] (Al-Kautsar: 3).